Industri Pers
Dilema Industri Radio
Jauh sebelum kehadiran internet, media konvensional satu persatu lahir saling memengaruhi, mengisi kekurangan hingga berkompetisi mengancam daya ekonomi. Kehadiran radio mengancam posisi media cetak, juga televisi yang menjadi ancaman bagi radio pada 1996. Dan kini, semua media konvensional terancam dalam gempuran media baru (new media).
Itu mengapa, media cetak seperti koran, misalnya, pernah diramalkan Philip Meyer (2006) pada 2044 akan tersisa satu eksemplar. Ramalan itu pun diakui Rupert Murdoch dan Noam Chomsky.
Nasib serupa juga kini menimpa radio. Berada di ujung tanduk, radio nyaris tak ada “suara” bak pepatah lawas, “Hidup segan, mati tak mau.”
Namun, seperti juga koran, yang terus berjuang agar tetap hidup dengan pelbagai cara. Radio juga berupaya melakukan konvergensi menyesuaikan dengan perkembangan internet.
Bagaimanapun juga radio pernah jadi teknologi paling canggih di masanya: menghibur, mendidik masyarakat, hingga menjadi media perjuangan kemerdekaan. Karena itu, radio tetap memiliki peminat tersendiri.
Daya Tahan Radio
Bertahan dengan pelbagai cara, industri radio jatuh bangun mengejar pendengar dan iklan. Namun, ada juga radio yang tampak biasa menghadapi tantangan internet, meski pendengarnya menurun tak ada pengaruh apa-apa, selain berlaga memperbaiki konten. Dalam posisi ini, tergantung pada setiap tipe radio yang menghadapi kehadiran internet.
Seperti televisi siaran, menurut Usman (2009), radio siaran juga memiliki beberapa tipe, yakni radio negara, radio publik, dan radio komersial. Radio negara, seluruh biaya operasionalnya berasal dari negara. Radio tipe ini tidak mencari keuntungan, karena tujuannya adalah politik dan propaganda. Sebab itu, radio negara biasanya berada di negara-negara komunis dan otoriter.
Radio publik, biaya operasionalnya berasal dari pajak warga negara dan subsidi pemerintah. Radio tipe ini juga tidak mencari keuntungan, karena tujuannya memenuhi kebutuhan publik akan informasi, pendidikan, dan hiburan.
Sementara, radio komersial adalah radio swasta. Modal awal radio komersial berasal dari pengusaha swasta. Radio tipe ini berupaya mendatangkan keuntungan melalui iklan. Karena itulah ekonomi industri radio terfokus pada radio komersial.
Saat pendengar radio mulai menurun di era internet ini, radio negara dan publik tak begitu mengkhawatirkan, terutama di Indonesia. Sebab, radio negara jelas dibiayai oleh negara, sementara radio publik, seperti RRI yang harus dibiayai pajak warga negara, justru total dibiayai negara lewat APBN. Karena itu, meski pendengar semakin menurun, dua tipe radio ini masih bisa beroperasi dengan leluasa. Berbeda dengan radio swasta yang total menaruh hidup pada pendengar dan iklan, yang pontang-panting menghadapi ancaman media baru.
Dalu, radio memang menjadi media favorit, sebagai ruang untuk masyarakat menyapa sesamanya: mengirim surat dan puisi untuk kekasih, serta mendengar musik kesukaan. Tetapi, posisi radio saat ini telah terganti karena kehadiran internet. Lewat media sosial, orang dengan mudah saling menyapa dan berkenalan. Begitu pula, lewat pelbagai aplikasi orang dengan mudah bisa mendengar musik. Aplikasi-aplikasi itu, seperti Spotify, Soundcloud, iTunes, dan YouTube yang menyediakan audio visual.
Karena itulah banyak pendengar radio yang mulai beralih ke media baru. Dan, secara komersial, radio swasta mulai kelabakan, nyaris tak sanggup bertahan.
Citra Dyah Prastuti, Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio (KBR), ketika diwawancarai Tirto.id (2019), mengamini kesulitan yang dihadapi industri radio. Sebab, ceruk semakin sempit, kue iklan semakin sedikit. Lagi pula, sebagai industri bisnis, KBR hanyalah pembuat konten, dan tak punya saluran radio di AM ataupun FM. KBR sekadar bermodal sekitar 600 radio rekanan di seluruh penjuru Indonesia.
Selama ini, KBR pernah menerapkan sistem berlangganan. Cara ini agar radio-radio di pelbagai daerah di Indonesia bisa mendapatkan konten berita dari KBR, seperti koran-koran dan media daring berlangganan berita ke Antara. Tetapi, mekanisme ini tak berjalan baik, tak sampai 10 tahun, sistem berlangganan tak bisa lagi dijalankan.
Alasannya, radio-radio lokal kesulitan keuangan. Mereka tidak sanggup bayar. Karena semenjak kehadiran televisi, apalagi media daring, jata kue iklan bagi radio makin kecil. Itu mengapa, semua layanan berita tersebut diberikan gratis kepada radio rekanan. Dengan begitu, bila radio rekanan mendapatkan iklan saat menyiarkan konten KBR, hasilnya dibagi dua.
Agar tetap bertahan, KBR kini menjual program-program talkshow kepada pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang butuh target pendengar sampai ke pelosok. Selain itu, meski tertatih-tatih, KBR juga membuat portal berita sehingga dapat mengimbangi media daring.
Radio Internet
Perkembangan internet saat ini, setidaknya telah hadir tiga model pelayanan stasiun radio berbasis internet. Model pertama, sekadar menampilkan situs tentang radio siaran, yang berisi profil perusahaan, jadwal acara, dan area jangkauan. Model kedua adalah menikmati langsung siaran radio (live streaming) bersamaan dengan mengudaranya radio di jalur frekuensi konvensional. Model ini juga memiliki kemampuan mengunduh berbagai produk siaran, musik, materi pendidikan, dan kebudayaan dengan prinsip podcast.
Sedangkan model ketiga, adalah manajemen dan operasional siaran terintegrasi berbasis web, yang didukung fasilitas remote akses clock program, rundown acara dan logger. Model ini terutama memberi ruang bagi pemasang iklan (agency) maupun regulator (KPI), akses via media sosial, dan integrasi fasilitas kolaborasi antarradio siaran berbasis jaringan berita dan hiburan (Aprilani, 2011).
Model live streaming kini banyak dilakukan radio-radio komersial untuk menarik minat pendengar, termasuk radio-radio lokal di Indonesia. Juga, model ketiga telah dilakukan radio swasta yang lebih mapan, terutama radio milik grup para konglomerat besar, seperti Sonora (Kompas Grup), Trijaya (MNC), dll. Termasuk RRI, sebagai radio publik yang mendapat sokongan dari APBN.
Kendati digempur oleh kehadiran media baru, media karya Guglielmo Marconi ini masih tetap hidup, menjumpai para pendengar dengan jalan yang berat. Radio Suara Surabaya, misalnya, yang pernah punya satu juta pendengar pada 2008, menurun 400-an. Tetapi kini, Suara Surabaya tetap setia menyajikan musik dan berita untuk para pendengarnya.
Bertahan hidup di era ini, radio memang perlu melakukan inovasi teknologi. Tentu pula menyesuaikan dengan keinginan pendengar atau fasilitas aplikasi yang banyak diminati pendengar yang terkoneksi dengan handphone pintar. Meski begitu, inovasi itu tak harus mengurangi integritas radio yang konsisten loyal pada masyarakat. []
Komentar