Cacing Laut

Menangkap ‘Wao’ di Morotai

Sejumlah warga Desa Bubula dan Wayabula, Kecamatan Morotai Selatan Barat, yang tampak merunduk menggayung Wao, sebelum matahari menyingsing, Rabu 13 Mei 2020 || Foto: Risman Rais

Fajar baru menyingsing di ufuk timur. Dingin mengibas wajah di pagi itu tak menyurut tekad ratusan warga desa Wayabula dan Bubula, Pulau Morotai. Mereka menceburkan badan, lalu menyusuri pantai Tanjung Kapala Kambing Pulau Morotai yang berkarang, untuk menangkap Wao.

Meski kondisi air laut masih pasang setinggi pusar orang dewasa, para lelaki, ibu-ibu hingga anak-anak itu menenteng ember, jaring, dan penapis. Alat-alat itu, mereka gunakan untuk menangkap Wao dengan cara menggayungnya ke dalam ember.

Fajar yang masih gelap, membuat sejumlah warga menggunakan senter handphone, untuk menerangi kedalaman air laut. Warga yang sudah memegang alat tampak merunduk menggayung Wao.

Lima menit berdiri diatas batu karang mati, sambil mengamati, saya pun ikut terjun menggayung Wao bersama warga.

"Torang (kita) harus capat, kalau matahari so nae, nanti Wao jadi air," cetus Amhy, istri saya yang juga warga desa Wayabula, kepada saya, Rabu 13 Mei 2020, pagi itu, sembari menggayung Wao ke dalam embernya.

Wao, begitu orang-orang di dua desa itu menyebutnya. Di beberapa daerah, cacing laut ini lebih populer dengan sebutan laor.

Wao atau laor adalah sejenis cacing laut dalam. Biasanya muncul saat purnama pasang tertinggi dan hanya muncul di daerah pantai berkarang. Wao sangatlah langkah, karena hanya muncul setahun sekali.

Wao, kata Amhy, sangat sensitif dengan sinar matahari. Terik matahari bisa membuatnya mencair. Itu alasannya, warga cekatan memanfaatkan alat yang mereka bawa untuk menggayung Wao sebelum matahari terbit.

Sesaat pantai tanjung kambing tampak ramai. Amhy yang sarjana Biologi di salah satu Universitas di Ternate, mengatakan, musim Wao biasanya petanda pola musim mulai berganti.

“Kalau cuaca berubah, kabut hitam tebal di langit, petir, angin, tetapi tidak jadi hujan, itu tanda akan musim Wao, atau biasa disini dorang bilang musim pancaroba,” tutur Umar, warga Wayabula.

Umar bilang, tahun kemarin, musim Wao di bulan Maret. Sekarang sudah bergeser sampai Mei. “Kalau musim Wao sudah abis, cuaca akan kembali normal,” ucap Umar, sambil cekatan menggayung Wao ke dalam ember.

Musim Wao kali ini, bersamaan dengan beberapa desa yang ada di selatan Barat.

"Musim Wao bagini, paling banyak di Pulo (pulau-pulau Rao), seperti desa Saminyamau, Posi-posi, Leo-leo," sebut Om Umar sapaan akrabnya.

Tiba-tiba, ombak memecah deras. Tetapi warga tak berhenti mencari dan menggayung Wao.

“Di sini banyak," celoteh warga di tengah deru ombak, yang disambut tertawa warga lainnya.

Wao yang dimasuk menggunakan daun pandan hutan

Ke dalam air laut mulai terang. Matahari mulai terasa di wajah. Tepat Pukul 07:10, warga mulai kembali ke rumah dengan menenteng ember yang berisi Wao.

Saya pun ikut pulang, bersama istri dan menenteng ember kecil yang berisi Wao. Maklum, saya tak dapat banyak, karena ini pengalaman pertama saya menggayung Wao.

Sesampainya di rumah, Wao yang kami diambil langsung dimasak. Cara masaknya juga unik, ada yang merebus menggunakan Buro-Buro (Daun pandang dutan), lalu diasapkan, ada juga yang masak.

Wao, biasanya disantap dengan nasi hangat.

Penulis: Risman Rais

Baca Juga