Cendekia
Idul Fitri, ‘Kemenangan Oligarki’ di Tengah Pandemi
Setelah sebulan umat Islam dunia, termasuk Indonesia khususnya menunaikan ibadah puasa dengan penuh kekhusyukan di tengah pandemi Covid-19, kini tiba waktunya merayakan kemenangan Hari Raya Idul Fitri.
Namun, bagaimana sebenarnya riwayat kebangsaan kita selama bulan suci Ramadan di tengah pandemi global ini berlangsung? Apakah para pemangku atau petinggi negara benar-benar menahan hawa nafsunya untuk tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat? Mari kita ulas sebagian riwayat politik dan ketatanegaraan kita selama bulan suci Ramadan tahun ini.
Pertama, pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi Undang-Undang tanggal 12 Mei 2020 tentang Perubahan atas UU Minerba 2009, perlu dikritisi. Misalnya, pada poin terkait kewenangan perizinan, perpanjangan izin, pengaturan terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan aspek lingkungan, hilirisasi, divestasi, hingga pengaturan yang diklaim untuk memperkuat badan usaha milik negara (BUMN). Poin-poin ini sudah barang tentu disambut gembira oleh kelompok-kelompok yang memiliki peluang untuk sebebas-bebasnya mengeruk sumber daya alam di Indonesia.
Pengesahan UU Minerba itu mengeksploitasi laut maupun di darat secara masif tanpa batas. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 28a hasil revisi UU tersebut bahwa wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.
Kedua, diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu ini jelas perlu dikritisi bersama.
Salah satu contoh pasal yang perlu dikritisi dari Perppu tersebut yakni Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3). Saya sepakat dengan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti yang mengatakan bahwa, ‘’…Pasal 27 ayat (2) dan (3) seharusnya batal demi hukum karena hal-hal yang sifatnya mengecualikan suatu asas tidak bisa dicantumkan di dalam sebuah UU.’’ Pasal yang dimaksud terkait dengan pengelolaan pembiayaan yang telah dibelanjakan oleh pihak berwenang.
Bunyi pasal tersebut adalah:
(1). Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara;
(2). Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3). Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Ayat (2) dan (3) dari pasal tersebut, bila ditafsirkan secara gramatikal, membuka peluang korupsi sekaligus memperkuat impunitas pemerintah dalam rangka pengelolaan keuangan negara. Yang patut dikhawatirkan adalah adanya kemungkinan besar, bahwa alih-alih mengendalikan atau menormalkan sektor perekonomian negara di tengah wabah pandemi, ini justru menjadi langkah untuk menyumbat saluran penegakan hukum (law enforcement) menjadi lebih sempit dan tidak berdaya.
Berkaitan dengan hal tersebut, bulan suci Ramadan di tengah kondisi pandemi justru menjadi kesempatan emas bagi kelompok oligarki untuk secara terus-menerus mencari celah untuk menyisipkan berbagai kepentingan mereka dengan segala cara. Lantas, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan kelompok oligarki tersebut?
Persoalan di atas secara spesifik dapat kita telusuri dalam buku berjudul Oligarchy karya Jeffrey A. Winters yang menerjemahkan kelompok oligarki sebagai pihak-pihak yang senantiasa memperkuat basis sumber daya material mereka dan selalu gencar menggunakan serta mempertahankan kekayaan yang mereka miliki. Mereka mendesain disparitas sistem untuk menghasilkan ketidaksetaraan hak dalam kekuasaan. Ketidaksetaraan penguasaan material oleh segelintir golongan tersebut pada gilirannya menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan politik. Kondisi demikian sangat nampak nyata dalam sistem kekuasaan di Indonesia saat ini.
Pandangan Winters tersebut juga sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan Hernando De Soto yang mengemas pemikiran John R. Searle dalam bukunya The Construction of Social Reality bahwa dalih mengenai pembangunan dalam era modern telah gagal menciptakan konvergensi hak milik, sehingga kaum miskin (rakyat) tidak lagi memiliki kedaulatan penuh dengan posisi yang berimbang dalam masalah kebutuhan hidup.
Kondisi yang demikian sedang terjadi di Indonesia dan mengakibatkan timbulnya protes publik karena yang dipertontonkan oleh penguasa adalah ketidakadilan dalam sistem bernegara. Sifat rakus akan kekuasaan semestinya dihentikan sejenak untuk merenungkan mana kebijakan yang menguntungkan rakyat, bukan memuluskan kepentingan golongan dan pribadi. Setidaknya, momen Ramadan dan Idul Fitri ini adalah waktu yang sangat tepat untuk itu.
Itulah realitas saat ini, bahwa jangkauan kekuasaan oligarki tidak hanya pada sektor ekonomi, melainkan juga menggempur sistem penegakan hukum hingga menjadi lemah dan tunduk padanya. Padahal sesungguhnya Konstitusi telah menjamin tiap-tiap warga negara setara di mata hukum. Alih-alih melakukan apa yang seharusnya dan sepatutnya (yakni demi warga negara), justru sebaliknya; mencuri kesempatan di tengah kekhusyukan sebagian besar rakyat Indonesia saat menjalankan ritual keagamaan (Ramadan dan persiapan Idul Fitri). Maka tidak keliru jika dikatakan bahwa Idul Fitri di tahun 2020 ini ternyata merupakan hari kemenangan oligarki yang dicapai melalui cara-cara kotor dan memuakkan.
Komentar