Hukrim

Vonis untuk Dayat Tidak Tepat

Ilustrasi

Ternate, Hpost - Hidayat Nahumarury alias Dayat (48), harus merasakan dinginnya jeruji penjara. Bagaimana tidak, Dayat yang kala itu menjabat selaku Kepala Bank Maluku-Malut Cabang Sanana, Kepulauan Sula (Kepsul), Maluku Utara, divonis terbukti melakukan tindak pidana korupsi, soal pembebasan lahan Bandara Bobong.

Dayat divonis dengan pasal berlapis Pasal 3 jo Pasal 18, jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 tantang Penyalahgunaan Wewenang, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,5 miliar.

Berawal di tahun 2009, kala itu, Kepsul tengah melakukan pembebasan lahan Bandara Bobong. Melalui APBD, rekening dibuat di Bank Maluku-Malut atas nama Panitia Pembebasan Lahan.

Bupati Kepsul kala itu Ahmad Hidayat Mus alias AHM menelepon Dayat, guna meminta dana dari rekening tersebut sebesar Rp 1,5 miliar, yang nantinya dipergunakan untuk membayar lahan milik warga yang terkena pembebasan lahan Bandara Bobong.

Alih-alih niat membayar, AHM justru meminta Dayat mentransfer sebagian uang itu, sebesar Rp 650 juta kepada adik kandungnya Zainal Mus, dengan alasan tidak jelas. Dan sisa uang Rp 850 juta, diminta untuk dibawakan ke AMH yang kala itu tengah berada di kediaman.

Bak bangkai tikus yang pasti tercium bau busuknya. Setelah 7 tahun, penyidik mencium adanya kerugian negara yang dilakukan Dayat. Bukti dan saksi-saksi dikumpulkan. Dan Pengadilan Negeri Kota Ternate, di tahun 2016 menjatuhkan hukuman pidana selama 1 tahun 6 bulan penjara dan denda sebanyak Rp 50 juta.

Meski putusan tersebut bersifat inkrah, atau putusan yang berkekuatan hukum tetap. Namun menurut sejumlah pengamat hukum, putusan tersebut dan pasal yang dikenakan oleh hakim adalah salah. Seperti yang dikatakan Praktisi Hukum sekaligus Tenaga Pengajar di Universitas Khairun Ternate, M. Thabrani Mutalib.

Menurutnya, putusan hakim kala tidak tepat. Kenapa? Pertama, penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik. Dayat yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bank Maluku-Malut Cabang Sanana bukan pejabat publik, karena Bank Maluku-Malut adalah BUMD, yang notabene adalah Perseroan Terbatas (PT).

"Jadi harus dikenakan hukum privat yakni perdata, karena lekspesialis dikenakan undang-undang Perseroan Terbatas," katanya.

Selanjutnya, Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan setiap orang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau kelompok, sehingga merugikan perekonomian negara dapat dipidana, juga tidak terbukti. Karena, uang Rp1,5 miliar tidak terbukti membebani APBD 2009 kala itu.

Uang tersebut milik Panitia Pembebasan Lahan, bukan bersifat pribadi. Sikap Dayat yang mengantar uang ke AMH adalah sikap melayani nasabah. Artinya, subjek melawan hukum tidak terpenuhi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi atau MK, telah membatalkan kata "dapat" dari pada pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-undang  Tindak Pidana Korupsi.

Seperti "dapat merugikan keuangan negara" dan "dapat merugikan perekonomian negara". Artinya, pasal di atas bergeser dari tindak pidana formil ke pidana materil.

"Jadi kerugian negara yang disangkakan harus dibuktikan terlebih dahulu, yang sifatnya kongkrit dan nyata, bukan mengada-ada. Namun yang sering terjadi di pengadilan kita, JPU malah melakukan audit. Yang mana hal itu tidak bisa,” tegasnnya.

"Karena menurut saya ini masuk materil, yang melihat pada akibat. Jadi Pasal 55 yakni turut serta yang disangkakan kepada dia, itu keliru. Dan dakwaan Pasal 3 Ayat 1 Huruf (b) Undang-undang Pencucian uang, juga tidak tepat," sambungnya.

Seharusnya, sambung M. Thabrani Mutalib, Dayat dikenakan Undang-undang Perbankan, karena unsur fraud terbukti. Karena ia menuruti perintah AHM untuk mengeluarkan uang dari rekening Panitia Pembebasan Lahan. Yang seharusnya, uang tersebut keluar atas permintaan Sekda bukan Bupati.

"Yang salahnya dari dia (Dayat-red), ia menuruti permintaan Bupati bukan Sekda. Jadi, menurut pemikiran saya, pidana korupsi yang dikenakan tidak tepat, harusnya undang-undang perbankan," tutupnya

Penulis: Munawir Taoeda
Editor: Firjal

Baca Juga