Opini

Media Lokal dalam Ruang Tak Terbatas

Dalam dunia jurnalisme, ruang adalah gelanggang kompetisi ide dan kreativitas. Ruang, sebagaimana spasialisasi kata Mosco (2009), menjadi arah media berkiprah, menentukan jenis informasi yang dikomodifikasi. Umumnya, selain bentuk dan segmen, ruang tersebut diberi label nasional dan lokal. Namun, label itu bukan sekadar penanda wilayah, melainkan juga kualitas.

Di indonesia, media nasional ditandai dengan kantor yang dipusatkan di ibu kota, Jakarta. Kendati begitu, ukuran tersebut relatif tak tentu. Karena nyatanya, Jawa Pos yang berkantor di Surabaya, kerap dilabeli pembaca sebagai media nasional. Pelabelan itu, memang menegaskan media nasional tak cukup berkantor di Jakarta, tapi juga kualitas dan jangkauan pelayanannya.

Sedangkan media lokal, menanam basis dan berkantor di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Media yang beroperasi di suatu provinsi, akan membuka ruang lebih besar atau banyak memberitakan pelbagai peristiwa di daerah tersebut ketimbang di daerah lain.

Karena itu, wartawan lebih banyak ditempatkan di daerah basis, dan hanya menempatkan satu sampai dua wartawan di luar daerah sebagai koresponden. Termasuk di pusat ibu kota Indonesia. Sebab di daerah basis, wartawan akan lebih besar menunjukkan loyalitasnya dari besar porsi informasi yang disampaikan; mendidik dan mengontrol sosial-kekuasaan.

Dari peran itu, media lokal mendapat tempat penting di daerah yang berkontribusi dalam pembangunan. Bahkan, sejak awal kemerdekaan Indonesia, media-media di daerah telah menunjukkan perannya dalam mendidik dan mempertahan kemerdekaan. Kedaulatan Rakyat, salah satu media lokal di Yogyakarta, yang terbit pada 1945, berperan besar menyebarkan informasi semangat kemerdekaan. Pun membendung propaganda Jepang. KR, sebutan akrab koran itu, hingga kini masih terbit melayani pembaca di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Di Ternate, Menara Merdeka terbit sejak 1946, mengambil bagian mendidik dan mempertahankan kemerdekaan. Media yang dibikin Chasan Boesoirie, Arnold Mononutu, dan M.S. Jahir ini, berperan mengkritik Konferensi Malino, yang  digagas oleh Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda Van Mook. Konferensi tersebut dengan tujuan pembentukan negara-negara bagian dalam kerangka pembentukan Federasi Indonesia atau Negara Indonesia Timur.

Dalam edisi 5 Agustus 1946, sebagaimana tulis Adnan Amal (2018), di koran itu tertulis: “Betapa bedanya pelaksanaan musyawarah di Jawa dan di Malino; di mana di Jawa, orang berusaha untuk memunculkan Indonesia ke atas pentas Internasional, sementara di Malino orang bermusyawarah untuk mengembalikan kepentingan-kepentingan Indonesia ke dalam suasana Hindia Belanda.” Berita Menara Merdeka tak sekadar bikin Van Mook geram lewat semangat nasionalis, tapi juga memberikan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya mempertahankan kemerdekaan.

Bahkan mungkin, Medan Prijaji  termasuk dilabeli media lokal sebelumpendirinya, Tirto Adhi Soerjo dinobatkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh pemerintah Indonesia.Media yang hidup di antara tahun 1905-1912 itu, memberikan pendidikan pada masyarakat tentang hak kepemilikan tanah dan perlawanan terhadap kolonial. Tirto, sepertidiceritakan Pram (1985), lewat suatu gerakan emansipasi pribumipada 1908, juga menerbitkan Poetri Hindia  di Batawi, sebagai ruang edukasi dan kreativitas perempuan.

Media massa lokal pada tahun-tahun itu, terutama media cetak memiliki ruang yang sangat terbatas dalam menjangkau pembaca. Jika media itu terbit di Yogyakarta, misalnya, hanya dapat dibaca masyarakat Yogyakarta, atau termasuk masyarakat Jawa Tengah yang mudah dijangkau. Terlebih yang sangat sulit di daerah-daerah kepulauan, seperti di timur Indonesia. Di Maluku, ketika media itu terbit di Ambon, sulit untuk dapat dibaca di Ternate, Buru, Seram, dll. Kalaupun dapat dibaca, telahmenunggu berhari-hari, karena koran dikirim lewat kapal laut.

Kendala itu perlahan-lahan teratasi dengan perkembangan teknologi. Pada medio 1990-an, lahirlah teknologi yang memungkinkan beberapa surat kabar menerapkan cetak jarak jauh. Namun, karena menjangkau teknologi ini membutuhkan biaya besar, cetak jarak jauhlebih banyak dilakukan oleh media nasional, seperti Kompas yang menyisipkan edisi Jawa Timur.

Manado Post, menurut Usman Ks. (2009), salah satu koran lokal  di Sulawesi Utara milik Jawa Pos Group, pernah melakukan ekspansi pasar di luar negeri pada 1996. Manado Post menerbitkan sisipan mingguan berbahasa Inggris dan Indonesia, yang diedarkan di sejumlah negara Asean, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina.

Meski  tidak berhasil dengan baik, ekspansi Manado Post ke pasar Internasional menandakan peluang bagi media lokal membuka pasar lebih luas. Apalagi di era internet ini, media daring yang begitu menjamur di daerah-daerah, sukar hidup bila sekadar berkompetisi di daerah provinsi tertentu. Era ini, sesungguhnya dapat “menghapus” ruang bila media mampu membangun ekspansi pasar, melayani pembaca di seluruh Nusantara, bahkan dunia. Namun, ekspansi itu dapat dilakukan jika media menyiapkan sumber daya yang mumpuni, juga tentu kreativitas atau inovatif bertaraf tinggi.

Menurut John V. Pavlik (2013), inovasi dalam media berita adalah mengambil pendekatan baru dalam praktik dan bentuk media, sambil mempertahankan komitmen pada kualitas dan standar etika yang tinggi.

Inovasi itu, kata Pavlik, setidaknya memiliki empat dimensi. Satu, membuat, menyampaikan, dan menyajikan konten berita yang berkualitas. Dua, melibatkan publik dalam wacana berita interaktif. Tiga,  menggunakan metode pelaporan baru yang dioptimalkan untuk digital dan jaringan. Empat, mengembangkan manajemen baru dan strategi organisasi untuk lingkungan digital dan jaringan seluler.

Namun kini, ihwal inovasi masih dipandang remeh media lokal, meski juga memang karena terkendala biaya. Itu mengapa media daring, terlebih di daerah-daerah, banyak masih dikelola oleh satu atau dua orang, dan manajemen pengelolaannya belum mengikuti standar profesional. Salah satu bukti tidak profesional itu, adalah peran ganda yang diemban kepada wartawan.

Selain memburu berita, wartawan juga diberi tugas mencari iklan dan urusan kontrak kerja sama dengan pihak perusahaan swasta dan pemerintah. Sebab, unsur perangkat dalam perusahaan media, seperti redaksi, pemasaran, dan periklanan belum diprioritaskan menjalankan tugas sebagaimana mestinya.

Bahkan, banyak wartawan yang bekerja tanpa gaji dan menggantungkan pendapatan lewat potongan dari jatah iklan, advertorial, dan promo news. Padahal, kualitas kerja sangat juga didukung dengan jaminan hidup atau gaji yang memadai. Karena dengan jaminan kesejahteraan, karyawan makin termotivasi untuk meningkatkan kualitas kerja. Terutama di dunia jurnalisme.

Ketika wartawan tidak diberi gaji, seperti membuka peluang untuk menggadaikan idealismenya, “berselingkuh” dengan narasumber untuk mendapatkan jatah iklan, atau seperti istilah “uang pulsa dan transportasi”.

Jika sudah begitu, wartawan tak lagi memikirkan kepentingan publik; menjadi penghubung bagi masyarakat dan pemerintah. Peranwar tawan, yang bagi Habermas (1987), menempati titik sentral, memastikan masyarakat dapat mengabadikan prinsip komunikasi bebas sebagai syarat segala bentuk keadilan. Karena, perbaikan kondisi sosial masyarakat hanya mungkin jika media berfungsi dengan optimal dalam mediasi warga dengan negara. []

Baca Juga