Opini
Sofifi Darurat Sampah
Geliat pembangunan Sofifi, cikal bakal Ibu Kota Provinsi Maluku Utara mulai terealisasi di Tahun 2020. Pembangunan Masjid Raya atau Islamic Center, Rumah Sakit Sofifi dan penataan koridor jalan raya 40 dari depan Kediaman Wakil Gubernur sampai di depan kantor Kementerian Agama Provinsi Maluku Utara. Ditambah lagi pembangunan perumahan PNS di Desa Durian. Semuanya akan menjadi magnet peningkatan aktivitas masyarakat di Sofifi. Apalagi Sofifi akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) Nasional ke XXVI Tahun 2021 mendatang. Sudah tentu, peningkatan aktivitas masyarakat menuju Sofifi tak bisa dibendung.
Konsekuensi peningkatan aktivitas masyarakat di suatu daerah akan berdampak positif maupun negatif. Dampak positif misalnya peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Sementara dampak negatif adalah meningkatnya jumlah produksi sampah setiap hari. Fenomena ini sedang melanda Sofifi, terjadi penumpukan sampah dimana-mana sampai ke badan-badan jalan. Fenomena penumpukan sampah terjadi di beberapa titik diantaranya, TPS Pasar Galala, TPS Perumahan PNS, TPS Balbar dekat lapangan bola, TPS Sofifi dekat pelabuhan Speedboat, Jl. Raya 40 dekat RSU Sofifi dan masih ada beberapa titik lagi. Bahkan ada masyarakat yang sudah bertindak ekstrim, daripada terjadi penumpukan sampah lebih baik TPS ditutup pakai gembok dan ada yang membangun tempat duduk dekat TPS. Supaya tidak ada lagi masyarakat yang membuang sampah.
Apa yang harus dilakukan? Tidak bermaksud menggurui, karena saya yakin dan percaya bahwa sumber daya aparatur di instansi terkait baik tingkat Provinsi Maluku Utara atau Kota Tidore Kepulauan sudah sangat expert dalam pengelolaan sampah. Jadi tidak perlu lagi saya jelaskan cara pengelolaan sampah dari sumber sampai di TPA. Hanya mau atau tidak, instansi terkait merealisasikan konsep yang sudah tertuang dalam produk pengelolaan sampah di Sofifi, sampai Sofifi bebas dari ancaman darurat sampah.
Pengelolaan sampah menjadi persoalan serius di Sofifi, perlu disikapi dengan serius dan terukur dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Bagaimana tidak, menurut Bijaksana Juneserano, masyarakat Indonesia rata-rata menghasilkan sampah 2.5 kilogram per hari. Jika 2.5 kg dikalikan dengan jumlah penduduk di 5 desa/kelurahan Kecamatan Oba Utara seperti Guraping, Galala, Balbar, Sofifi dan Durian dengan rata-rata jumlah penduduk 1000 per kelurahan/desa. Maka 5000 penduduk di 5 kelurahan/ desa dilakikan 2.5 Kg sampah, maka diketahui jumlah produksi sampah setiap hari di Sofifi adalah 12.5 Ton. Jika hitungan ini dianggap berlebihan, kita ambil seperempat maka diketahui setiap hari masyarakat di Sofifi menghasilkan kurang lebih 3.1Ton sampah. Bagaimana jika hasil ini dikalikan dengan satu minggu, bulan, bahkan tahun?. Kondisi seperti ini jika terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan terjadi Sofifi darurat sampah.
Langkah protes sudah sering dilakukan melalui media sosial, bahkan kemarin senin, 10/08/2020, emak-emak dari pasar Galala melakukan aksi di depan Kantor DPRD Provinsi Maluku Utara tentang penumpukan sampah sampai mengeluarkan bau busuk yang terjadi di kawasan perkotaan Sofifi. Apakah aksi yang dilakukan emak-emak salah alamat? Tentu tidak. Mereka menunggu moment tepat bertemu dengan semua unsur terkait sehingga aspirasi mereka dapat terealisasikan, Sofifi Bebas Sampah.
Pengelolaan sampah di Sofifi menjadi silang pendapat, ada yang berpendapat harusnya Pemerintah Kota Tidore Kepulauan melalui instansi terkait yang kelola, ada pula Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang kelola karena Sofifi adalah cikal bakal Ibu Kota Provinsi Maluku Utara. Sampai-sampai ada win-win solution dari Gubernur Maluku Utara, seperti yang termuat dalam media online, Pemprov menyediakan fasilitastruk sampah, namun Pemkot Tidore Kepulauan siapkan personelnya.
Solusi yang ditawarkan Gubernur sangat bijaksana, tidak melempar tanggungjawab ke Pemerintah Kota Tidore Kepualuan semata, tapi membagi kewenangan mengelola sampah, tujuannya agar antara Pemprov dan Pemkot sama-sama punya rasa saling memiliki Sofifi, punya perhatian terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat Sofifi.Menurut salah satu warganet, jika Pemprov dan Pemkot tidak mampu lagi menyelesaikan persoalan sampah di Sofifi, sebaiknya wilayah Sofifi menjadi Daerah Otonomi Baru untuk mengurusi dirinya sendiri. Bentuk-bentuk pernyataan kekecewaan seperti ini sangat manusiawi karena melihat Sofifi adalah wajah Maluku Utara. Sofifi adalah Kita dan Kita adalah Sofifi, yakni membangun Sofifi adalah membangun Maluku Utara. Menyelesaikan persoalan sampah di Sofifi adalah menyelesaikan masalah Maluku Utara.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk melihat persoalan sampah ini sebagai persoalan kemanusian, tidak perlu menjadi orang Sofifi untuk mengatasi persoalan sampah, cukup membenarkan kalau tumpukan sampah yang lama akan menghasilkan bau busuk, itu tidak baik untuk manusia, dari segi kesehatan maupun estetika kawasan perkotaan. Jika sudah membenarkan akan hal itu, perlu adanya upaya serius dari segi kebijakan maupaun program yang memiliki anggaran mengurusi sampah di Sofifi.
Komentar