Catatan Perjalanan Jarod dalam Presipitasi Kopi
TRANSFORMASI MASYARAKAT POJOKAN

Oleh: Herman Oesman
(Dosen Departemen Sosiologi FISIP UMMU)
Kopi merupakan komoditas baru dan eksotik yang disebut “revolusi konsumen”
(Brian Cowan; The Social Life of Coffee, 2005:7)
(I)
Jarod Kafe adalah keunikan, fenomenal. Di mana setiap sudut ruang menguar aroma kopi, bercampur asap rokok yang pergi entah kemana diiringi wacana tematik yang terlontar secara beragam. Jarod, tak hanya sebuah kafe, tatkala secangkir kopi tandas dalam dahaga, lalu semuanya berlalu. Namun, tandasnya kopi dalam cangkir sebuah pertalian pertemanan dan persaudaraan justru baru mulai tumbuh. Tatkala kopi dilesapkan dalam dahaga, revolusi konsumen itu mulai bergerak. Dan Jarod Kafe, telah memulai itu semua 17 tahun lalu.
Sebagaimana mahasiswa yang pernah kuliah di Manado, nama Jarod –terambil dari nama Jalan Roda, jalan di mana gerobak dorong sering diparkirkan – tentu tak asing dan tak bisa melupakan begitu saja. Sebuah warung kopi teramat sederhana waktu itu, yang sekarang dibuat bagai sebuah los, memanjang dengan lapak-lapak kecil yang menawarkan selera, menjadi pangkalan siapa saja dengan status sosial beragam. Politisi, birokrat/pejabat, akademisi, wartawan, aktivis, profesional, seniman/budayawan, preman, dan komunitas awam di Manado tumpah ruah dalam wacana segala tema. Larut dalam secangkir kopi khas, roti bakar, dan nasi kuning gurih. Melompati beragam perbincangan isu dan gosip. Berjam-jam bertahan dalam suasana penuh riuh, gemuruh, akrab, kekeluargaan, dan sarat dengan perdebatan-perdebatan.
Ya, nama itu lalu diadopsi oleh Sahril Nayu (lebih dikenal Ali), sebagai sebuah nama kafe dan kemudian bermetamorfosis di Ternate. Sekitar pertengahan tahun 2004 di bilangan ex-gedung Bimoli yang ditempati para pengungsi, belakang ex-RS Dharma Ibu, warung kopi itu dihadirkan. Jarod Kafe lahir. Kecil, sederhana, dan penuh kekeluargaan. Hanya sekitar empat buah meja kecil yang saya ingat. Sebuah citra masyarakat pojokan _(street corner society)_ meminjam ungkapan William Foote Whyte (1955) yang perlahan-lahan menghimpun wacana, menautkan aspirasi, dan mengakomodasi emosi dalam ruang yang tak lebih 4x5 m2 kala itu. Siapapun yang datang ke Jarod Kafe akan segera mencairkan kebekuan yang ada. Inilah kafe komunitas pertama.
Sebelum membangun Jarod Kafe, Ali dan istrinya, Ci' La, di tahun 2001 (kalau tak salah ingat), malang melintang berjualan kopi dengan menggunakan gerobak di deretan pantai Falajawa. Saat itu, kehidupan Kota Ternate pasca konflik begitu gaduh, segala macam ulah dan polah warga kota berpadu di sweering Pantai Falajawa. Ada banyak istilah dari sakral hingga profan bermain di area publik. Misal, istilah toteba, salah satunya. Ali dan istrinya akrab dengan semua kehidupan pantai Falajawa.
Tak lama di belakang ex-RS Dharma Ibu, tahun 2009 Jarod Kafe pindah ke belakang benteng Oranye, bersebelahan dengan lapangan tenis. Berbagai event kampus, LSM, dan anak muda kerap dihelat di sana. Mulai diskusi dengan tema ringan hingga tema berat, bahkan tak jarang diskusi panas kerap tersaji di sana. Tak ketinggalan pentas seni dan pangkalan menyusun rencana aksi, kafe ini menjadi basis. Berbagai kelompok aktivis menyatu dan saling mengenal. Jarod Kafe merupakan melting pot bagi kelompok aktivis, akademisi, jurnalis, dan siapa saja. Tahun 2010, lahirlah Komunitas Djarod yang belum memiliki struktur yang ketat. Komunitas ini masih cair.
Kurang lebih 5 tahun di belakang benteng, maka tahun 2014 Jarod Kafe lalu pindah dan menemukan lokasinya di kawasan Stadion, berdampingan dengan Polres Kota Ternate. Cukup luas, mengambil dua lokasi saling berimpitan. Di sini Jarod Kafe tak hanya bermetamorfosis, tetapi juga bertransformasi dengan cepat. Dilengkapi fasilitas WiFi, kafe ini lalu menjadi ruang mangkal generasi milenial, bercampur dengan penikmat kopi lainnya. Sejak pagi hingga tengah malam, selesai sekitar kurang lebih pukul 12 malam, kafe ini tak pernah sepi. Jarod Kafe pun berkembang, tak hanya di kawasan Stadion, tetapi juga telah melebarkan sayapnya ke kawasan BTN Maliaro dan hingga ke Halmahera Utara (Tobelo).
(II)
Aktivitas Jarod Kafe di Stadion makin riuh dan beragam, tak sekadar berdiskusi dan berdebat. Asosiasi yang telah dibentuk, dihimpun kembali semangat dan visi dengan menguatkan struktur secara tegas untuk menggerakkannya, mulailah Komunitas Jarod berkibar. Berbagai aksi sosial tak luput dari komunitas ini untuk ikut membantu. Tak hanya di Ternate, di belahan Halmahera mereka hadir untuk membantu meringankan beban yang ada. Struktur "komunitas Jarod" ini tentu muncul dari kebiasaan asosiasi para anggotanya dalam jangka waktu yang lama (Whyte, 1955:255). Komunitas Jarod memang menghimpun orang-orang yang sudah saling mengenal, saling merawat pertemanan. 10 tahun sudah usia Komunitas Jarod mengawal ruang publik Jarod Kafe.
Sebagai masyarakat pojokan, Jarod Kafe menghadirkan ruang-ruang interaksi, bahkan sebagai representasi medium bagi kaum muda untuk melampiaskan kebekuan pikiran dan kegelisahannya, ketika ruang-ruang publik di Kota Ternate dipenuhi dengan situasi pengap, kehampaan kreasi, dan ketidak-menentuan. Ketika ruang-ruang publik berganti baju menjadi wilayah-wilayah pertarungan ekonomi tak sehat dan tak adil, Jarod Kafe menawarkan katup pengaman sebagai tempat berkumpulnya kaum muda dan siapa saja. Di sana lalu-lalang berbagai ide-ide cerdas, kritis, kerap genit dan nakal berseliweran secara demokratis.
(III)
Kini, tak hanya Jarod Kafe. Muncul puluhan kafe komunitas, dengan pelbagai corak, model, dan pola, yang mengadopsi gaya kafe modern masyarakat urban. Dan, Jarod Kafe, tetap hadir dengan _manual brewing_ (teknik seduh manual) yang tetap melekatkan kenangan yang tak mudah dilupakan. Suasana, harga murah-meriah, dan interaksi menjadi titik tumpu kaum muda membangun pertemanan. Jarod Kafe meleburkan semuanya tanpa rekayasa, tanpa dibuat-buat. Ibarat _aftertaste_, ada rasa yang melesap lalu tertinggal di mulut setelah meminum kopi, lalu mengalir begitu saja, siapa yang datang dan pergi terserah kapan saja, pasti akan kembali menyesapkan kopi Jarod. Inilah sebuah ruang yang tercipta, yang menjadi antitesa dari semrawutnya ruang publik kota yang tak memiliki ruh dan nurani. Jarod Kafe menghadirkan sebagian keinginan dan kebutuhan kaum muda, melahirkan budaya, dan tradisi transformatif.
Sebaliknya, mari kita saksikan bagaimana ruang-ruang publik yang tercipta. Di sana terbangun sejumlah ketidak-beresan. Ruang publik dan area kota berubah menjadi panggung kompetisi mereka yang punya modal. Kota kehilangan prakarsa yang bisa membangkitkan kreativitas dan modal sosial warganya, semuanya mudah larut dalam kelatahan, epigonistik dan ‘iko rame’. Kota seolah memberikan ruang-ruang bagi tidak tumbuhnya modal/kapital sosial secara baik. Modal sosial menurut penggagasnya, Lyda Judson Hanifan, 1879-1932, termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial, lebih menekankan perlunya kemandirian dalam mengatasi masalah sosial ekonomi yang ada. Karena itu, dikhawatirkan, modal sosial ini tak akan tumbuh dan akhirnya kota hanya akan melahirkan warga yang saling iri, cemburu, dan saling berkompetisi secara tidak sehat.
Kini Kota Ternate perlahan mulai memfungsikan ruang publik secara bertahap. Tumbuhnya taman dan kafe sebagai ruang publik baru, memberi indikasi tentang itu. Namun, harapan terjadinya sinergitas dengan elemen lain dalam membentuk ruang-ruang komunikasi bagi publik, masih memerlukan proses panjang.
Ruang publik ditandai tiga hal : responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Kota Ternate telah menyediakan itu, namun kemudian ini disalahgunakan. Justru ruang jalan menjadi arena kepentingan acara kelompok, sekalipun kemudian terbit Perda No. 04 Tahun 2014 tentang Ketertiban Umum, di mana salah satunya sebagai upaya meredam penggunaan jalan raya untuk aktivitas publik.
Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas serta dengan konteks sosial.
Dengan kata lain mengikuti pemikiran Madanipour (1996), ruang publik perkotaan memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender, dan usia saling bercampur-baur. Pemahaman ini lebih khusus pada masyarakat dan pemerintahan yang menganut paham demokratis. Bidang publik dalam ruang perkotaan adalah semua jaringan perkotaan yang dapat diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum, termasuk jalan, taman, dan lapangan/alun-alun.
(IV)
Berangkat dari pemikiran tersebut, muncul pertanyaan, lantas dimanakah ruang publik Kota Ternate yang dapat memenuhi tiga pilar tersebut? Secara tidak langsung, Jarod Kafe merupakan ruang publik. Di sana tersedia ruang (dalam tanda petik) bagi interaksi publik. Meminjam analisa Jurgen Habermas dalam karyanya _The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry into a Category of Bourgeois Society_ (1989), Jarod Kafe bagi sebagian anak muda, atau pegiat komunitas merupakan _Oikos_ (rumah) yang tak ada lagi distingsi antara privat dan publik, menyatu dalam lanskap ruang sembari mengkalibrasi kopi secara bersama.
Kafe telah menjadi salah satu ruang perkotaan yang mestinya dikembangkan lebih luas lagi. Dengan karakteristik ruang sebagai tempat interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti pentingnya Jarod Kafe dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial warga. Jarod Kafe, disana tumpah semua level dan strata masyarakat serta menjadi kepedulian bersama. Kota Ternate memerlukan ruang yang lebih leluasa bagi semua tingkatan untuk dapat berinteraksi tanpa dibebani status sosial apapun. Sebagaimana Jarod Kafe, di sana menjadi tempat nongkrong para pejabat penting, yang akhirnya dapat memberikan resonansi bagi masyarakat sekitarnya. Tumbuh apa yang diistilahkan Habermas dengan demokrasi deliberatif, suatu demokrasi yang dipercakapkan tentang suatu kebijakan, diuji dalam suatu diskursus secara ketat, dewasa, dan demokratis, yang kemudian memantik partisipasi publik melalui pembentukn aspirasi dan opini publik, pada akhirnya kebijakan itu dapat mendekati harapan banyak pihak.
Ternate dengan ruang interaksi, sudah semestinya didorong lahirnya lebih banyak ruang-ruang interaksi yang mudah diakses semua kalangan, agar ruang demokrasi deliberatif makin berkembang. Bukan justru menciptakan ruang-ruang yang hanya dinikmati kalangan tertentu saja yang memungkinkan setiap orang saling melakukan kontak dan membangun interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial mereka. Apalagi dengan era digital, saling berdialektika menjadi teramat penting, dan sebaliknya, tidak menjadi bisu dan diam dalam ruang publik.
Jarod Kafe, sebagai sebuah gambaran masyarakat pojokan telah memberi kita pelajaran besar, betapa pentingnya interaksi dan diskursus untuk memperkuat basis kohesi sosial di tengah maraknya kehidupan individualistik saat ini. Untuk itu, upaya mendorong demokrasi yang deliberatif perlu dikuatkan di ruang publik. Di Jarod kafe, ada presipetasi dalam kopi. Ada pengendapan gagasan untuk bergerak bagi demokrasi yang lebih dewasa dan lebih santun. ***
Komentar