Ekspedisi EcoNusa

Tradisi dan Kebiasaan yang Sempat Hilang Selama Tiga Dekade, Kini Kembali Dihidupkan

Tradisi tumbuk padi oleh masyarakat Desa Samo, Kecamatan Gane Barat Utara, Kabupaten Halmahera Selatan. (foto: Awi/Hpost)

BACAN, Hpost - Selama 38 tahun, tradisi dan kebiasaan menanam padi masyarakat Desa Samo, Kecamatan Gane Barat Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara hilang begitu saja. Salah satu faktor, hilangganya tradisi dan kebiasaan itu ialah masuknya arus modernisasi.

Setidaknya, hal ini yang dikatakan Rusli Hi. Abas salah satu tokoh masyarakat Desa Samo. Dihadapan sejumlah awak media, ia sedikit bercerita tentang hilangnya trasisi tersebut.

Dahulu, masyarakat Desa Samo sangat berkecukupan. Mulai dari, sandang dan pangan diperoleh sendiri dari hasil berkebun. Beras diperoleh dari hasil nemanam padi, hingga ikan yang diambil dengan cara memancing. Namun sejak 1982, tradisi dan kebiasaan itu mulai ditinggalkan.

"Generasi kini sudah berganti, kebiasan orang tua terdahulu mulai ditinggalkan. Anak-anak yang selesai bersekolah SMP dan SMA, tidak lagi mau mewarisi hal itu. Mereka lebih memilih mencari uang diluar desa, untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari," katanya 27 Oktober 2020.

Dikisahkan, sewaktu ia duduk dibanku Sekolah Dasar (SD). Ia sangat sering ikut orang tuanya, menanam padi disawah. Padi yang ditanam merupakan jenis padi lokal, seperti dara mangam dan ratu manda. Setidaknya, nama itu adalah nama padi yang dikenal masyarakat Desa Samo.

Cara dan pola menanam padi pun terbilang unik. Kala itu, masyarakat berpatokan penanggalan Islam (hijriyah-red), menghitung bintang hingga melihat pertanda alam. Enam bulan sebelum Ramadhan adalah masa bertanam hingga panen, sementara beberapa bulan setelahnya atau disebut masuk bulan haji, adalah masa dimana kembali bertanam.

"Sebelum memulai bertanam, salah seorang petua adat atau tokoh adat memanjatkan doa sebagai awal ritual bertanam. Kemudian, menamcapkan empat batang pohon ke tanah berbentuk persegi empat. Ditengah-tengah empat batang pohon itu, ditanami padi dengan sehelai dau sere. Kenapa? karena dipercaya hasil padi akan baik dan jauh dari hama," ungkap pria 52 tahun itu.

Bukan hanya itu, tradisi dan kebiasaan mengolah pohon sagu pun hilang. Kebiasaan instans membeli kebutuhan pokok sehari-hari, membuat olahan dari sagu juga ditinggalkan.

"Kalau dulu, ketika sagu di dapur habis, ibu meminta bapak ke kebun ambil sagu, sekarang tidak. Ketika sagu habis, ibu meminta bapak keluar cari uang untuk membeli kebutuhan pokok, sementara uang kan cepat habis," bebernya sembari sedikit tersenyum.

Padahal, masyarakat Desa Samo dapat membuat sejumlah olahrahan sagu. Yang notabene, olahan tersebut bisa bertahan hingga berbulan-bulan. Olahahan sagu yang sering dibuat antara lain sagu lempeng, sagu pupeda, sagu kelapa, sagu gula aren dan sagu bakar.

"Sewaktu saya kecil, saya tidak menangis kalau beras habis, ada olahan sagu yang tiap hari mengganjal perut saya. Biasanya, sagu olahan sagu kami makan dengan pisang rebus atau pisang goreng. Kenapa? Sagu yang ada di desa kami tidak kami tanam, melainkan alam menyediakan itu," ungkapnya yang juga mantan Kepala Desa itu.

Kedatangan Perkumpulan PakaTiva sejak beberapa bulan terakhir, membuka mata masyarakat Desa Samo. Yang mana, dulunya meninggalkan tradisi dan kebiasan itu, kini dimulai kembali. Menggunakan pendekatan kebiasaan dan kultur, membuat pendampingan yang dilakukan menuai respon positif.

"Awalnya ada pro dab kontra, karena hasil dari berkebun tidak lagi menunjang kebutuhan masyarakat. Namun, dengan sabar dan penuh keyakinan, teman-teman PakaTiva berhasil membuka mata masyarakat Desa Samo. Karena ditengah krisis pangan akibat pandemi covid-19, berkebun merupakan salah satu jalan keluar," tukasnya.

Kini, tradisi dan kebiasan itu kembali dilakukan. Setidaknya, hal itu ditampilkan dan ditunjukkan masyarakat Desa Samo di Festival Kampung 24 oktober lalu, dihadapan teman-teman EcoNusa Indonesia yang melakukan Ekspedisi Maluku 2020.

"Buktinya, bisa lihat sendiri pada saat festival, yang mana mmasyarakat menjadi satu untuk kembali mengeluarkan potensi menanam, yang sudah hilang selama puluhan tahun itu. Ternyata, ada sekelompok orang (PakaTiva-red) yang bersedia membina masyarakat akan penting berkebun.

"Dan sekarang, sudah ada delapan kebun yang ditanami padi. Luasana tanamnya tidak dihitung, sejauh mata memandang saja," ungkapnya.

Terpisah, Penanggungjawab Festival Kampung, Zavira Daeng Barang mengungkapkan, bimbingan dengan pendekatan kebiasaan dan kultur, membuat masyarakat Desa Samo sadar akan potensi mereka. Yang mana, mereka mampu mengelola dan memanfaatkan potensi dan kekayaan alam yang tersedia.

"Bagaimana memulai dari diri sendiri, dan bagaimana memulai dari kampung kita sendiri. Beras bisa diproduksi sendiri dan minyak kelapa bisa diproduksi sendiri. Alhasil, bisa menekan biaya pangan sehari-hari, menyimpan uang lebih bagus untuk biaya sekolah anak dan kebutuhan penting lainnya," pungkasnya.

Sembari berharap, Desa Samo bisa menjadi desa percontohan ketahanan pangan di Kabupaten Halmahera Selatan. Harus mulai melangkah dari sekarang, jangan hanya jadikan mimpi.

Penulis: Awi
Editor: Red

Baca Juga