Sejarah

Ternate, dari Masa ke Masa

Suasana pusat kota tua Ternate. Foto: Rajif Duchlun

Tertegun dan tak menyangka. Barangkali begitu sikap orang-orang Cina, Arab, hingga Eropa kala berdiri di atas anjungan kapal sembari melihat pulau-pulau di Maluku, berjajar sangat indah.

Hamparan pepohonan rempah memenuhi sepanjang punggung gunung dan lanskap laut yang luas, menjadikan Maluku—sebutan untuk Jailolo, Bacan, Tidore, Ternate, dan Loloda—saat itu begitu istimewa di mata dunia. Ternate, misalnya. Kota kecil nan eksotis ini tentu punya kenangan sendiri.

Wajah kota dan posisi penting pusat interaksi orang-orang di masa lalu dan masa kini terus bergeser karena keinginan pembangunan. Di akhir Desember 2020 ini, Ternate pun sudah tiba di usia 770 tahun.

Selasa 29 Desember 2020, kami melihat sejumlah titik di Ternate yang sudah mulai berubah. Di beberapa bagian, bentuk dan kenangannya masih sangat terasa. Salah satu yang paling fenomenal adalah pasar Gamalama.

Di titik ini, bangunan megah sudah berdiri gagah menggantikan bangunan sebelumnya. Padahal dulu lokasi ini adalah pusat interaksi paling ramai di Ternate.

Sejarawan dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Irfan Ahmad, kepada halmaherapost.com mengatakan, sebetulnya pasar Gamalama itu bekas pasar kolonial yang aktif sekitar 1800-an.

“Dahulu sentral jual-beli selain di depan Benteng Oranje, pasar itu juga dibuka khusus bagi orang-orang Maluku (Utara) yang datang berdagang hasil bumi, peternakan dan tempat perjumpaan mereka di pasar itu,” tutur Irfan.

Irfan bilang, tahun 1970-an pasar tersebut kembali dibuat bertingkat dan disebut sebagai pasar ‘Gamalama’.

“Sayang semua itu tinggal kenangan. Tidak salah pemerintah membuat ‘Gamalama Modern’. Tapi sangat disayangkan bangunan yang memiliki nilai sejarah dan salah satu bangunan pertama yang ‘modern’ pada masanya dibongkar tanpa jejak dan digantikan dengan yang baru,” jelasnya.

“Secara ekonomi menguntungkan bagi masyarakat saat ini, tapi secara nilai history dan budaya ini sangat merugikan Kota Ternate sendiri. Apalagi belum ada narasi lengkap tentang pasar Gamalama,” sambungnya.

Tidak hanya Gamalama sebenarnya. Pantai Ternate, jelas sudah berubah. Bangunan ruko dan reklamasi tampak menjadi daya pikat baru: Landmark, Pantai Falajawa, menjamurnya retail raksasa, hingga Taman Kota.

Di sisi lain, jejak Bioskop pertama Ternate pun masih berdiri, meski secara fungsi, sudah tak aktif lagi, toko buku tertua seperti Selecta, juga terlihat masih menghadap ke arah laut dengan gagah.

Sementara itu, Ketua Bidang Sosial Budaya Keluarga Malamo Ternate (KARAMAT) Wawan Iliyas mengatakan, dari sisi kebudayaan, kota ini juga telah terpolarisasi dengan berbagai kepentingan.

“Oleh karena itu, kondisi keragaman etnis dan budaya di Ternate merupakan intervensi sejarah yang patut diperhatikan secara baik dan tidak a historis,” ucap Wawan.

Akademisi IAIN Ternate ini mengungkapkan, Ternate saat ini, di usia 770 tahun, tentu bukan usia yang muda. Ternate, kata dia, mengalami perubahan dari segala bidang dengan dua kekuatan institusi, yakni tradisional dan modern.

“Dari semua fakta perubahan yang paling mendasar adalah soal mentalitas. Dalam hal ini, merujuk pada apa identitas kota yang mestinya dipahami secara asali dan mendasar. Kota ini memiliki kekayaan, kekuatan mental kebudayaan luar biasa, tapi sayang kita belum bisa melihat pengejawantahan mentalitas itu ke dalam bentuk produk kebijakan kultural di daerah,” jelasnya.

Wawan menjelaskan, Ternate ke depan mesti lebih menghargai kebudayaan dan memiliki visi besar untuk mengembalikan mentalitas kepesisiran atau kemaritiman secara terukur.

Kelemahan mengelola kota ini diakuinya karena luput melihat fondasi ketika kota ini didirikan 770 tahun lalu.

Menurut dia, lahirnya UU Pemajuan Kebudayaan harus segera direspons secara realistis oleh pemerintah kota. Pokok pikiran kebudayaan mesti disosialisasikan kepada seluruh pemangku kebijakan dan masyarakat.

“Semisal ada metode Pangaji dalam soal pendidikan karakter yang selama ini luput dari sentuhan kebijakan budaya dan agama. Kami berharap di pemerintahan akan datang lebih memerhatikan nasib mentalitas seluruh bangsa yang menaungi kota mungil ini. Kota ini menjadi bermartabat hanya ketika nilai kebudayaan diproduksi lewat kebijakan daerah dari generasi ke generasi,” paparnya.

Ia menambahkan, pemerintah kota juga perlu memasukkan nilai-nilai perjuangan pahlawan Sultan Baabullah dan seluruh pahlawan lokal ke dalam kurikulum pembelajaran sekolah formal.

“Ada kebebasan di sana, ada religiusitas, ada pluralitas dan jiwa kepemimpinan yang menyayangi semua umat. Ini harus diutamakan,” pungkas Wawan.

Penulis: Rajif Duchlun
Editor: Firjal Usdek

Baca Juga