Imlek

Mengenal Klenteng Thian Hou Kiong, Bukti Sejarah Orang China di Ternate

Pendeta J.S Martin (kanan) sedang memimpin ibadah di Kelenteng Thian Hou Kiong. || Foto: Gustam Jambu/JMG

Ternate, Hpost – Aroma dupa memenuhi seisi Klenteng Thian Hou Kiong di lingkungan Kampung Tengah, Kelurahan Gamalama, Kota Ternate, Maluku Utara.

Asap dari lilin dan hio yang dibakar malam itu, Kamis 11 Februari 2021, menambah khidmat suasana. Dari dalam ruangan, lantunan doa dipanjatkan kepada sang pemberi kehidupan, mengharapkan kemakmuran serta keselamatan bangsa.

“Tahun ini torang (kami) hanya fokus berdoa saja. Karena situasi pandemi COVID-19 jadi tidak dibikin acara yang besar,” tutur Ketua Majelis Agama Konghucu (Matakin) Ternate, Jhon The, saat ditemui usai ibadah Imlek, Jumat 12 Februari dini hari.

Ia mengaku, hal ini sudah diinstruksikan oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) pusat, bahwa hanya doa yang dilakukan. “Supaya pandemi cepat berlalu,” tuturnya.

Kesederhanaan perayaan Imlek di klenteng yang dibangun pada 1657, atau tepatnya di masa kepemimpinan Sultan Mandar Syah itu, seperti di tahun-tahun sebelumnya.

Sejarawan Universitas Khairun Ternate, Irfan Ahmad mengatakan, dari sejumlah referensi, Klenteng Thian Hou Kiong juga disebutkan sebagai klenteng tertua di Indonesia Timur.

Setiap menjelang hari keagamaan, klenteng yang terletak di Lorong Tapikong atau Lorong Naga itu, selalu menjadi magnet bagi etnis China yang berada di sekitar Pulau Ternate, seperti Makeang, Bacan, dan daratan Halmahera.

Pendeta di Klenteng Thian Hou Kiong J.S Martin menjelaskan, nama klenteng tersebut memiliki arti Ibu Suri Agung. Nama itu merujuk pada Tian Shang Sheng Mu, atau lebih dikenal sebagai Mak Co dan Dewi Laut.

Rujukan ini, kata dia, berdasarkan geografis Kota Ternate yang berada di pesisir sehingga berdekatan dengan laut. Tian Shang Sheng Mu merupakan pelindung para pelaut. “Makanya di zaman dulu itu, setiap kapal-kapal milik etnis Tionghoa di dalamnya pasti ada altar Tian Shang Sheng Mu,” katanya.

Seorang penganut Konghucu sedang beribadah di Kelenteng Thian Hou Kiong. Foto: Gustam Jambu/JMG

Selain Dewi Laut atau Ibu Suri Agung, di klenteng tersebut juga terdapat empat altar lainnya, yakni altar Dewa Kwan Kong atau Dewa Kebijaksanaan, Fu De Zheng Shen (Dewa Keberkahan/rejeki), Kwan Im (Dewi Welas Asih), dan terakhir adalah altar Nabi Agung Kongcu.

Meski lokasinya berdekatan dengan Gereja Protestan dan permukiman Arab, namun keberadaan klenteng ini disambut baik oleh masyarakat Ternate di masa-masa awal pendiriannya.

“Sejauh ini dalam catatan sejarah tidak ada penolakan dari berbagai unsur, karena dari awal pendirian telah mendapat restu dari kesultanan,” ungkap Irfan Ahmad.

Sejarah perkembangan Kota Ternate memang tak terlepas dari peran pedagang-pedagang etnis China. Mereka punya posisi penting dalam perdagangan rempah-rempah. Irfan bilang, kehadiran etnis Cina di Ternate tercatat sejak masa pemerintahan Sida Arif Malamo (1322-1331).

“Bahkan jauh sebelum mereka sampai di Ternate, bisa ditemukan penamaan dengan berbagai sebutan (15 nama) Tionghoa untuk menunjukkan pulau di Maluku,” katanya.

Tak hanya dalam perdagangan, etnis China juga punya posisi tersendiri dalam struktur Kesultanan Ternate. Orang China pertama yang diberikan jabatan oleh kesultanan adalah seorang Syahbandar di Pelabuhan Talangame pada 1599. “Jabatan tersebut diberikan oleh Sultan Saidi di tahun 1583-1606,” jelasnya.

Lebih dari itu, sejak era Sultan Hamzah (1627-1648) etnis China juga memperoleh jabatan khusus dalam Kesultanan Ternate, yaitu Kapita China atau orang yang bertugas memimpin masyarakat beretnis China di Ternate. “Jadi sejak dahulu orang China telah memainkan peran penting di Kesultanan Ternate,” tandasnya.

Penulis: Rizal Syam
Editor: Nurkholis Lamaau

Baca Juga