Kebudayaan
Pro-Kontra Pembentukan Dewan Kebudayaan di Maluku Utara
Ternate, Hpost – Rencana pembentukan Dewan Kebudayaan Maluku Utara menuai pro dan kontra. Salah satunya datang dari Keluarga Malamo Tarnate.
Organisasi masyarakat dengan akronim KARAMAT yang dideklarasikan pada pertengahan November 2018 di Ternate, itu cukup getol menolak kehadiran Dewan Kebudayaan Maluku Utara.
“Penolakan ini karena asumsi kami, akan ada semacam sendimentasi institusi,” kata Ketua Bidang Sosial dan Budaya KARAMAT, Wawan Ilyas, kepada Halmaherapost.com di Kantor Berita Jalamalut Media Grup, Jalan Bogenvil, Toboko, Ternate Selatan, Jumat 12 Februari 2021.
Menurut Awang – sapaan akrab – Wawan Ilyas, bahwa secara kultural di Maluku Utara memiliki 4 kesultanan sebagai lembaga kebudayaan. “Dan sejarah mengakui hal itu, dan itu punya mekanisme tersendiri dalam memproteksi kebudayaan daerah,” tandasnya.
Kedua, jika berbicara soal institusi kebudayaan, selain kesultanan sebagai lembaga kultural, pemerintah juga punya institusi kebudayaan. “Ada Balai Pelestarian Bahasa, Balai Pelestarian Cagar Budaya, hingga Dinas Kebudayaan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi,” katanya.
Lalu sejumlah komunitas di daerah yang cukup banyak dan memiliki komitmen serta konstitensi terhadap pengembangan kebudayaan. “Bahkan banyak komunitas yang memfokuskan institusinya terhadap pengembangan kebudayaan,” ujarnya.
Untuk Kota Ternate, menurut Awang, secara sosiologis kita tidak punya alasan menyebut minimnya kuantitas budaya. “Bagi saya ini keliru. Sebab kalau anggapan seperi itu, artinya menegasikan bahwa di Maluku Utara terjadi kekurangan lembaga budaya,” tuturnya.
Seharusnya, lanjut dia, yang disisir adalah kualitas kelembagaan. Dengan demikian, maka yang disoroti adalah program, koordinasi, kinerja, komitmen, konsistensi dan fokus. “Dari berbagai pengalaman, pemerintah kita belum berkomitmen melestarikan adat dan budaya,” tandasnya.
Sementara, mentalitas itu tidak dilihat secara baik, dan secara tiba-tiba berkeinginan mendirikan lembaga baru. “Seolah-olah Dewan Kebudayaan adalah solusi. Padahal problem dasar kita di Maluku Utara bukan kekurangan kelembagaan, tapi komitmen,” katanya.
Jika Dewan Kebudayaan dipandang sebagai alternatif, menurut Awang, dari aspek komunikasi dan jejaring, lagi-lagi ini bukan sebuah solusi. “Bukan soal gerakan alternatif atas nama kebudayaan. Jangan menyamakan dengan Dewan Kesenian di Jakarta atau Yogyakarta.”
Sebab jika Dewan Kebudayaan dibentuk, bagi Awang, semua ekspresi komunitas di Maluku Utara seakan dipusatkan ke dalam konteks Dewan Kebudayaan.
Statemen dari pengurus Dewan Kebudayaan yang menyebut pihak kontra belum menyerap informasi secara utuh, Awang pun merasa heran. “Loh, pembentukan dewan kebudayaan juga secara tiba-tiba kan.”
Kedua, lanjut dia, jika dewan kebudayaan belum ada, lantas kenapa Syarif Tjan tambil dalam kapasitas sebagai juru bicara. “Berarti strukturnya sudah ada.”
Menyentil soal pembentukan dewan kebudayaan berdasarkan perintah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Awang bilang, tidak ada satu pun pasal yang menyebut harus ada Dewan Kebudayaan di daerah.
Menurutnya, undang – undang tersebut lebih fokus pada budaya itangible. Tak terlihat dan tak dapat diraba. Seperti sastera, mitos atau di Ternate kita kenal dengan saluma. Sedangkan tangible itu berwujud dan dapat diraba. "Seperti artefak dan lain-lain. Jadi bagi saya, pembentukan Dewan Kebudayaan tidak memiliki dasar.”
Kalaupun Dewan Kebudayaan tetap melibatkan kesultanan, menurut Awang, lebih baik tidak perlu dibentuk. “Kembalikan saja pada Dinas Kebudayaan Provinsi, Kabupaten/Kota, lalu buat program yang melibatkan seluruh komunitas hingga kesultanan,” bebernya.
Awang beranggapan, para inisiator Dewan Kebudayaan seakan tidak punya kerangka analisa yang memadai untuk membaca problem sosiologis di tingkat birokrasi, komunitas, dan kesultanan.
“Lalu seolah-olah memberi kesimpulan bahwa harus ada Dewan Kebudayaan. Padahal, mereka tidak lihat dinamika dasarnya seperti apa,” ucapnya.
Mengutip hasil disertasi akademisi Herman Oesman tentang: ‘Satu Kota Dua Kuasa,’ menurut Awang, sudah terkonfirmasi jelas. "Bahwa hadirnya pemerintah kota sebagai institusi modern, justru di satu sisi tidak memberi ruang yang memadai kepada kesultanan sebagai institusi tradisional dalam pengembangan kebudayaan,” tuturnya.
Kebudayaan, bagi Awang, bukan soal kepemilikan. Karena secara ontologi (keberadaan yang bersifat konkret), budaya sudah tumbuh dalam kehidupan masyarakat.
“Tugas kesultanan, pemerintah kota, komunitas, adalah bagaimana membangkitkan itu kembali. Hanya karena tidak ada jalur komunikasi yang baik, bukan berarti harus ada lembaga baru yang memberi alternatif di situ. Karena pada dasarnya kita sudah ada lembaga,” tuturnya.
Ia menilai, pada persoalan ini mentalitas ego sektarianisme yang perlu dibuang. “Jadi dikembalikan saja ke lembaga – lembaga yang sudah ada. Dinas Kebudayaan, BPCB, Balai Pelestarian Bahasa, dan lain-lain. Duduk rembuk dan libatkan kesultanan dan komunitas.”
Juru Bicara Komite Pembentukan Dewan Kebudayaan, Syarif Tjan, menilai masyarakat berhak berpendapat. “Termasuk menolak,” ucap Syarif kepada Halmaherapost.com, Jumat 12 Februari 2021.
Pria yang akrab disapa Gubang itu menyadari kurangnya sosialisasi pembentukan Dewan Kebudayan. Sebab penolakan ini lebih pada persoalan misinformasi.
Namun ia menilai, pihak yang menolak sejatinya punya niat yang sama, yaitu ingin memajukan kebudayaan daerah. Hanya saja, informasi yang diterima pihak yang kontra belum cukup lengkap. Sehingga, menimbulkan sikap ragu dan curiga.
Dengan demikian, sembari menunggu pelaksanaan Konggres Kebudayaan Daerah Maluku Utara pada Maret mendatang, inisiator Dewan Kebudayaan bakal menggelar diskusi pra-persepsi ke semua kalangan.
“Terutama pegiat kebudayaan, agar semua spekulasi liar tentang pembentukan Dewan Kebudayaan Maluku Utara bisa diluruskan,” tuturnya.
Ia mengaku banyak kalangan yang merespon positif rencana Konggres Kebudayaan Daerah Maluku Utara, dengan menyelenggarakan diskusi. “Forum Studi Anak Sastra Maluku Utara juga dalam waktu dekat akan menyelenggarakan diskusi publik soal kebudayaan,” tuturnya.
Soal urgen tidaknya pembentukan Dewan Kebudayaan, Gubang menilai itu relatif. "Kalau bicara penting tidaknya pembentukan Dewan Kebudayaan, atau urgen tidaknya pembantu Dewan Kebudayaan, bagi saya bukan di situ ruang perdebatanya,” katanya.
Bagi dia, Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sangat jelas mengisyaratkan secara tersirat adanya lembaga kebudayaan sebagai upaya pembinaan kebudayaan. “Dalam kerangka pemajuan kebudayaan,” tandasnya.
Ia juga menampik wacana pembentukan Dewan Kebudayaan hanya sekadar bergagah-gagahan. “Itu tidak betul. Dewan kebudayaan ini milik kita bersama. Dewan Kebudayaan tidak bertujuan membelenggu atau mengintervensi para pelaku seni dan budaya untuk berekspresi,” katanya.
“Sama sekali tidak. Atau ada kekhawatiran bahwa Dewan Kebudayaan akan mendikte komunitas kebudayaan yang ada, itu juga keliru. Atau menganggap Dewan Kebudayaan hadir hanya menambah kuantitas komunitas seni dan budaya, sama sekali tidak,” tambahnya.
Gubang menegaskan, kehadiran Dewan Kebudayaan, selain menjalankan fungsi etis kebudayaan, juga memaksimalkan tugas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan.
Bagi dia, dewan Kebudayaan yang diperjuangkan ini tidak sekadar memenuhi anjuran undang – undang semata. Tapi lebih pada kondisi dan hasil kajian yang termuat dalam pokok pikiran kebudayaan daerah, baik di tingkat kabupaten dan kota maupun provinsi.
“Jadi intinya komunitas dan lembaga kebudayaan kurang mendapat perhatian, dukungan dan keberpihakan, baik itu dalam bentuk regulasi maupun political will,” jelasnya.
Komentar