Opini
Media Massa dan Dilema Profesionalisme
Sebagai entitas ekonomi dalam ruang bisnis, media massa sebagaimana industri lainnya, juga berorientasi profit. Namun, produk media massa berbeda dengan industri lain, karena dapat memengaruhi pemikiran, cara pandang, sikap dan perilaku khalayak terhadap lingkungan. Dalam produk tersebut, ada pula kompromi antara idealis dan komersial dalam balutan profesionalisme.
Dalam industri informasi ini, selain modal ekonomi yang harus dimiliki, sumber daya manusia yang berhubungan dengan pekerja media merupakan kekuatan terbesar. Dari sumber daya yang mumpuni, media massa dapat memproduksi informasi berkualitas yang menarik minat pembaca dan berefek pada peningkatan pendapatan media.
Di Indonesia, sebagian besar pendapatan media massa bergantung pada iklan. Kendati begitu, selain iklan, media cetak seperti koran, majalah dan tabloid, juga menaruh hidup dengan penjualan per eksemplar dan langganan. Tetapi, pendapatan lewat penjualan eceran itu kerap tidak dapat menutupi biaya produksi.
Penelitian Dhiya Hag dan Efi Fadilah (2018) menemukan, harian Kompas, hanya dijual dengan harga 4.500 per eksemplar. Harga itu tidak mampu menutupi biaya produksi 15.000 per eksemplar. Meski demikian, pihak Kompas mengakui biaya produksi yang besar itu akan ditutupi dengan memasukkan iklan.
Media nasional memang memiliki ceruk iklan yang besar, karena banyak perusahaan properti, otomotif, pakaian, makanan, dll. di ibu kota. Tapi, media-media lokal, terutama daerah-daerah kecil yang tidak banyak perusahaan, hanya bergantung iklan dengan instansi pemerintah daerah.
Dan, masalahnya, jika pertumbuhan media yang makin tinggi tidak sebanding lagi dengan pembaca dan instansi pemerintah daerah, pendapatan setiap media tidak akan mampu menutupi biaya operasional media.
Karena itu, persaingan merebut iklan di instansi tidak lagi sehat. Media tertentu tidak lagi mengandalkan jumlah pembaca (oplah dan traffic) tapi kedekatan emosional, ideologis, dan relasi politik dengan instansi atau pejabat tertentu.
Dari sinilah tak jarang fenomena “papa piara”, “jurnalis politisi”, dan “jurnalis kontraktor” itu lahir. Karena kedekatan tersebut, terutama pejabat instansi bermasalah dalam menjalankan tugas, wartawan media itu akan menutupi dengan framing, bahkan tidak memberitakan.
Padahal, selain kepentingan profit, media juga dituntut menjaga keseimbangan dengan kepentingan idealis; menjaga independensi dalam memproduksi informasi sesuai dengan kebutuhan publik.
Seperti baru-baru ini, beredar informasi di kalangan wartawan di Maluku Utara, ada sekira 23 media massa sengaja membangun framing baik untuk 23 proyek PUPR Provinsi Maluku Utara yang bermasalah.
23 media itu diduga telah menandatangani MOU pada 2020 dengan dinas bersangkutan sehingga menjaga citra itu. Kerja sama itu, hanya menghendaki media tersebut mempublikasi berita yang berbaur promosi tak ubah brosur pemerintah.
Pertumbuhan media daring yang menjamur di Maluku Utara saat ini, menjadi perkara yang membutuhkan perhatian pelbagai pihak, terutama pemerhati media dan Dewan Pers. Sebab, media lahir dengan modal yang kecil, tidak dapat menyiapkan sumber daya yang mumpuni.
Alhasil, tidak mengandalkan kualitas produksi untuk dapat meraup pendapatan. Justru mengandalkan iklan dan kontrak (promosi kegiatan) yang bersumber dari orang-orang dekat di pemerintahan.
Karena keterbatasan itu, sebagian besar, terutama media daring tidak menggajikan wartawan. Gaji atau jaminan kesejahteraan ini tentu berdampak pada kualitas produksi. Karena wartawan tidak digaji, media tidak bisa mengarahkan karyawan sesuai dengan sistem kerja di media massa sebagaimana wajarnya.
Padahal, iklan akan datang seiring meningkatnya oplah atau traffic bagi media. Peningkatan itu tentu terjadi karena menyajikan produk berkualitas sehingga mendatangkan banyak pembaca. Kualitas produksi ini ditentukan oleh sumber daya yang berkualitas, terutama wartawan.
Leonardi Kusen, direktur utama PT Tempo Inti Media Tbk saat diwawancarai Coen Husain Pontoh (2001) mengakui, sumber daya terpenting dari Tempo adalah wartawan. Menurut dia, jika wartawan baik, produksinya pasti baik.
Maka, jalan satu-satunya memperbaiki kualitas media adalah memperbaiki kualitas sumber daya amunisinya. Peningkatan kualitas berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan karyawan, kepastian jenjang karir, dan pendidikan terus-menerus.
Memang, semenjak terjadi perubahan pola konsumsi informasi di media massa dari media konvensional ke digital, banyak media yang kewalahan meraup pendapatan yang memadai.
Masalah ini baik dialami oleh media konvensional (yang merambah ke media digital) maupun media daring. Karena itu, banyak media yang masih mencari model bisnis agar tetap bisa bertahan hidup dalam persaingan media yang makin ketat.
Menurut Wendratma (2017), hingga kini keberagaman sumber pendapatan masih dianggap satu-satunya cara untuk menjalankan roda bisnis perusahaan pers digital. Dua sumber dengan potensi besar adalah langganan berbayar dan konten yang dipasang iklan. Media digital di Indonesia, Kompas dan majalah Tempo telah memulai menerapkan model bisnis tersebut.
Kendati demikian, apa pun model bisnisnya, sumber daya dan profesionalisme dalam kerja-kerja media sangat menentukan perkembangan media. Sebab hanya dengan jalan itu, selain sebagai industri bisnis, media dapat berperan mencerahkan masyarakat dan leluasa mengontrol penguasa. Jika media menutupi aib pemerintah, publik akan buta dan pemerintah makin berkuasa. []
Ghalim Umabaihi
Peminat Kajian Media dan Jurnalisme
Komentar