Opini

Matinya KPK, Parcel Kemenangan Oligarki di Hari Raya Idul Fitri

Ilustrasi: Layank/JMG

Tersingkirnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) telah menunjukkan kepada publik bahwa tren marwah lembaga anti rasuah ini mulai memburuk.

Kebijakan yang tidak berlandaskan konstitusi ini dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mestinya momentum ini dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk merefleksikan tentang kekuatan dan kelemahan lembaga anti rasuah ini dari masa ke masa, bagaimana sepak terjangnya sejak didirikan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi yang cukup banyak menguras uang negara.

Di tengah semarak dan kemeriahan kita menyambut hari raya Idul Fitri ini, Indonesia tengah diberikan sebuah parcel-barangkali sebagai hadiah lebaran untuk rakyat,- berupa kebijakan tes wawasan kebangsaan dan putusan MK yang mengamputasi kinerja KPK dalam agenda-agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

Igrissa Majid
Mahasiswa Program Hukum Bisnis, Indonesia Jentera School of Law

Ahli Bicara

Alasan integritas dan netralitas bagi pegawai KPK sangat kuat bagi petinggi KPK dalam rangka mengukur kinerja pegawainya. Sehingga, uji wawasan kebangsaan harus menjadi prosedur yang harus ditempuh. Setidaknya, terdapat  75 orang yang terkenal tidak berkompromi dalam menjalankan tugasnya tersingkirkan.

Pandangan akademisi Universitas Andalas, Feri Amsari, kebijakan yang berakibat pada tersingkirnya 75 pegawai tersebut merupakan upaya pelemahan terhadap KPK itu sendiri. Padahal, menurutnya, KPK justru sudah lemah dari awal.

Hal ini bukan tanpa alasan. Feri dalam suatu kesempatan diskusi daring bertema Menyibak Putusan MK dalam Pengujian Formil dan Material Revisi UU KPK, mengukur kinerja KPK dengan merujuk pada teori new separation of powers yang dikemukakan Bruce Ackerman, seorang pakar hukum dari Amerika Serikat, bahwa teori tersebut untuk memperlihatkan fakta atau ciri-ciri lembaga negara yang independen dan berintegritas.

Dalam teori tersebut, ciri pertamanya adalah mesti berdasarkan konstitusi. Sedangkan ciri kedua adalah tidak dapat diubah dengan proses legislasi biasa. Kemudian, ciri ketiga adalah jaminan bagi independensi komisioner maupun pegawainya.

Menurut Feri, dari ciri pertama dan kedua saling berkaitan karena landasan konstitusi dari suatu lembaga tidak dapat diubah begitu saja melalui proses legislasi biasa.

Karena itu, hancurnya tatanan nilai yang dibangun selama ini mudah dilakukan jika tiga ciri tersebut tidak dijadikan barometer untuk membumikan visi pemberantasan korupsi Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, akademisi Indonesia Jentera School of Law, Bivitri Susanti, mempertanyakan tes wawasan kebangsaan yang telah berlangsung. Menurutnya, hal itu justru sudah dirancang, sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi publik.

Mantan Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini juga menyoal tentang uji formil, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki argumentasi yang jelas, karena asas maupun prinsip hukum yang digunakan tampak ‘mentah’, cenderung lebih mengutamakan pertimbangan politik.

Sementara, MK dalam putusan pengujian materilnya No. 70/PUU-XVII/2019, Bivitri mempertanyakan mengenai kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) yang posisinya dipersoalkan.

Karena jabatan Dewas tetap sama dan tidak memunculkan perubahan. Jadi, menurut Bivitri, terkait eksistensi KPK yang selalu diharapkan independensi-nya justru kenyataannya terbalik, tidak independen.

Parcel untuk Kemenangan Oligarki

Sudah menjadi rahasia umum, kelompok oligarki merupakan aktor utama yang terus hadir untuk bertepuk tangan atas kesuksesannya ketika berhasil mempengaruhi suatu kebijakan negara.

Apalagi, soal peraturan perundang-undangan, demen banget tuh! Sebab, oligarki tidak menghendaki kepentingannya dihalangi. Dugaan saya, mereka ada dibalik skenario kematian KPK ini.

Dalam suatu artikel yang ditulis  Prof. Ikrar Nusa Bhakti, berjudul Oligarki dan Demokrasi (2011). Alumni School of Modern Asian Studies, Griffith University Brisbane, Australia, ini menjabarkan praktik oligarki kekuasaan turut membelenggu partai-partai politik sebagai lumbung distribusi anggota parlemen di Senayan.

Peran oligarki senantiasa mengganggu berlangsungnya proses demokrasi, termasuk dalam semua sendi kehidupan bernegara. Tentunya, praktik demikian pengaruhnya juga merambah ke persoalan-persoalan hukum di Indonesia.

Memang harus diakui, kinerja oligarki cukup sukar dijangkau oleh hukum. Oligarki bekerja di ruang tertutup yang gelap dalam kekuasaan para elit. Bahkan berani menegosiasikan kepentingan-kepentingan publik yang secara hukum itu bertentangan.

Kapasitas hukum sebagai kontrol atas penyelenggaraan negara digerogoti dengan kepentingan oligarki semata. Jadi, tidak sedikit dari kelompok ini berusaha mencari ’posisi aman’ agar terhindar dari segala prasangka hukum yang akan menjerat dirinya.

Akhirnya, keadaban kita bernegara yang berlandaskan hukum dan bercita-cita menciptakan keadilan untuk melayani rakyat menjadi gagal.

Sementara KPK yang kita harapkan selama ini, dan sudah mulai menunjukkan tren yang cukup bagus terhadap persoalan korupsi di Indonesia tengah berubah.

Sedangkan, MK sebagai pelindung konstitusi justru menampakkan sikap politik yang sesungguhnya berseberangan dengan hakikat kelembagaannya.

Baca Juga