Opini

Indigenous Peoples

Sumarlin Maate

Indigenous peoples. Kalimat ini sering digunakan dengan sopan bagi kaum modernis sebagai kalimat hegemonik.

Biasanya sering dipakai untuk membangkitkan semangat kedaerahan, dalam momentum politik lokal (pilkada) bagi mereka sebagai putra daerah. Bahkan merasa sebagai representatif manusia modern.

Sudah menjadi rahasia umum ketika menyebut deretan kawasan hutan dan pulau-pulau di wilayah Maluku Utara memiliki latar belakang historis. Aroma rempah seakan menyengat hidung kalangan manusia global.

Tapi bau itu tereduksi oleh selera anak daerah dengan jubah modernisnya, dengan memilih jalan eksploitasi pertambangan sebagai wujud dari cara mereka merespon kemajuan-perekonomian daerah dalam semangat otonomi.

Mereka secara busana kadang memungkinkan. Karena tidak berdasi, menenteng tas hermes, atau memakai jas hugo boss, sehingga tidak dijadikan objek vital negara (Indigenous peoples).

Tapi dengan keberadaan mereka, hutan dan laut terlihat masih menjadi faktor fundamental untuk menjadi corak kemajuan peradaban global.

Namun jika cara berbusana kaum modernis dengan gaya parlente dibungkus tas hermes dan hugo boss, maka sudah tentu mereka akan tergusur oleh derasnya raung eksavator, membelah untaian pulau-pulau dari Taliabu hingga Halmahera.

Tidak perlu bertitelkan agamawan dan Intelektual atau embel-embel jabatan publik lainnya. Sebab hutan, laut, dan udara dapat membuat usia hidup manusia akan sesuai dengan standar dunia.

Ini akan terwujud jika wacana anak negeri menjadi semangat ekual antara mereka yang mengatasnamakan modernisme. Sedangkan indigenous peoples dijadikan satu kesatuan utuh untuk menjawab tantangan zaman.

Tapi wacana ini tidak akan populis di semua kalangan. Sebab mereka (ideginous peoples) hanya menjadi diri mereka sendiri, dengan sebuah kekhasan untuk terus berada di tengah suburnya hutan dan laut, di antara seteru elite lokal yang berpacu memajukan daerahnya lewat sokongan elite nasional.

Kita seakan abai atas situasi geografis Maluku Utara, yang secara sederhana dapat dikatakan kalao tektonik kadara vulkanik.

Lalu atas nama kemajuan sebagai wacana dari putra daerah yang terpilih dari sebuah kontestasi demokrasi, eksistensi para penjaga hutan dan laut sejak zaman nenek moyang, lalai dari amatan banyak orang.

Wajar saja kalau tas hermes dan hugo boss menjadi pembanding. Apalagi dengan berbagai merek sedan mewah, tentu mereka sang penjaga hutan akan terus berburu di hutan dan laut demi mengais harapan hidup, sesuatu yang menjadi harapan semua manusia dunia dengan cara mereka sendiri.

Mungkinkah mereka dengan berbagai predikat modernisnya, melalui akumulasi barang mewah serta derajat sosial lewat pendidikan bisa dijadikan pilar, bahwa dunia akan menaruh harapan atas hijaunya hutan, birunya laut serta segarnya udara terhadap masyarakat Maluku Utara, jika sebagian dari mereka datang dengan semangat eksploitasi.

Sementara, sebagian kecil dari mereka yang bermodal semangat warisan-budaya, terus berburu atas sebuah kalimat sakral dalam negara demokrasi; kesetaraan dan keadilan.

Jawaban dari semua ini bisa dilihat dari bagaimana izin pertambangan berjejer, seperti barisan koboi yang sedang menunggu giliran atas keberlangsungan dinasti. Dinasti kecil di pulau kecil terus tumbuh dengan kehebatan akumulasi barang mewah.

Sementara, mereka yang hidup dalam sebuah tradisi warisan, dengan segala keterbatasan terus merawat hutan sejak lahir hingga akhir hayatnya, tapi masih jauh dari perhatian khusus. Minimal, keberadaan mereka tidak diusik dengan berbagai cara-cara kaum modernis.

Wajar saja jika Maluku Utara mendapat predikat daerah dengan julukan Deforestasi Tanpa Henti (Forest Watch Indonesia 2018). Ini dilatari dari pengaturan semangat memajukan Maluku Utara yang hanya mengandalkan pertambangan, sehingga aspek lainnya terabaikan.

Sumarlin Maate

(Pemerhati Hukum, Sosial dan Politik)

Penulis:
Editor: Nurkholis Lamaau

Baca Juga