Opini

PEKIK JUANG BAABULLAH

Penulis: Rusly Saraha


Sukacita itu membasahi Februari. Ada kelegaan, juga rasa damai. Pangeran Khairun Jamil benar-benar meresapi itu. Takdir memberinya satu anugerah. Ia resmi mendekap gelar sebagai seorang ayah. Dalam rekat haru dan senyum, munajatnya tumpah di sepenuh dada. Doa-doa terbaik melambung dalam segala kekhusyu’an, berharap jejak kebaikan selalu menyertai putranya.

Pada 10 Februari 1528 itu, istri Khairun Jamil yang juga merupakan putri sulung Sultan Bacan melahirkan anak pertama mereka. Bayi mungil itu diberi nama Baabullah. Ternate di tahun kelahiran Baabullah, masih disesaki kemelut politik. Perseteruan menyeruak di internal istana, selain juga dihiasi oleh intervensi Portugis yang bercokol di sana. Deyalo yang juga merupakan saudara tiri Khairun Jamil dinobatkan sebagai Sultan Ternate menggantikan ayah mereka, Bayanullah yang wafat di tahun 1522.

Di tahun 1535, Khairun Jamil dinobatkan sebagai Sultan Ternate. Ia merupakan pangeran keempat yang mengecup singgasana setelah ketiga saudaranya, Deyalo, Boheyat dan Tabariji memimpin dalam episode singkat. Khairun merupakan sosok pemimpin cerdas, toleran dan visioner. Francois Valentijn sebagaimana dikutip Adnan Amal mengurai Khairun Jamil sebagai “Seorang pelaku pemerintahan yang bijaksana, prajurit pemberani, seorang yang sangat hati-hati dalam menjalankan hukum dan peraturan. Tetapi, di atas semua kebesarannya itu, dia adalah pembela akidah Islam yang amat kuat”.

Keteguhan Khairun pada prinsip, setidaknya yang membuat ia tak mudah digoyahkan. Khairun pandai berdiplomasi, gagasannya untuk konfederasi Maluku yang kokoh seolah memugar kembali fondasi kebrilianan yang dihamparkan leluhurnya, Sida Arif Malamo pada tahun 1322 dalam Motir Verbond. Khairun yang merupakan menantu Sultan Bacan, juga menikahi Putri King Mir dari Tidore sebagai bagian dari perkawinan politik, sebagaimana ditulis sejarawan Adnan Amal di bukunya Kepulauan Rempah-rempah. Khairun pula menempatkan pola komunikasi yang apik dengan Katarabumi dari Jailolo. Perihal toleransi, jangan ditanya lagi.

Sultan Khairun dikenal bersahabat erat dengan Franciscus Xaverius dan para pastor lainnya yang menebar misi Jesuit di tanah Maluku. Sebab toleran itu pilihan untuk menjaga perdamaian bagi Khairun menjadi sesuatu yang utama. Bersama Lopez de Mesquita, Gubernur Portugis di Ternate, Khairun ikut menabur ikrar damai pada 1570. Portugis dan Ternate menjalin akad, mereka bersepakat untuk terus bersahabat sebagai cara membikin martabat kian terhormat. Pada malam harinya digelar pesta perdamaian di Benteng Kastela. Sultan Khairun datang dengan itikad tulus memenuhi koro, tak ada curiga dan prasangka di kepala.

Tapi malam itu petaka menyeretnya. Gelaran pesta di Benteng Sao Paulo itu berubah menjadi medan tragedi. Februari yang basah menjadi kenangan yang tersisa bagi sang Sultan. Tubuhnya bersimbah darah. Sultan yang bijak dan terhormat itu mati ditikam dengan cara-cara bejat oleh Antonio Pimental, orang suruhan Gubernur Mesquita pada 28 Februari 1570. Tak ada yang mendasari politik ruci itu selain kelicikan.

Mesquita telah merencanakan dan melancarkan sebuah praktek yang sejatinya memparadekan ketidakberdayaannya menghadapi kepiawaian Khairun. Mesquita mengira bahwa kematian Khairun menjadi jalan keruntuhan Ternate seperti tangis duka yang mendera Ternate pada malam kelam itu. Mesquita keliru, ia lupa bahwa tangis duka itu tak hanya pecah di istana, tetapi air mata itu menjalar sampai ke jalan-jalan, menyasar ke bukit-bukit, menerjang laut dan pulau-pulau sebagai bentuk perlawanan.

Sesaat setelah Baabullah didaulat menggantikan ayahnya, Khairun Jamil sebagai Sultan Ternate, ia seka air mata. Dalam tegas sikap dan nyali yang menyala Sultan Baab tegaskan maklumat perjuangan. Terdapat 4 (empat) maklumat yang menjadi intisari pekik juang Baabullah, yaitu melawan kekejian Portugis, menjunjung tinggi Agama Islam, menjadikan Ternate sebagai kesultanan besar dan kuat secara militer, serta menjaga persatuan dan persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga.

Spirit yang diteguhkan Baab di atas menunjukkan kompherensifitas dirinya dalam berjuang. Betapa anak muda berusia 42 tahun itu tidak sekadar menyuarakan parade perang terhadap Portugis karena dendam atas kematian ayahnya. Sultan Baab seolah meneguhkan panji perang soya-soya itu sebagai pembebasan negeri dari praktek kelicikan, kemunafikan, kecurangan dan kesewenang-wenangan kaum imperialis.

Pekik juang Baab itu menggelegar sebagai harga diri Ternate. Ia menempeli erat ke dada sebagai spirit, menikam ke kepala dengan mantra-mantra perburuan dan meluap ke tubuh-tubuh perkasa yang siap pasang kuda-kuda, dengan parang dan salawaku yang telah siaga, dengan tombak-tombak yang siap menerkam ke segala arah dan laju kora-kora yang tegas menerjang samudra.

Lalu kita semua menjadi saksi atas kehebatan itu. Portugis yang merasa diri super power  menerima api kemurkaan Ternate. Rencana pengepungan markas Portugis di Benteng  Nostra Senora del Rosario dimulai dengan penyerangan basis penopang Portugis di luar Ternate.  Paman Baab, Kapita Kalakinko memimpin armada penggempuran di Pulau Buru. Basis Portugis dipatahkan, ia kemudian menyerang Hitu, ada perlawanan sengit di sana yang menewaskan sang kapita.

Perburuan di Hitu tak usai. Di awal tahun 1571 bertepatan dengan tahun pernikahan politik antara Sultan Baab dengan putri Sultan Tidore Iskandar Sani, Kapita Rubohongi yang kesohor memimpin ekspedisi pertempuran menuju Hitu dan Ambon. Rubohongi membawa kemenangan. Hitu, Buru, Seram dan sebagian Teluk Tomini berhasil dikuasai, sebagaimana ditulis sejarawan Universitas Khairun, Irfan Ahmad pada tulisan hebatnya “Sultan Baabullah, Khalifah Imperium Islam Nusantara”.

Penyerangan di titik utara juga dilakukan, dimulai dari pantai timur Halmahera sampai ke utara hingga ke Morotai. Selain itu Bacan juga dikuasai dan Portugis diusir dari sana pada tahun 1571. Irfan Ahmad menulis “Selama perang akses di darat maupun di laut dijaga ketat oleh pasukan Kesultanan Ternate sehingga tidak ada bantuan yang dikirim ke benteng yang dikepung selama kurang lebih lima tahun. Berbagai bantuan dari Goa (India) dan daerah Ambon dalam bentuk pasukan dan logistik pun tidak bisa didapatkan oleh Portugis”.

Sultan Baab juga ambil bagian mengomandoi armada perang yang bergerak ke Buton, sebuah daerah yang diikhtiarkan menjadi basis eksodus orang-orang Portugis yang lari dari penyerangan Rubohongi. Perang di Buton tak berlangsung lama dan dimenangkannya. Selayar menjadi sasaran berikut setelah Buton, lalu ke Makassar dengan merentangkan jalan persekutuan antara Kesultanan Ternate dan Kerajaan Gowa.

Kelihaian strategi ini menunjukkan kelas Baabullah sebagai salah seorang ahli perang. Bukan tanpa sebab, sejak belia, Baab telah dibimbing oleh para tokoh militer Ternate, ia seolah ditempa khusus dengan pengetahuan perang yang memadai, di samping ilmu-ilmu agama, politik dan kepemimpinan. Tak hanya itu, pengalamannya sebagai Kapita Lao (Penglima Perang) Ternate dengan ekspedisi-ekspedisi yang menantang memperkuat mentalitas dan karakternya yang matang.

Baab seolah mengerti dengan baik kekuatan pasukan-pasukannya, memahami dengan tuntas poros kekuatan musuh dan memiliki gambaran yang utuh mengenai medan pertempuran yang akan dilalui ia dan pasukannya. Setidaknya hal ini yang membuat jejak pertempuran selalu dimenangkan oleh Armada Baab dari Ternate.

Hingga 1575, Portugis merasakan getar blokade Ternate. Markas hitam di Kastela yang digdaya itu akhirnya tak berdaya. Logistik dan amunisi yang menipis serta wabah penyakit yang menggerogoti orang-orang di dalam benteng mengakhiri ketahanan mereka. Gubernur Portugis, Nuno Pereira de Lacerda akhirnya mengangkat bendera putih.

Baab yang toleran dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan seperti ayahnya Khairun Jamil tak terseret melakukan penyerangan yang memporak-porandakan Kastela. Ia menerima sikap menyerah tanpa syarat Portugis pada 26 Desember 1575, tepat di hari suci Santo Stephen. Tiga hari setelahnya, kapal suplai dari Malaka lego jangkar di pelabuhan Talangame dan membawa orang-orang Portugis ini keluar Ternate dengan wajah lesu ke tanah dan mentalitas yang lemah.

Setelah kepergian Lacerda, Baab tak henti memburu keadilan. Ia meminta Portugis menyerahkan dalang pembunuhan Sultan Khairun, de Mesquita ke Kesultanan Ternate untuk diadili. Gubernur Lopez dikabarkan lari paska tragedi 1570 itu sebagaimana diurai Rusli Andi Atjo dalam bukunya Portugis di Ternate “Setelah Khairun dibunuh, de Mesquita lari ke Goa, namun atas perintah Lisabon, dia dibelenggu dan dikirim ke Ternate untuk memberi izin Sultan Baabullah mengadilinya. Dalam perjalanan itu, dia dibunuh oleh orang Jawa di pantai Jepara”.

Tewasnya sang pengacau itu terjadi pada tahun 1579. Dalam versi lain sebagaimana ditulis Bang Saiful Bahri Ruray di grup Whatsapp Klub Menulis Maluku Utara, yang ia kutip dari Buku Api Sejarah Jilid 1 karya Prof. Abu Mansyur Suryanegara diuraikan “Galeon Porto yang sementara berlabuh di Teluk Jepara, tak menyangka bakal diserang mendadak oleh Pasukan Jepara dan Giri (Gresik), ketika terbetik kabar bahwa Galeon Porto tersebut, tengah membawa Sang Pembantai dari Kastela, Ternate. Musuh Ternate, ternyata bergaung sebagai musuh bersama Nusantara, menggerakkan pekik jihad santri pendekar Giri dan Jepara, merangsek ke atas kapal dengan keris terhunus..mengepung pelabuhan Jepara, dari berbagai penjuru arah. Tuntutan hanya satu, Lopez de Mesquitta harus tewas ditangan mereka, sebagai penanda bahwa Nusantara, adalah sebuah kesatuan jihad. Pasukan Jepara dan Giri, menerobos palka Galeon, tempat ditahannya Lopez Mesquitta dan menewaskannya dengan pekik komando Allahu Akbar”.

Keterlibatan pasukan Jawa di atas menunjukkan api perlawanan terhadap Portugis itu telah tumbuh di Nusantara. Poros kekuatan Ternate, Demak dan Aceh  seolah menjadi satu kesatuan perjuangan. Bagaimana itu tercipta, tentu berasal dari hamparan komunikasi dan persahabatan yang erat, bahkan karena kapabilitasnya, Baabullah pernah diangkat menjadi Khalifah Imperium Islam Nusantara oleh musyawarah majelis raja-raja yang bersekutu.

Kita juga tak boleh lupa, Bahwa Khairun Jamil adalah salah seorang putra Sultan Bayanullah dari seorang perempuan dari Tanah Jawa, Solidaritas atas nama putra dari Tanah Jawa itu bisa jadi memperkuat spirit pasukan Giri dan Jepara untuk mengirim maut bagi Mesquita, pun begitu sang kakek buyut Baabullah, Sultan Zainal Abidin (1468 – 1500) yang terkenal dengan sebutan Sultan Bualawa sempat berguru pada Sunan Giri di Gresik semenjak tahun 1495.

Benar atau tidaknya kemungkinan di atas, Baabullah tetap merupakan seorang figur yang ahli dalam berkomunikasi. Ia lihai berjejaring dan dapat dipercaya. Dan kepercayaan yang diperoleh itu bermula dari pilihan sikapnya menjaga integritasnya, juga intelektualitasnya. Karena itu pula 72 pulau berhasil ia taklukkan, bahkan oleh Francis Drake disebut Baabullah sebagai Penguasa 100 pulau. Saya menduga, Nuku, Prins Rebel dari Tidore mengambil banyak intisari dari kepemimpinan Baabullah yang membikin Nuku, juga Baabullah sebagai sosok yang disegani dan dikagumi kawan maupun lawannya.

Barangkali penggalan syair pembuka “Ziarah” karya Bang Ipul Ruray yang ditulis pada 10 Februari 2022 memperteguh ingatan kita kembali atas kepiawaian Baabullah yang sukses menunaikan empat janji juang yang dipekikkannya di tahun 1570 :

Walau jarak sang waktu semakin panjang,
Jejakmu selalu abadi
Jihadmu
Telah menunda seabad angkara murka
Imperialisme tuk hadir mencengkram nusantara…..

Kita yang muda, boleh jadi percaya. Sejarah besar dapat ditorehkan oleh anak muda. Ia yang pembelajar, terjun dalam berbagai medan petualangan sejak belia, dan tentu saja, anak muda yang cerdas, selalu menjaga integritas.

Penulis:
Editor: Redaksi

Baca Juga