Cendekia
Berebut Kuasa di Tanah Para Jenderal
Membaca arah politik transisi di Morotai selalu saja menarik perhatian. Ibarat gadis cantik yang sedang menunggu angkot menuju tujuan. Tak jarang para sopir angkot saling berebut untuk sekedar menjadi tumpangannya.
Politik transisi memang adalah “emas” bagi pendulum kekuasaan. Setali tiga uang; ikut pula target-target politik dalam jangka tertentu. Transisi adalah jembatan penghubung atas aneksasi kepentingan (entah ekonomi-politik) serta birokrasi dalam hubungannya dengan upaya membangun karir.
Meski secara faktual, untuk alasan “karier birokrasi” seorang ‘Penjabat’ bukanlah faktor determinan. Lebih pada soal-soal jangka pendek. Celakanya, transisi (sebagaimna pengalaman umumnya kita di Maluku Utara), sangat dominan karena urusan-urusan pengelompokkan sesaat dan bagi-bagi.
Disinilah letak gaduhnya; saat kita sedang menyusun peta jalan perubahan yang sifatnya lebih kualitatif, yakni memastikan agar transisi ini bergerak seimbang mendorong visi-visi kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat, justru akan terbentur dengan massifnya interest jangka pendek yang “bermutasi” kedalam kekuatan-kekuatan semu dan bahkan invisiblehand. Tentang ini bisa dibaca dari menguatnya peta pengelompokkan yang mulai kelihatan.
Ada kepentingan yang hendak mempertahankan sumber daya kuasanya (oligarki-ekonomi), dan ada pula yang sekedar menyusun road map pengelompokkan untuk memanfaatkan transisi ini sebagai red carpet meneguhkan eksistensi karena tersisih. Dua hal tersebut tak sedikit pun menyasar ‘kepentingan publik’ sebagai basis gerakan dan platform-nya.
Baca juga:
Ahmad Purbaya Menguat jadi Pj Bupati Pulau Morotai
Pemda Morotai Target Rekor Muri di Festival Tokuwela, ASN Diminta Bekerja Sama
SPBU Morotai Pastikan Stok BBM Aman Selama Sidang Sinode, Pelayanan 17 Jam
Konsekuensi atas pola mengelola transisi seperti ini hanya akan mempertegas transaksi jangka pendek dan visi-visi politik pragmatis yang menguntungkan pihak/kelompok tertentu. Rakyat dan kepentingannya akan sulit terjamah. Bahkan justru akan menjadi semacam ruang tarung identitas sempit yang dibangun diatas narasi-narasi siapa, apa, kapan, bagaimana, dan untuk apa/siapa. Kita akan gagal memanfaatkan peluang transisi untuk membenahi yang pantas.
Aroma kekacauan mengelola politik transisi ini semakin menemukan bentuknya ketika ada “adu kuat” (seperti yang diberitakan salah satu media cetak di Maluku Utara) hari ini. Membuat kita yang menyaksikan pun merasa dilecehkan atas pola dan gaya menyusun peta jalan transisi di Morotai.
Berebut kuasa di tanah para jenderal semakin meluas pada ketamakan memburu sumber daya kuasa atas nama kepentingan ekonomi dan bisnis, juga atas nama identitas sempalan. Meminjam istilah Yudi Latif “Gila Kuasa”. Tak tanggung-tanggung dalil normatif pun di tafsir berdasarkan selera fakultatifnya. Yang mungkin akan kita saksikan dari rebut-rebutan “penjabat” di Morotai adalah konsolidasi kepentingan oligarki vs geng identitas sempalan. Kurang lebih itulah siklus yang bakal terjadi.
Tanah para jenderal ini pun akan menjadi saksi keserakahan elit/politisi menjamu transisi. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Inilah Demokrasi lemah adab (Baca Yudi Latif), hukum berenang dilautan tuna-etika. Surplus peraturan tak membuat tertib hukum, malah makin membuka celah bagi kejahatan manipulatif.
Dan karena itulah; hemat saya siapapun yang akan beradu kuat dalam menyongsong peta jalan transisi nantinya di Morotai tak bisa kita anggap sebagai sesuatu yang akan merubah tatanan untuk kebaikan; sebab realitas kekinian justru menunjukkan gerak sejarah hanya akan berputar pada arah jarum jam oligarki dan aristokrat sempalan.
Komentar