Agraria
Tomat, Cinta dan Perjuangan Sosial
HAMPIR sebagian besar orang mengenal Pulau Hiri dari “jauh.” Jumlah jiwa kisaran 5 ribu lebih hidup dalam kondisi topografi membukit dan bebatuan pula. Di Sepanjang pesisir pantai, hanya batu berukuran kecil hingga besar tertata secara alami. Mungkin karena banyak batu, Pulau Hiri kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah karena pertimbangan ekonomis. Kira-kira begitu. Namun, di balik itu semua, terdapat sisi unik dari pilihan-pilihan hidup dan interaksi manusia yang berlangsung di pulau ini. Kita perlu membuka kesempatan seluas mungkin dalam melihat, salah satunya melalui cerita tentang Fiko, sapaan akrab pemuda Dorari Isa bernama lengkap Taufik Ayub.
Penggemar berat AC MILAN, klub sepak bola asal Italia itu, sejak Sekolah Dasar mahir mengerjakan soal matematika. Jangan ragu kalau hitung-hitungan. Saya angkat topi kalau perkara ini. Fiko menempuh pendidikan SD di kampung halaman Dorari Isa, dan memilih meneruskan langkahnya bersama SMP 10 Kota Ternate di Togolobe. Seiring perjalanan waktu setelah lulus tahun 2009 dari SMA Makugawene di Sulamadaha, tahun 2010 ia masuk jurusan Matematika di STKIP Kie Raha dalam keadaan serba terbatas.
Dalam ingatan saya sebagai teman sekaligus saudara, bakat seseorang bisa terbentuk melalui masa transisi seperti ini, setidaknya saya lihat dari potensi dan kondisi saudara Fiko. Tiga tahun kuliah bukanlah jaminan masa depan mengarungi hidup. Apalagi dalam rezim sertifikasi yang ketat saat ini. Berlatar keluarga sederhana dari masyarakat pesisir Dorari Isa, membuat dirinya meninggalkan bangku kuliah pada tahun 2013. Keputusan yang sangat berkonsekuensi tetapi didasari pertimbangan matang.
Fiko kemudian menikahi gadis berdarah Faudu, dan setahun setelah hengkang dari pendidikan formal, ia menjatuhkan pilihan mengelola potensi alam Dorari Isa, menjadi Petani Muda, bergabung bersama kelompok Tani Mariolaha yang bergerak menumbuhkan tanaman holtikultura. Kelompok ini diketuai Dahlan Toniku, termasuk di dalamnya ibu kandung sebagai anggota kelompok. Sepintas riwayat kehidupan orang Dorari Isa-Tafraka, petani bukan mata pencaharian utama. Bekerja sebagai nelayan (Soma/Kalase) merupakan hal paling diminati, tua dan muda. Ini seperti menghipnotis generasi,anak-anak muda bahkan yang masih SMP atau SMA sudah ikut-ikutan melaut bersama orang tua dan sanak saudaranya.
Salah satu tokoh pemuda Dorari Isa, Irwan Basri, dalam suatu percakapan dengan saya sekitar dua tahun lalu, mengatakan Kalase itu bagus karena menyatukan warga, tetapi pekerjaan ini berpengaruh kuat terhadap tingkat pendidikan generasi khususnya di Dorari Isa dan Tafraka. Banyak dari mereka putus sekolah karena tenggelam dalam keasyikan mengikuti Kalase. Barulaha pada tahun sekian ketika Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan pelarangan, khususnya jenis alat tangkap jaring (Kalase) karena dianggap merusak ekosistem laut (Baca: alat tangkap nelayan).
Transformasi pekerjaan warga akibat kebijakan struktural ini begitu terasa di Soa Dorari Isa. Dari sebelumnya bermayoritas sebagai nelayan, warga berbondong mengais rezki melalui pekerjaan kuli bangunan di pelbagai tempat, penggali pasir tanah (Duwong Kaha) di wilayah diantara Dorari Isa dan Tomajiko, mulai mendirikan kelompok tani, hingga menjadi tukang ojek (baik di Hiri maupun di Ternate). Pasca kebijakan Kementerian Perikanan dan Kelautan memberi peta kebertahanan ekonomi masyarakat Dorari Isa yang ”terpaksa” menggeluti pelbagai profesi untuk beberapa tahun.
Barulah dalam dua atau tiga tahun terakhir ini, potensi perikanan mulai masif lagi di kampung ini dengan kehadiran kelompok nelayan (Pajeko). Secara sosiologis, pekerjaan nelayan di Dorari Isa membuka interaksi antar generasi begitu besar. Solidaritas warga diikat dengan aktivitas melaut yang sudah terwarisi beberapa generasi di belakang.
Baca Juga: Mencerap Karya Sastra yang Lahir dari Lingkungannya
Lelaki 31 tahun itu selain harus menghidupi anak dan istri, ia juga bertanggung jawab atas Ibu dan biaya pendidikan adik semata wayang, Sasmita Ayub. Ada hal diluar nalar kebanyakan anak muda Pulau Hiri yang terpatri dalam diri seorang Fiko. Ketika pergeseran ruang ekonomi dan peminatan untuk mengenyam pendidikan formal semakin besar bagi kalangan anak muda, Fiko memilih bertahan di kampung, mengelola potensi alam perkebunan dengan topografi dan struktur tanah-tanah bebatuan Dorari Isa.
Ini bukan hal gampang untuk ukuran seorang pemuda di Soa Dorari Isa yang mayoritasnya sudah lama “terpapar” mata pencaharian nelayan. Butuh etos kultural yang sanggup “memanenkan” cipta dan karsa orang Kepulauan dalam “rumah” sendiri. Hanya orang-orang (pemuda) bermental kuat yang dapat melakukan ini.
Sekarang ini semua serba cepat. Generasi muda kebanyakan ingin hidup “instan,” tidak mau berproses bekerja keras menghadapi tangan zaman. Mental konsumtif mendominasi watak produktif. Terlihat dari Jumlah penduduk berpendidikan formal meningkat, impian menjadi Pegawai Negeri makin luas, dan ketergantungan semacam ini sudah menjelaskan mayoritas kita ketika berpendidikan formal. Apalagi, imingan kerja di perusahaan tambang, ribuan sarjana berlomba-lomba menjadi buruh di investor asing, dalam negeri sendiri di Maluku Utara. Fakta ini mengonfirmasi, jika menjadi pekerja keras dan tekun menjadi petani bukanlah impian dasar anak muda masa kini.
Bisa jadi petani dianggap tidak “tren” atau tidak “gaul”, atau bukan generasi “milenial”, kesemuanya itu merupakan bahasa bias strata sosial. Hasil dari tata ekonomi yang terus memengaruhi struktur sosial masyarakat lokal. Jika jeli memahami, tren menjadi PNS atau bekerja di perusahaan tambang di dalamnya ada relasi dominasi, hegemoni, eksploitasi dan ketidakadilan. Apa yang disebut bekerja di ruang publik saat ini, tidak lepas dari resiko: baik resiko kecelakaan, maupun resiko tidak dipandang setara atas prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Melalui lahan pertanian di Dorari Isa, Fiko memberi kita tanda kemandirian secara ekonomi dan budaya. Betapa tidak, dalam konteks Kota Ternate, menanam Tomat, Rica dan Sayuran merupakan tindakan berbudaya yang mengurangi relasi ketergantungan dengan daerah lain. Dinas Pertanian Kota Ternate memperlihatkan untuk kebutuhan Tomat dan rica (Cabe) dipasok oleh petani lokal sekitar 80 persen, tetapi bukan berarti hilang ketergantungan pasokan dari Sulawesi (tandaseru.com, 2022). Walau demikian, kontribusi para Petani lokal terhadap kebutuhan warga Kota Ternate tak bisa dipandang sepele.
Pada tahun 2022, akumulasi lahan garapan budidaya holtikultura di Kota Ternate seluas 10 hektar, tersebar di 6 kecamatan dengan jumlah produksi tomat mencapai 70 ton (rri.co.id, 2022). Dinas Pertanian menyebut untuk kebutuhan Cabai, ada 11 titik lahan budidaya pertanian yang disiapkan dengan target produksi sekitar 50 ton stok cabai hasil garapan petani lokal (tandaseru.com, 2022). Sedangkan Jumlah produksi terbesar untuk tanaman Tomat dan Cabai dipasok dari kecamatan Ternate Barat.
Jumlah ini dirasa mencukupi kebutuhan warga kota, selain memerhatikan fluktuatifnya harga pasar karena pasokan dan permintaan sering tidak seimbang, terlebih menjelang momen-momen tertentu di Kota Ternate.
Hal tersebut bisa dipahami dari penurunan pasokan tomat dari petani lokal Ternate per 9 Juni 2022 yang hanya dibawah 50 kilogram. Saat yang sama pasokan tersisa dari Halmahera Timur kisaran 2 Ton dan Tidore sebanyak 1 Ton, sementara sisanya pasokan dari luar provinsi Maluku Utara (rri.co.id, 2022). Artinya, ketergantungan Kota Ternate terhadap pasokan pangan dari luar daerah masih sangat besar. Permintaan tinggi dan pasokan terbatas menciptakan harga melonjak. Tomat di pasar Barito yang harga semula per-kilogram hanya Rp12.000, naik menjadi Rp26.000-Rp28.000. Sedangkan Cabai nona dari harga perkilogram Rp60.000, menjadi Rp80.000 (tvonenews.com, Juni 2022).
Secara ekonomi, ini lumrah dalam mekanisme pasar. Namun secara politik pangan, kita butuh proteksi dan perencanaan yang terukur, dalam rangka mengatasi keterbatasan lahan dan memperhitungkan kebutuhan serta besaran produksi setiap tahun. Disinilah, peran pemerintah perlu diperluas, memastikan kebutuhan dasar bahan pokok terjangkau oleh semua lapisan warga Kota Ternate. Termasuk mengantisipasi ketergantungan dari luar. Karena masalah ketahanan pangan lokal bukanlah tanggungjawab petani semata, melainkan membutuhkan intervensi kebijakan dari pemerintah daerah.
Perihal besar kecilnya kontribusi Pulau Hiri, memang belum masuk kategori pemasok tomat dan cabai terbesar, karena belum banyak warga yang bertani secara konsisten dan meminati pekerjaan ini, selain lahan yang juga terbatas. Tetapi dari pulau ini juga, kita bisa melihat komitmen dan konsistensi kelompok tani Mariolaha dan beberapa kelompok lainnya memberi kontribusi terhadap daerah Kota Ternate menghidupi tanaman holtikultura,meski dalam skala yang masih terbatas.
Oleh karena itu, Fiko melalui kelompok Tani Mariolaha telah menunjukkan keberadaannya sebagai pemuda yang produktif dan mandiri secara ekonomi, di sisi lainnya “mengajarkan” pemuda menyatu bersama alam melalui budaya mengelola tanah. Saya menaruh hormat kepada pemuda bermental produktif seperti Fiko. Di tengah gempuran arus globalisasi dan arus informasi saat ini, sulit mendapati anak muda yang siap sedia mencangkul dan menanam dalam jumlah yang gede. Fiko adalah figur petani muda dari Hiri yang patut diapresiasi, perlu dicontohi, khususnya bagi warga muda di wilayah Pulau Hiri, Kota Ternate.
Sesuai luasan lahan serta kontur bebatuan dan tanah berpasir yang mereka kelola di Dorari Isa secara terbatas, kelompok Mariolaha bisa menghasilkan 3-4 Ton tomat selama masa panen. Ukuran ini menurut Fiko, sudah bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan hasil dari profesi mampu mengawal adiknya masuk di Perguruan Tinggi. Ditengah kesempatan kerja yang makin sulit, Fiko kelihatan enjoy sekali bersama alam, tekun dalam profesinya sebagai petani. Bekas pemain sayap kiri tim sepak bola Ofu Rube ini mengatakan; “Karena petani merupakan satu diantara banyaknya profesi yang begitu asyik dan seru untuk digeluti. Sebab, petani merupakan pekerjaan yang menghubungkan kita dengan alam. Dan tak ada yang memerintah kita. Sehingga di samping bertani, kita juga belajar menjadi pribadi yang tekun, sabar, tawakal dan ikhlas”.
Kreativitas Mengelola
Apakah menjadi petani di Pulau kecil seperti pulau Hiri dapat mengantarkan Fiko ke kota-kota besar Indonesia? Jangan ragu. Pada suatu sore menjelang studi akhir saya di Yogyakarta 2018, Fiko menelpon saya dan meminta saya mendatangi Hotel Horaioz Malioboro. Di sana tempat menginap Fiko bersama bapak Dahlan Tuniku, karena selama kurang lebih satu minggu mereka studi banding di Yogyakarta. Setahun berikutnya, Fiko kembali mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Kali ini menuju Jakarta Barat, tepatnya di Menara Peninsula, dalam rangka kegiatan pertanian. Sedangkan pada 2020-2021, ia mengikuti diklat via daring karena pemerintah memperhitungkan Covid-19. Sepakterjang petani muda Pulau Hiri ini kembali berlanjut awal 2022 di Kota Makassar dan di Kota Ambon, daerah yang terakhir ini mengenal budaya pela gandong.
Pengalaman dipanggil mengikuti pelatihan dan diklat berulangkali merupakan bagian internal dari menanamkan rasa percaya dirinya menggeluti dunia pertanian. Jadi, jangan dikira Petani cuma bisa hidup di hutan dan menginjak tanah dan batu saja doooong!!! Tuh, Fiko udah keliling Indonesia naik pesawat, nginap di hotel mewah, gratis pula. Keren kan? Tapi ingat, belum selesai di sini, masih ada kreativitas mereka mengelola potensi diri melalui ide-ide produktif bernilai sosial dan ekonomi.
Selain bergerak mengelola holtikultura melalui kelompok Mariolaha, Fiko juga menggerakkan tani jenis hutan produksi bukan kayu, maka dibentuklah kelompok Tani Hutan bernama Buku Manyeku, bersama bapak Dahlan Tuniku. Lagi-lagi, ini luar biasa. Mereka memproduksi minyak gosok dari daun cengkeh kering, dan minyak wangi dari daun sere wangi (sere merah), serta pupuk kompos hasil fermentasi dedak, kotoran Ternak (Sapi, Kambing, Ayam) dan dedaunan hijau.
Pengelolaan pupuk Kompos kelompok Tani Hutan Buku Manyeku. Foto: Taufik Ayub
Saya jadi ingat pepatah Cina; “lahan ekonomi terbesar di dunia adalah otak manusia”. Paling tidak, berkat kerja otak bapak Dahlan Toniku dan Fiko, kelompok tani Buku Manyeku mampu menunjukkan kepada khalayak bahwa, keterbatasan material atau istilah kerennya-kondisi objektif-, tidak menjadi halangan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, bertindak secara kultural memaknai akal sebagai potensi yang terpatri dalam diri manusia.
Bukankah pekerjaan semacam ini menunjukkan sifat-sifat orang yang berakal?
Berdasarkan cakupan produktivitas, dengan memanfaatkan potensi perhutanan yang terdapat di Dorari Isa, maka kelompok ini menerima izin pengelolaan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. SK.2063/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/4/2017 Tanggal: 11 APRIL 2017. Adalah izin kelola hutan desa skala 85 Hektar, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di Dorari Isa, kecamatan Pulau Hiri. Kalau berbicara tentang diversifikasi pangan, atau politik pangan lokal, sebetulnya dimensi “kreativitas” masyarakat lokal menjadi garda depan,yang perlu dimediasi pemerintah secara menyeluruh.
Proses diversifikasi tinggal memilih bahan pokok pangan. Nilai utama politis dari diversifikasi adalah mengutamakan produksi pangan lokal, mencintai potensi budaya lokal, sekaligus membentuk komitmen untuk tidak membuat warga bergantung pada satu produk pangan. Apalagi jika bahan pangan didatangkan dari luar. Adakah di Maluku Utara pemerintah betul-betul serius menerapkan politik diversifikasi pangan lokal? Pembabatan hutan, penghancuran lingkungan, penghilangan lahan perkebunan akibat industri ekstraktif di Maluku Utara adalah wujud dari tidak adanya usaha serius pemerintah dalam memproteksi pasokan pangan bernilai lokal di negeri ini. Itu masalah didepan mata pemerintah dan warga Maluku Utara.
Ekowisata: Suatu Kesinambungan
Setiap kali saya bincang-bincang dengan Fiko dan bapak Dahlan di seputar pertanian, selalu saja ide-ide kreatif keluar dari kepala mereka. Saya garis bawahi satu ide menarik tentang ekowisata. Pikiran mereka jauh memandang ke depan dalam soal keberlanjutan ekonomi dan budaya mengelola alam di Pulau Hiri. Lahan perkebunan yang ditumbuhi tanaman tomat, rica dan sayuran di Pulau Hiri, bagi mereka, harus dijadikan “objek” wisata, selain potensi bebatuan di pesisir pantai Hiri sebagaimana adanya sekarang. Konsep ini menggabungkan pemahaman ekologi dengan aktivitas warga “menikmati” alam.
Dalam konteks ini, ada makna kesinambungan sekaligus berkelanjutan dari pelbagai bidang. Jika pemerintah Kota Ternate hendak mengembangkan Pulau Hiri sebagai destinasi baru wisata Kota Ternate, pemerintah harus memerhatikan relasi timbal balik antara pariwisata dan pertanian dengan sektor lain. Dalam relasi itu, kita butuh infrastuktur dasar seperti pelabuhan dan jalan yang layak. Kita butuh pasokan air. Kita bahkan membutuhkan jaringan komunikasi dan lain sebagainya yang berkaitan dengan ini semua. Karena aspek kesinambungan itulah, saya melihat bertani bukan sekedar perilaku bercocok tanam, melainkan jauh lebih besar adalah wujud cinta terhadap alam dan bentuk perjuangan sosial secara kolektif. Dalam hal ini, Fiko seorang muda telah memulai khususnya di Pulau Hiri.
Perihal ia harus putus kuliah jurusan Matematika tahun 2013, saya anggap bukan masalah serius. Sekarang ilmunya sudah bermanfaat, bahkan terhadap banyak orang. Karena dalam gagasan pendidikan John Dewey tentang learning by doing (belajar sambil melakukan), Fiko mempraktekkan banyak ilmu dalam satu aktivitas pertanian. Ilmu bercocok tanam untuk menanam, ilmu matematika untuk membagi lahan, menghitung harga dan jumlah produksi, ilmu ekonomi dalam membaca pasar, ilmu komunikasi dalam soal marketing dan lain sebagainya. Saya kira, langkah Fiko di Pulau Hiri harus dijadikan inspirasi.
Milanisti Ternate ini sudah memulai dengan prinsipnya yang sederhana: “mari bato i ahu, si foloi ua joro rica, tamate se uge-uge adi” (batu aja tumbuh, apalagi tanaman tomat, rica dan sayuran). Selebihnya adalah persoalan etos dan kreativitas sebagai manusia yang menentukan bagaimana kontribusi kita terhadap masyarakat. Salam hangat dan cinta.
Komentar