Opini dan Esai

Pilar Demokrasi Kian Terancam

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjamin dan melindungi wartawan. Meskipun demikian, kekerasan terhadap wartawan tidak menutup kemungkinan akan hilang dari bumi. Hemat saya, yang terpenting wartawan tidak keluar dari jalur kode etik jurnalistik. Sajian data Dewan Pers hasil survei Kebebasan Pers di 34 Provinsi di Indonesia tahun 2022 yang melibatkan 340 Informan ahli dan 10 anggota Dewan Penyelia Nasional (National Assessment Council, NAC) menyebutkan, survei IKP 2022 menghasilkan nilai IKP Nasional sebesar 77,88 poin dari IKP 2021. Maluku Utara memperoleh 69,84 poin dan menempati posisi kedua dari bawah. Hasil ini barangkali membuka lebih besar lagi potensi kekerasan terhadap wartawan.

Menurut Pelaksana tugas Ketua Dewan Pers, Agung Dharmajaya bahwa, IKP Maluku Utara hanya naik 1,52 dengan kategori agak baik. Papua Barat urutan paling terakhir dengan poin 69,23. IKP paling tinggi dari 34 Provinsi adalah Kalimantan Timur dengan poin 83,78 (Data survey indeks kemerdekaan pers 2022 Dewan Pers).

Indeks Kemerdekaan Pers yang rendah menjadi tamparan keras bagi perusahaan pers, terutama organisasi pers semacam PWI, JMSI, AJI, PJS, IJTI dan lembaga lainnya hunian wartawan di provinsi paling bahagia versi BPS.

Saya yang saat ini menyaksikan langsung pemaparan Agung Dharmajaya pada sosialisasi IKP Provinsi Maluku Utara 2022 oleh Dewan Pers di Gamalama Room, Sahid Bela, Kota Ternate, Selasa, 1 November pekan kemarin sedikit tercengang. Membayangkan UU Nomor 40 tentang Pers tidak menjadi pelindung. Diabaikan bahkan tidak dianggap.

Ada empat pembicara dalam sosialisasi tersebut. Ketua AJI Maluku Utara, Ikram Haris memnadu acara. Sosialisasi kurang lebih berlangsung lima jam, mulai pukul 12.00 sampai 16.00 WIT. Adu argumen lintas kekerasan jurnalis dan keterbukaan informasi publik di Provinsi Maluku Utara membikin forum jadi panas. Barangkali data Dewan Pers di atas kalau kita renungkan, betapa parahnya kebebasan wartawan di Maluku Utara.

Tak bisa dibayangkan kalau situasi ini seperti kebebasan pers zaman orde baru yang dibredel habis oleh kekuasaan tempo itu. Kebebasan pers zaman orde baru terbuka hanya awal kekuasaan. Namun setelah terjadi peristiwa demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan kerusuhan yang dikenal peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, kebebasan pers mulai lumpuh. Pembungkaman kebebasan pers lebih parah lagi setelah pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 atas perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Pokok-pokok Pers. (Kompas, 22/12/2020).

Selanjutnya 1 2 3 4
Penulis: Akmal Lule
Editor: Redaksi

Baca Juga