Opini dan Esai

KUTUKAN SUMBERDAYA ALAM DI MALUKU UTARA

Tingkat upah yang diberlakukan relatif moderat dengan mempertimbangkan aspek sosial sehingga jika terdapat kenaikan harga akibat dari kenaikan upah seseorang maka yang bersangkutan harus memberikan subsidi silang yang diambil dari pendapatannya. Terdapat kesadaran kolektif secara sosial pada tenaga kerja di sektor booming untuk berbagi insentif terhadap tenaga kerja pada sektor lain. Sehingga tingkat upah pada sektor yang booming tidak lebih tinggi dari tingkat upah pada sektor tertinggal. Upah yang moderat dan merata pada semua sektor kurang berdampak pada pergeseran atau perpindahan tenaga kerja antar sektor. Tenaga kerja pada sistem CME tidak mudah berpindah ke sektor lain meskipun terdapat perbedaan upah yang lebih besar.

Selain faktor tingkat upah, kecirian yang kedua yaitu kekhususan dalam latar belakang pendidikan. Pada wilayah LME, tingkat pendidikan dapat berasal dari keahlian umum, tidak membutuhkan keahlian khusus. Para lulusan leluasa berpindah kerja sesuai dengan kebutuhan skill yang diminta. Sebaliknya pada sistem CME, menyaratkan kekhususan keahlian. Kualifikasi keahlian yang tinggi pada CME berimplikasi pada rendahnya mobilitas perpindahan tenaga kerja antar sektor. Sehingga, meskipun terjadi peningkatan upah pada sektor booming yang berbasis sumberdaya, para pekerja dengan skill khusus tidak dapat dengan mudah untuk berpindah kerja pada sektor tersebut dikarenakan skill yang dimiliki tidak sesuai dengan kebutuhan. Kecirian ketiga yaitu tingkat ketimpangan dan elastisitas permintaan atas sektor jasa.

Pada sistem CME, tingkat ketimpangan dan permintaan atas pemenuhan kebutuhan jasa relatif lebih rendah dibandingkan pada sistem LME. Gaji tinggi yang diterima oleh pekerja mengakibatkan elastisitas permintaan atas barang jasa tinggi, di saat yang sama elastisitas permintaan rendah untuk barang jasa bagi pekerja dengan pendapatan yang kecil. Pekerja yang memiliki pendapatan tinggi cenderung lebih besar mengkonsumsi jasa dan sedikit mengkonsumsi barang kebutuhan yang dapat diperdagangkan daripada pekerja yang berpenghasilan rendah.
Bagaimana dengan Maluku Utara?

Provinsi Maluku Utara tiba-tiba menjadi buah bibir pembicaraan sesaat dikalangan publik terkait tingginya pertumbuhan ekonomi yang mencapai 27% pada triwulan II tahun 2022. Suatu pencapaian yang tidak pernah terjadi didunia mana pun ungkap Presiden Jokowi. Diskursus pun berkembang dikalangan publik masyarakat Maluku Utara. Ada yang senang, bangga, dan tidak sedikit yang mempertanyakan keuntungan apa yang diperoleh dari capaian tersebut.

Struktur perekonomian Malut dalam 3 tahun terakhir menempatkan sektor pertambangan dan industri pengolahan menjadi sektor unggulan daerah. Kontribusi yang disumbangkan kedua sektor ini terhadap perekonomian daerah mencapai 35,09% di tahun 2021 dengan jumlah tenaga kerja terserap sebanyak 155.097 orang (BPS Malut, 2022). Hasil analisis tabel input-output juga menunjukkan multiplier efek terhadap pendapatan masyarakat dari sektor pertambangan sebesar 2.39 yang berarti bahwa setiap peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan pada sektor ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan sebesar 2.39 kali (Amin, 2020).

Keberadaan industri pertambangan yang dimulai dengan kehadiran PT Antam di Pulau Gebe tahun 1979 hingga saat ini sebanyak 125 perusahaan sedang beroperasi di wilayah Malut dinilai belum begitu memberikan dampak terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Tingkat upah yang tinggi hanya dinikmati oleh tenaga kerja asing sementara pekerja lokal menerima gaji sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Prosentase penerimaan karyawan untuk tenaga kerja lokal juga relatif sedikit dibandingkan dengan tenaga kerja dari luar. Aspek tingkat pendidikan yang rendah dan skil khusus yang tidak dimiliki menjadi penyebab tenaga kerja lokal tidak dapat bersaing dengan para pendatang dari luar daerah.

Selanjutnya 1 2 3
Penulis:

Baca Juga