Opini

Kolusi Berkedok Zonasi

Ummulkhairy M. Dun

Praktik buruk lain akibat sistem zonasi ini juga diberitakan oleh media Kumparan. Diuraikan dengan gamblang bahwa di Kota Bogor, Jawa Barat terdapat 300 aduan terkait kecurangan pada PPDB dengan sistem berbasis wilayah itu. Di antara aduan tersebut yang mendominasinya adalah kasus pemalsuan data seperti membuat kartu keluarga (KK) baru yang disesuaikan dengan zona sekolah dituju, ada juga yang menumpang pada KK saudara bahkan KK orang yang tidak dikenal. Fenomena seperti ini menambah wawasan bahwa masyarakat Indonesia masih doyan menghalalkan segara cara untuk mencapai keinginan yang hendak dicapai.

Meskipun riset dan informasi tersebut sampelnya berada di daerah Jawa tetapi tidak menutup kemungkinan hal yang sama pun terjadi di daerah lain seperti di Kota Ternate. Hal yang sama terjadi di salah satu sekolah yang sudah terlanjur mendapat label ‘sekolah favorit’ yakni SMP Negeri 1 Kota Ternate. Beberapa waktu lalu masih di bulan Juli, media online diramaikan dengan berita aksi sejumlah orang tua /wali siswa yang berbondong-bondong mendatangi kantor Dinas Pendidikan setempat untuk menyampaikan protes atas ketidak lulusan anak mereka. Bagi mereka, dalam proses seleksi masuk terdapat kejanggalan seperti sebagian peserta didik baru yang memenuhi syarat sesuai zona digantikan dengan posisi anak yang lain. Itulah kenapa, permainan uang dalam proses seleksi ditudingkan mereka kepada orang-orang dalam dinas pendidikan.

Masalah tahunan ini semakin mempertegas bahwa sistem pendidikan kita secara regional di Maluku Utara dan secara nasional di Indonesia dalam keadaan yang memprihatinkan. Pasalnya, pendapat Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang harusnya memanusiakan manusia semakin sulit dicapai. Hal ini karena standar memanusiakan manusia tidak lagi pada pembentukan karakter yang baik melainkan dengan mempraktikan hal-hal praktis yang turut merugikan manusia lain.

Kepraktisan manusia dalam proses pendidikan memberikan kesan buruk atas proses pendidikan yang sedang berlangsung di Kota Ternate. Anak-anak memilih sekolah bukan karena ia membutuhkan tempat belajar tetapi bisa jadi ia memilih sekolah yang dituju atas dasar tren. Sehingga masalah pendidikan kita saat ini hanya berkutat pada aksi saling protes antara orang tua/wali dengan pihak sekolah, lalu pihak sekolah dengan birokrat dinas pendidikan yang saling lempar tanggung jawab. Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan Paulo Freire tentang situasi pendidikan oleh kita yang harusnya mampu mengingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan kita dituntut dapat menghadapi serta menyelesaikannya.

Satu di antara ragam bahaya yang dimaksud Paulo saat ini adalah terjadinya persekongkolan dalam seleksi penerimaan peserta didik baru yang merugikan peserta didik lain. Persekongkolan atau istilah lainnya adalah kolusi jika tidak diredam prakteknya maka dipastikan akan menjadi budaya yang dapat mempengaruhi mutu pendidikan kita. Bisa dibayangkan, bagaimana karakter peserta didik yang menjadi korban kolusi dalam sistem zonasi ini? Secara mental bisa terganggu dengan meningkatnya sikap malas. Ada yang malas ke sekolah karena jarak rumah dengan sekolah jauh atau ada yang malas belajar karena berpikir bahwa dia masuk ke sekolah atas kekuatan orang tuanya, sehingga baginya dia bisa lulus sekolah tanpa harus belajar. Akibat seperti ini turut mendukung melemahnya kualitas pendidikan kita.

Bahaya lain pun dicurahkan dari ketidak fokusan dinas pendidikan dalam menyelesaikan masalah tahunan ini. Sistem zonasi yang seharusnya dapat menghapuskan label unggulan pada sekolah tertentu justru semakin mempertegas ternyata masih banyak sekolah yang masih belum layak menjadi tempat belajar ideal. Dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, sangat dipengaruhi oleh unsur-unsurnya. Unsur dalam pendidikan yang dimaksud berupa peserta didik, pendidik, tujuan pendidikan, interaksi edukatif antara pendidik dengan peserta didik, kurikulum/materi, alat/metode dan lingkungan pendidikan.

Sistem zonasi yang mengedepankan praktik kolusi jelas dipengaruhi oleh unsur pendidikan yang belum terlalu baik di setiap sekolah. Contohnya, orang tua/wali tidak akan melakukan persekongkolan dengan pihak sekolah atau dinas pendidikan jika sekolah di setiap zonasi memiliki standar mutu yang sama, paling tidak dari sisi lingkungan belajarnya mendukung yaitu difasilitasi sarana dan prasarana yang mumpuni. Sehingga penempatan sekolah pada anak mereka pun tidak terlalu dikhawatirkan. Oleh karena itu, menurut hemat penulis sebelum memperbaiki tahapan seleksi PPDB yang diperbaiki lebih dulu dan ekstra adalah kualitas sekolah di setiap zonasi bukan malah mempertahankan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkup pendidikan.

Selanjutnya 1 2

Baca Juga