Cek Fakta

Media Masih Rentan Terpapar Hoaks, SDM Jurnalis Perlu Diperkuat

Flayer Diskusi Bulanan Cek Fakta

Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), menyebutkan bahwa pemantauan berbasis kecerdasan buatan Binokular serupa dengan data yang dimiliki Mafindo. Penyebaran hoaks di negara kita semakin masif, dan upaya penanganan serta pencegahan sangat krusial dan penting dalam konteks pemilu 2024.

“Data Mafindo tahun 2022 menunjukkan 1.500 temuan hoaks, tahun 2023 ada 1.600 hoaks, dan diprediksi pada 2024 akan meningkat menjadi lebih dari 2.000 hoaks. Bahkan ketika kami melakukan webinar ini, produksi hoaks terus berlangsung. Kanal yang kami pantau dapat menghasilkan 1-45 video hoaks setiap harinya,” ungkap Septiaji.

“Ketimpangan dalam penanganan cek fakta semakin meluas. Pada tahun 2019, kami yakin dapat mendeteksi banyak konten hoaks. Namun kenyataannya, di YouTube, TikTok, Snack, bahkan Shopee, terdapat begitu banyak konten hoaks dan produksi video-video pendek saat ini lebih murah dibandingkan biaya pemeriksaan fakta. Ketidakseimbangan ini menjadi PR kita hari ini untuk bisa ditangani bersama,” tambah Septiaji.

Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDNTimes yang menjadi pembicara terakhir pada diskusi bulan September ini, menekankan pentingnya kerja jurnalis terkait kewajiban verifikasi dan klarifikasi data dalam setiap proses jurnalisme, mulai dari pengumpulan informasi, proses produksi, hingga distribusi berita. Uni Lubis mengakui bahwa sejak menjadi reporter, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, dia selalu mengutamakan inti kerja jurnalis, yaitu mengklarifikasi kebenaran suatu informasi.

“Tugas jurnalis adalah memeriksa fakta dan menyajikan kebenaran, yang merupakan kumpulan informasi yang sudah diverifikasi. Termasuk isu yang baru-baru ini ramai mengenai penganiayaan wakil menteri oleh seorang menteri di kabinet Jokowi. Dalam kasus seperti itu, kerja jurnalistik adalah wajib untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi,” tegas Uni Lubis dalam diskusi yang dipandu oleh pemimpin redaksi MNC Radio Network, Gaib Marudo Sigit.

Menurut Uni, tidak ada jaminan bahwa media besar terhindar dari kemungkinan kelalaian jika disiplin verifikasinya diabaikan. Ia memberi contoh bahwa media besar seperti New York Times di Amerika Serikat dan TEMPO di Indonesia pernah mengalami hal ini.

“Meskipun narasumber yang dapat dipercaya kadang-kadang menampilkan data yang salah, yang kemudian harus diverifikasi oleh para jurnalis. Contohnya adalah kasus di TEMPO yang harus meminta maaf karena salah mengutip pernyataan narasumber yang salah, hal ini adalah tindakan yang benar untuk dilakukan. Kesalahan ini bahkan terjadi di portal media internasional seperti New York Times dan lainnya,” tambah Uni Lubis.

Direktur Eksekutif AMSI, Adi Prasetya, dalam membuka diskusi seri kedua, menyatakan bahwa diskusi bulanan ini merupakan bagian penting dari kampanye antihoaks dan kontribusi koalisi cek fakta dalam mendukung pemilu 2024 yang berkualitas dan bebas dari hoaks. Ini juga untuk mengukur dan memantau pekerjaan pemeriksa fakta sepanjang tahun mendatang.

“Asosiasi Media Siber Indonesia bersama mitra koalisi Cek Fakta, AJI, Mafindo, dan didukung oleh Google News Initiative, bermitra dengan lembaga riset berbasis kecerdasan buatan Binokular untuk mendapatkan data percakapan yang real dan tepat tentang penyebaran, tipe, korban, dan bahkan pemetaan pelaku hoaks. Dari situ, kita dapat mempertimbangkan tindakan yang harus diambil,” kata Adi.

Selanjutnya 1 2
Penulis: Rilis
Editor: Firjal Usdek

Baca Juga