Lingkungan

Krisis Iklim dan Proyek Industri Mengancam Kehidupan Warga Maluku Utara

Suasana konferensi pers ARUKI dan WALHI tentang rancangan Undang-Undang Perubahan Iklim. Foto: FH

Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim (ARUKI) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menggelar Konsultasi Rakyat di Maluku Utara pada Jumat, 6 September 2024.

Acara ini merupakan inisiatif ARUKI untuk merumuskan RUU Keadilan Iklim dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, dan buruh dari 11 provinsi di Indonesia.

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2023, suhu bumi telah meningkat sebesar 1,19°C dan diperkirakan akan melampaui 1,50°C pada tahun 2030, yang merupakan ambang batas bahaya. Emisi gas rumah kaca terbesar berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan penggunaan lahan.

Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat lonjakan 8.146 bencana terkait iklim dari 2010 hingga 2022, yang mempengaruhi lebih dari 20 juta orang, terutama di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Puspa Dewy, perwakilan ARUKI, menyampaikan bahwa Maluku Utara, dengan 70 persen wilayahnya berupa lautan, sangat rentan terhadap dampak krisis iklim. Sebagian besar penduduknya bergantung pada hasil laut dan sumber daya alam di darat. Wilayah ini juga menghadapi risiko dari investasi besar di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

“Namun, pemerintah Indonesia dinilai belum menunjukkan komitmen serius dalam mengatasi krisis iklim,” tegasnya.

Dewy menambahkan bahwa selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi, upaya pengendalian perubahan iklim belum menjadi prioritas utama. Kebijakan ekonomi berbasis industri ekstraktif selama satu dekade terakhir menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap krisis iklim.

Baca juga:

HAS-ARI Unggul Tipis di Ternate, Juru Bicara: Jangan Terlalu Euforia, Tetap Konsisten

Survey: Husain Alting dan Benny Laos Bersaing Ketat di Kota Ternate

Santrani dan Bustamin: Pasangan Calon yang Semakin Mesra Menjelang Pilkada Ternate

“Kelompok rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, dan perempuan menanggung beban terberat akibat cuaca ekstrem, gagal panen, dan kerusakan ekosistem. Proyek pembangunan justru memperburuk kemampuan adaptasi masyarakat,” tuturnya.

Dalam forum konsultasi ini, berbagai dampak negatif industri ekstraktif, seperti pertambangan nikel di Halmahera Tengah oleh PT IWIP, dibahas. Aktivitas tersebut menyebabkan banjir, longsor di kampung-kampung sekitar, serta pencemaran yang mengancam kesehatan masyarakat.

“Selain itu, proyek reklamasi pantai untuk perluasan industri juga menghancurkan habitat biota laut dan area tangkap nelayan,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Maluku Utara, Faisal Ratuela, menjelaskan bahwa Maluku Utara terdiri dari 1.080 pulau dengan luas daratan kurang dari 30,96 km² dan sangat bergantung pada hasil tangkapan laut serta sumber daya alam di darat.

Selanjutnya 1 2
Penulis: FH
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga