Opini
Sagu: Ketahanan Pangan dan Penggerak Ekonomi
Oleh: Ihsan Umaternate dan Darwis Gorantalo
(Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula)
=====================================
Pada tulisan kami sebelumnya bertajuk, “Kemiskinan Nelayan dan Pengembangan Sektor Perikanan”, laman halmaherapost.com. Sudah kami uraikan soal pangan di sektor perikanan dan keluatan—pengembangan sektor perikanan laut dan tantangan-tantangan yang kita hadapi. Tulisan ini akan kami berupaya menjelaskan masalah pangan di sektor pertanian dan model kerja yang akan kami lakukan nantinya.
Potret tentang kehidupan petani di Kabupaten Kepulauan Sula sungguh masih teramat sangat buram. Kelompok masyarakat tani hingga sekarang ini masih terus mengalami stagnasi, kesenjangan, ketimpangan dan soal-soal inilah yang membuat petani kesulitan mengembangkan taraf hidupnya yang lebih baik. Adalah suatu hukum sebab-akibat yang tidak diteropong dengan lensa nalar dan upaya untuk memecahkannya belum mendapat perhatian serius.
Kami mencoba melacak akar persoalan mengapa masyarakat tani adalah bagian dari kelompok marginal dan relatif rentan. Semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan ketersediaan pangan menjadi tantangan tersendiri. Sektor pertanian dituntut untuk dapat memenuhi pangan dalam negeri. Sementara di sisi lain, petani menghadapi tantangan begitu rumit. Hal inipun diakui oleh Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Jamhari, bahwa masalah pertanian jauh lebih rumit.
Kerumitan dihadapi masyarakat tani diantaranya seperti perubahan iklim yang berakibat pada penurunan hasil produksi dan bagi kami, hal yang paling krusial adalah masalah akses. Pun masalah yang berhubungan dengan karakteristik masyarakat perlu dipahami dengan baik sehingga dalam penerapan program harus sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat tani. Tidak terkesan memaksakan program yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat dan berakhir dengan kegagalan.
Kita ketahui bahwa petani Kabupaten Kepulauan Sula dikenal dengan sistem pertanian tebang bakar dan tada hujan—tidak mengenal sawah irigasi. Dan menurut kami hal ini harus dipahami betul sehingga dalam penerapan program di bidang pertanian sesuai dengan pengetahuan masyarakat sekitar. Masyarakat Sula memiliki tradisi gotong-royong cukup kuat semisalnya tradisi walima dan lom poa do hoi.
Tradisi ini masih berfungsi baik, sebab di sana ada partisipasi aktif, kesadaran, kepercayaan dan merupakan pembiasaan kerja sama yang baik pula. Salah satu cara pengendalian perubahan iklim adalah menggunakan tradisi sebagai upaya adaptasi pengendalian risiko. Konsep adaptasi pun, adalah salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal (Muliyadi, 2007).
Dari aspek sejarah, sumber pangan masyarakat Sula adalah sagu dan padi ladang. Kami menilai kedua komoditas tersebut—bahkan hingga sekarang pemerintah daerah terlihat abai untuk kembangkan sebagai pangan unggulan daerah. Walaupun harus diakui bahwa bukan kerja yang mudah, tetapi, setidaknya jika ada usaha dan niat yang sungguh-sungguh dipastikan akan menuai hasil. Meskipun belum memenuhi target hasil yang maksimal, akan tetapi bila dikerjakan tahap demi tahap; perbaikan dan terus-menerus dievaluasi tantangan, hambatan serta peluang yang kita hadapi.
Apabila masyarakat Sula memberikan kepercayaan kepada kami, maka, kedua komoditas ini akan dijadikan pangan unggulan daerah untuk menjaga ketahanan pangan dan kedaulatan petani. Tulisan ini akan kami berfokus pada petani sagu sebagai usaha menjaga ketahanan pangan, peningkatan ekonomi masyarakat dan perannya dalam perekonomian daerah.
Lagi-lagi persoalan mengapa produksi komoditas sagu semakin berkurang? Pada di sisi lain permintaan konsumsi sagu pun tak kalah tinggi. Soalnya adalah, ketika pemerintah abai, tidak menaruh perhatian serius terhadap produsen sagu semisalnya akses modal, peralatan, pasar dan pelestarian hutan sagu. Akses modal, peralatan dan khususnya pelestarian hutan sagu merupakan masalah yang sangat fundamendal.
Secara kuantitas, semakin berkurang produksi komoditas sagu, sangat berhubungan dengan area hutan sagu yang semakin berkurang. Berkurangnya hutan sagu inipun dampak dari masalah pembangunan; banyak hutan sagu digusur, dibabat oleh pemerintah demi kelancaran pembangunan. Begitupun dengan masyarakat yang belum ada kesadaran untuk melestarikan hutan sagu dan berakibat fatal pada penurunan hasil produksi sagu.
Adalah tantangan yang dihadapi oleh petani sagu. Sehingga menurut hemat kami, untuk mengatasi tantangan ini, hutan sagu harus dilindungi dan dilestarikan. Tugas berat kita adalah menyadarkan masyarakat untuk terlibat aktif melestarikan area hutan sagu demi untuk menggenjot pangan lokal sebagai komoditas unggulan dan dampaknya terhadap ekonomi daerah.
Untuk meningkatkan peran sagu maka perlu adanya suatu model percontohan kawasan pengelolaan sagu sebagai bentuk unit usaha dengan didukung proses pengeluaran pati dan kebun sagu yang memadai dan secara ekonomis menguntungkan (Bambang Hariyanto, 2011). Hal ini dimaksudkan untuk memanfaatkan tanaman sagu dan menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitarnya sehingga dapat dapat memberi peran dalam perekonomian daerah.
Sagu merupakan makanan pokok orang Maluku. Selain diolah menjadi popeda, juga sagu lempeng, bagea, sinoli dan lainnya, yang selain dapat penuhi kebutuhan hari-hari—juga dapat dikembangkan sebagai ekonomi kreatif. Disamping itu, perlu dibuat contoh produk makanan dari sagu yang dapat diterima oleh masyarakat bukan pengkonsumsi sagu. Bambang Hariyanto menjelaskan, untuk itu pati sagu dibuat dalam bentuk mie. Untuk menjaga pasokan sagu maka dibentuk suatu unit kawasan sebagai pasokan bahan baku sagu.
Bambang Hariyanto melanjutkan, bila ditinjau dari ketahanan pangan hadirnya mie sagu ini menjadi salah satu pilihan dari perwujudan bentuk diverisifikasi pangan. Hal ini baik untuk menghambat agar konsumsi makanan tidak selalu beras dan terigu. Sagu, merupakan bahan baku lokal menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan ketahanan pangan kita agar menjadi lebih kokoh terhadap berbagai jebakan pangan impor.
Selain itu, daun sagu pun memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Fungsi daun sagu adalah untuk menangkap emisi karbon dan penyedia oksigen. Dengan demikian dapat membantu dampak negatif perubahan iklim. Sedangkan dari segi kebermanfaatan, daun sagu dapat digunakan menjadi atap rumbia. Atap rumbia memiliki kelebihan tertentu seperti kelihatan alami, tidak panas, sejuk, ramah lingkungan dan cukup ekonomis bagi masyarakat yang berpendapatan rendah.
Oleh karena itu, sebagai pihak yang berwenang, seharusnya membuka akses berupa bantuan modal, teknologi tepat guna dan pasar untuk para petani sagu. Teknologi tepat guna yang kami maksudkan ialah, murni tidak menggunakan peralatan modern, akan tetapi, perlu proses adaptasi terhadap peralatan tradisional. Teknologi yang digunakan petani sagu adalah kombinasi dari pengetahuan modern dan tradisional untuk meningkatkan hasil yang maksimal serta kualitasnya.
Dengan demikian yang akan kami (ISDA) lakukan adalah dibentuk suatu model kawasan pengelolaan sagu sebagai unit usaha dan kebun sagu yang memadai. Juga dibentuk satu unit kawasan sebagai pasokan bahan sagu. Hal ini dimaksudkan untuk memanfaatkan tanaman sagu dan menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitarnya sehingga dapat memberi peran dalam perekonomian daerah.
Komentar