Cendekia

Orang Miskin Dilarang Memilih

  • Penulis: Aji Deni || Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara

Di negeri yang konon demokratis, orang-orang kecil hanya bisa menyaksikan pemilu dari jauh, seolah melihat pesta megah yang tak pernah mengundangnya. Budi, nama imajiner seorang buruh bangunan dengan lima anak, terus bertanya dalam hati, "Apakah benar suara rakyat kecil seperti aku ini dihitung?" Ia merasa terjebak dalam janji kosong yang hanya terwujud di masa kampanye. Dalam Poverty and Democracy (Krishna, 2008) menyebut bagaimana keterbatasan akses pendidikan dan informasi membuat orang-orang miskin di negara berkembang menjadi sasaran manipulasi politisi yang mengandalkan janji palsu atau bantuan sementara. Begitu pula Budi, yang selalu menerima janji-janji besar tanpa hasil nyata, di mana demokrasi terasa lebih sebagai cerita orang kaya, yang tak pernah menyentuh hidupnya.

Seperti Srintil, tokoh dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Budi merasa hidupnya telah ditentukan oleh kekuatan besar yang tak bisa ia lawan. Srintil, seorang ronggeng desa yang dipolitisasi tubuh dan suaranya oleh para penguasa, berkata getir, “Aku ini hanya ronggeng, Rasus. Apa yang aku tahu tentang politik?” Sama halnya dengan Budi, yang merasa demokrasi tak lebih dari sekadar angan-angan yang diberikan bagi mereka yang berkuasa. Dalam pandangan Krishna (2008), demokrasi seharusnya inklusif, tetapi bagi orang kecil seperti Budi dan Srintil, hak memilih hanyalah ilusi.

Wilkinson (2004), dalam Votes and Violence, membahas bagaimana kemiskinan dan kerentanan ekonomi dijadikan alat politisasi, yang memudahkan elite politik di India untuk memanfaatkan identitas sosial demi meraih suara. Budi, seperti Saidjah dalam Max Havelaar (1860), juga menjadi korban dari kebijakan tak berpihak. Suatu ketika, ia berjuang hak-hak politiknya tentang politik yang diperjualbelikan dengan nilai uang yang tidak bisa menggantikan kebebasan politik Saat itu, ia merasa seperti Saidjah, yang hidupnya telah dirampas oleh penguasa yang tak pernah melihat rakyat kecil sebagai manusia. “Bagaimana mungkin kami memilih ketika hidup kami terjajah?” kata Saidjah, merasa terlantar di tanah airnya sendiri.

Seperti yang dikemukakan oleh Staffan Lindberg dalam Elections and Democratization in the Developing World (2010), proses pemilu di banyak negara berkembang hanya memperkuat cengkeraman kekuasaan elit. Pemilu tidak membawa perubahan bagi rakyat miskin, hanya memperpanjang kekuasaan bagi mereka yang memiliki kendali. Budi sadar bahwa hidupnya dan suara yang ia miliki dianggap tidak layak untuk diperjuangkan. Ia hanya dilihat sebagai angka statistik, tak ubahnya seperti Tom Joad dalam The Grapes of Wrath yang berkata, “Di mana hak kami memilih? Kami bahkan tak punya tanah untuk berdiri.” Bagi Budi dan keluarga Joad, hak pilih terasa sia-sia saat mereka terus hidup dalam ketidakberdayaan.

Dalam masyarakat yang berhierarki tajam, Pariyem dalam Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi A.G (2013), menampilkan pengakuan pasrah seorang pembantu yang hidup di bawah telunjuk priyayi. “Aku ini rakyat kecil, ndoro, cuma bisa nurut.” Pariyem sadar bahwa orang-orang seperti dirinya, meski hidup di bawah bendera demokrasi, tak pernah benar-benar bebas. Situasi ini menggambarkan apa yang disebut Abente Brun dan Diamond (2014) sebagai clientelism dalam Clientelism, Social Policy, and the Quality of Democracy, di mana bantuan sosial dijadikan alat kontrol terhadap masyarakat miskin yang tidak memiliki pilihan.

Dalam Animal Farm, George Orwell (1945) menggambarkan hewan-hewan yang hidup di bawah kekuasaan babi elit Napoleon dan Squealer, yang berkata, “Kita semua setara, tapi beberapa di antara kita lebih setara daripada yang lain.” Inilah menjadi kiasan bagi Budi yang merasa bahwa di negerinya pun berlaku ketidaksetaraan yang sama. Orang-orang kecil sepertinya hanyalah roda dalam mesin besar demokrasi, diputar dan dipaksa untuk bergerak tanpa suara. Kalyvas (2008), dalam Democracy and the Politics of the Extraordinary, menyatakan bahwa sering kali demokrasi hanyalah alat untuk memperkuat status quo bagi para elit, sementara hak masyarakat miskin untuk memilih menjadi sekadar formalitas tanpa makna.

Dalam Para Priyayi karya Umar Kayam (1992), lurah tua Kertareja merasa bahwa rakyat kecil tak pernah dipandang, hanya diinjak seperti kerikil di jalan. Di Era demokrasi, Budi pun merasa hidupnya seolah dilalui tanpa diperhatikan, kecuali saat musim pemilu tiba. Demokrasi bagi rakyat kecil hanya panggung sandiwara, sebagaimana digambarkan oleh Lindberg (2010), Elections and Democratization in the Developing World: A Comparative Study of Elections in Africa and Asia di mana pemilu hanya alat untuk memperpanjang kendali kekuasaan dan bukan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Pemilu sering kali tidak memperkuat demokrasi, tetapi justru memperpanjang kekuasaan elit yang memanfaatkan masyarakat miskin sebagai komoditas politik.

Ketika malam tiba, Budi duduk di sudut gelap rumahnya, menatap anak-anaknya yang tertidur dalam keheningan yang memekakkan. Ia merenungkan masa depan mereka yang suram, terperangkap dalam lingkaran ketidakadilan yang seakan tak pernah berakhir. Di balik penderitaannya yang tampak tak terhingga, ada harapan yang tersisa—meskipun itu hanya secercah, yang kerap tampak semakin jauh. Ia berharap suatu hari nanti, ada dunia di mana orang-orang kecil seperti dirinya tak lagi dipandang sebelah mata, di mana demokrasi bukan sekadar kata-kata kosong yang digunakan untuk menipu.

Namun, meskipun impian itu ada, Budi tahu betul bahwa dunia ini tidak akan memberinya banyak pilihan. Seperti yang dikatakan oleh Krishna (2010) dalam Poverty, Participation, and Democracy A Global Perspective, masyarakat miskin di negara berkembang seringkali terjebak dalam kebodohan politik, dengan sedikit akses terhadap pendidikan dan informasi yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara bermakna dalam politik. Pemilu menjadi ajang permainan kekuasaan bagi politisi yang tanpa rasa malu mengeksploitasi ketidakberdayaan mereka, menjanjikan bantuan semu dan harapan palsu sebagai ganti dukungan. Budi, seperti mereka yang miskin di banyak belahan dunia, hanya menjadi bagian dari statistik yang bisa diperalat—suara yang terabaikan, tubuh yang tak berarti lebih dari sekadar sumber tenaga.

Wilkinson (2004) dalam Votes and Violence: Electoral Competition and Ethnic Riots in India, memperlihatkan dengan jelas betapa politik pemilu di India sering kali memanfaatkan kemiskinan dan kerentanan ekonomi untuk memperburuk ketegangan sosial. Kelompok-kelompok miskin yang terfragmentasi, yang dipenuhi dengan luka-luka kesenjangan sosial, dengan mudah diadu domba demi keuntungan politik yang semu. Bagaimana kekuasaan berputar di tangan segelintir orang yang hidup di atas penderitaan orang banyak, mengendalikan arus politik dengan janji yang tak pernah ditepati. Dalam dunia yang lebih mementingkan kekuasaan daripada keadilan, Budi tahu, dia hanya akan terus menjadi pion yang tak pernah berhak berbicara.

Di balik wajah anak-anaknya yang tertidur lelap dengan lampu teplok redup, Budi merasa seolah-olah masa depan mereka telah ditulis dengan tinta yang tak bisa diubah. Mereka dilahirkan di dunia yang memandang kemiskinan sebagai kutukan, bukalah sederet karya yang sama dan demokrasi sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Seperti yang dikatakan Krishna, masyarakat miskin memang sering kali tidak memiliki akses ke saluran informasi yang akan memberi mereka kekuatan politik. Mereka terjebak dalam ketidakpastian dan ketidakberdayaan, dipaksa memilih antara bertahan hidup dan memperjuangkan hak mereka yang seharusnya tidak pernah dirampas.

Dalam kesunyian dunia yang tak peduli, para penulis besar menggambarkan kemiskinan bukan sekadar sebagai kekurangan materi, tetapi sebagai kutukan yang merobek jiwa manusia. Charles Dickens dalam Oliver Twist ((1837-1839) menggambarkan Oliver, anak yatim yang terperangkap dalam jaring kemiskinan dan eksploitasi di Inggris abad ke-19, merangkai kritik pedas terhadap ketidakadilan sosial yang menghancurkan masa depan. John Steinbeck, lewat The Grapes of Wrath (1939), membawa kita menyelami penderitaan keluarga Joad yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka, terinjak oleh kekuatan ekonomi yang menindas saat Depresi Besar Amerika menjelang perang dunia kedua. Victor Hugo dalam Les Misérables (1862), menceritakan perjalanan tragis Jean Valjean yang berjuang mengangkat martabatnya di tengah ketidakadilan Prancis, membuktikan bahwa kemiskinan bukan hanya soal kelaparan fisik, tetapi juga kelaparan jiwa. George Orwell, dalam Down and Out in Paris and London (1933), menghadirkan gambaran suram adalah hidup di jalanan, memperlihatkan bagaimana kemiskinan bisa merusak kehidupan hingga tak tersisa harapan. Upton Sinclair, dengan tajam menyoroti penderitaan buruh di The Jungle (1906), menggambarkan bagaimana kemiskinan dan eksploitasi membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Dan dalam The Bluest Eye, Toni Morrison (1970) mengungkapkan penderitaan Pecola Breedlove, seorang gadis Afrika-Amerika yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan rasial dan sosial, merasakan betapa rapuhnya harga diri di dunia yang mendewakan kecantikan. Kisah-kisah ini adalah cermin kelam dunia di mana kemiskinan bukan hanya soal kurangnya uang, tetapi penghancuran perlahan terhadap tubuh dan jiwa.

Budi mengusap wajahnya dengan tangan kasar, merasakan beratnya beban yang harus ia tanggung. Ia tahu bahwa suaranya, meskipun ada, hampir tidak pernah dihitung. Sama seperti ribuan bahkan jutaan ummat manusia yang suara lainnya yang terperangkap dalam tubuh rakyat miskin, suara itu hanyalah angka dalam perhitungan politik yang jauh dari harapan mereka. Demokrasi yang dijanjikan tidak pernah menyapa mereka yang terpinggirkan. Seperti yang disampaikan Wilkinson, kompetisi pemilu yang seharusnya menjadi arena kebebasan malah menjadi medan pertempuran untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar dengan mengorbankan mereka yang paling rentan.

Namun, di tengah kegelapan yang begitu pekat, Budi tetap berharap. Harapan itu mungkin kecil, seperti sisa-sisa cahaya yang memudar di ujung lorong yang gelap, namun ia tidak bisa menyerah. Walaupun ia tahu bahwa dunia ini bukan untuk orang sepertinya, ia tidak akan berhenti berusaha untuk anak-anaknya. Politik uang tidak ada arti bagi dirinya yang papah karena selama 5 tahun, sisi kelam hidup menjadi nafasnya. Karena bukan itu yang diharapkan Budi dan keluargnya, atau mungkin, seperti yang dikatakan Krishna, meski hampir tak mungkin, impian tentang masa depan yang lebih baik harus terus hidup, meski terabaikan dan terlupakan. Itulah yang tetap memberi Budi kekuatan untuk bertahan, meski hidupnya hanyalah fragmen dari cerita yang tak pernah tuntas. Pada akhirnya, meski "dilarang memilih" bukanlah larangan memilih, melainkan ketidakberdayaan dalam memilih. Budi sadar ia masih punya satu pilihan. Mempertahankan martabatnya di tengah dunia politik yang terus mengecilkan suaranya.

Dunia tak berpihak, janji demokrasi tak lebih dari suara kosong yang hilang di keramaian. Akhirul kalam, Budi adalah jiwa dan tubuh di bumi Makmur yang terhimpit dan terpinggirkan, sadar dan memahami bahwa hidup tak pernah benar-benar memihak pada mereka yang miskin. Hidup baginya hanyalah terus berdiri meski ditindas, terus berharap meski harapan itu dipermainkan. Hak memilih? Itu hanya hak yang dipinjamkan pada mereka yang punya uang; bagi Budi, hidup hanya memberi satu pilihan: bertahan.

Penulis:

Baca Juga