Lingkungan
WALHI Bongkar Ancaman Besar untuk Maluku Utara: Pesisir Laut dan Pulau Kecil Terancam

WALHI Maluku Utara menggelar Dialog Publik melalui Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) III di Villa Marasai, Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan, pada Rabu, 18 Desember 2024.
Kegiatan yang mengusung tema "Perkuat Gerakan Politik Lingkungan Hidup Indonesia di Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil dalam Memproteksi Wilayah Kelola Rakyat untuk Wujudkan Keadilan Ekologi" ini menghadirkan tiga pemateri utama, yaitu Guru Besar Universitas Khairun Ternate, Muhammad Aris, Akademisi Ekonomi Aziz Hasyim, dan Praktisi Hukum Hendra Kasim.
Direktur WALHI Maluku Utara, Faisal Ratuela, menjelaskan bahwa acara ini bertujuan untuk mengatasi masalah mendasar terkait kondisi ekologi di pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, yang semakin terancam oleh perkembangan industri ekstraktif.
"Kami berupaya memperkuat gerakan politik lingkungan hidup Indonesia, khususnya di pesisir laut dan pulau-pulau kecil, untuk melindungi wilayah kelola rakyat dan mewujudkan keadilan ekologis," kata Faisal.
Ia juga menambahkan bahwa peran serta masyarakat dalam menjaga dan mengelola sumber daya alam sangat penting, terutama di tengah dominasi sektor ekstraktif yang terus berkembang.
Faisal mengungkapkan bahwa hingga akhir 2024, WALHI Maluku Utara mencatat ada 127 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di sembilan kabupaten/kota di provinsi ini. IUP tersebut terdistribusi di Halmahera Tengah (25 IUP), Halmahera Timur (26 IUP), Halmahera Selatan (22 IUP), Halmahera Utara (11 IUP), Halmahera Barat (5 IUP), Kepulauan Sula (10 IUP), Taliabu (22 IUP), Pulau Morotai (4 IUP), dan Tidore Kepulauan (2 IUP).
"Jumlah IUP ini kemungkinan akan terus bertambah, dipicu oleh hubungan erat antara aktor korporat dan oligarki dalam dunia politik yang sering mendominasi pengambilan keputusan di tingkat daerah," tambah Faisal.
Dalam paparan yang bertajuk "Krisis dan Bencana Ekologi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Akibat Aktivitas Tambang," Muhammad Aris mengungkapkan dampak besar yang ditimbulkan oleh eksploitasi tambang terhadap lingkungan.
"Maluku Utara memiliki karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat rentan. Tekanan alam yang terjadi secara alami, ditambah dengan laju perubahan iklim yang semakin cepat, membuat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat terancam," jelas Aris.
Aris juga menyebutkan kerusakan yang terjadi di Pulau Obi, di mana kehilangan mangrove telah mencapai 99,9 persen, kematian terumbu karang dalam dua tahun terakhir mencapai 61,8 persen, dan berbagai ekosistem di daerah estuari mengalami kerusakan parah.
"Kerusakan ini memberikan dampak yang sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat setempat," tambahnya.
Aziz Hasyim, seorang akademisi ekonomi, memaparkan mengenai "Strategi Pembangunan Ekonomi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil di Maluku Utara."
Aziz mengungkapkan bahwa sejarah tidak mencatatkan perusahaan ekonomi ekstraktif dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
"Pentingnya hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas lingkungan secara keseluruhan," ujarnya.
Sementara itu, Praktisi Hukum Hendra Kasim yang membahas "Perlindungan Hukum Terhadap Ekologi Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil" mengingatkan tentang pentingnya konstitusi lingkungan yang sering diabaikan dalam praktik pembangunan.
"Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, kita perlu bertanya, bagaimana penguasaan oleh negara itu dilaksanakan?" tegas Hendra.
Ia juga menyoroti pentingnya regulasi perundang-undangan yang dapat menjadi peluang untuk mendukung gerakan politik lingkungan hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hendra mendorong agar upaya litigasi diambil untuk mengendalikan kerusakan ekosistem di Maluku Utara.
Komentar