Parlemen

DPD Dukung UU Minerba yang Bakal Mengubah Nasib Daerah dan Masyarakat Adat

DR. R Graal Taliawo, anggota DPD-RI dari Maluku Utara saat rapat pembahasan RUU Minerba. Foto: Dok Pribadi

DPR-RI secara resmi mengesahkan RUU Revisi Keempat UU Minerba, pada 18 Februari 2025, setelah melalui pembahasan panjang antara DPR, Pemerintah, dan DPD-RI.

Revisi ini mengakomodasi kepentingan daerah dan masyarakat adat, dengan tujuan menciptakan pengelolaan sumber daya mineral yang lebih adil, berkelanjutan, dan memberikan manfaat langsung bagi rakyat.

RUU ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025, yang terdaftar dalam Daftar Kumulatif Terbuka. Artinya, RUU ini dapat diajukan sesuai dengan kebutuhan. Revisi ini diperlukan sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengharuskan perbaikan dan revisi segera terhadap Undang-Undang tersebut.

Pembahasan RUU Minerba ini merupakan bukti komitmen negara, termasuk DPD, untuk berupaya mewujudkan pengelolaan mineral dan batu bara yang mendukung kesejahteraan rakyat dan berwawasan lingkungan. Semua pihak memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan hal ini terwujud.

Pembahasan Secara Tripartit

Pembahasan RUU ini dilakukan secara tripartit, yang melibatkan DPR-RI, Pemerintah, dan DPD-RI, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Sebagai RUU usulan DPR, DPR menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), yang kemudian ditanggapi oleh setiap fraksi, Pemerintah, dan DPD terkait perubahan substansi atau redaksi DIM tersebut. DPD, melalui Komite II yang membidangi sumber daya alam dan ekonomi lainnya, turut memperjuangkan berbagai gagasan yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

Perguruan Tinggi Menerima Manfaat

DPD mendukung dan mendorong agar Perguruan Tinggi dapat menerima manfaat dari aktivitas pertambangan, khususnya perguruan tinggi yang berlokasi di kabupaten atau provinsi tempat eksplorasi tambang dilakukan.

"Manfaat dari perolehan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) prioritas perlu memperhatikan royalti atau manfaat yang diberikan kepada perguruan tinggi, yang terbagi dalam dua bentuk: dana abadi (untuk kepentingan jangka panjang perguruan tinggi) dan dana untuk mendukung Tri Dharma perguruan tinggi," jelas Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si., anggota DPD-RI dari Maluku Utara dan perwakilan Komite II dalam rapat tersebut.

Keberpihakan kepada Masyarakat Adat
Konflik lahan pertambangan sering kali bersinggungan dengan masyarakat adat. Sejauh ini, peran masyarakat adat dalam pengelolaan pertambangan masih belum mendapat perhatian optimal.

“Keberadaan dan eksistensi sejumlah masyarakat adat terancam karena lingkungan hidup mereka masuk dalam kawasan IUP. Sebagai contoh, suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur. Lahan-lahan itu bertuan. Kita semua tentu berharap agar konflik serupa tidak terulang lagi,” ujar Graal.

DR. R Graal Taliawo, anggota DPD-RI dari Maluku Utara saat bersama Bahlil, Menteri Investasi dan Hilirisasi saat pembahasan RUU Minerba. Foto: Dok Pribadi

Graal, bersama Agustinus R. Kambuaya, S.IP. (anggota DPD-RI dari Papua Barat Daya), juga menyoroti data kuantitatif yang menunjukkan banyaknya konflik lahan antara masyarakat adat dan pertambangan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Maluku Utara, Kalimantan, Sulawesi, Papua, serta daerah pertambangan lainnya.

"Pengelolaan wilayah pertambangan perlu dilakukan dengan hati-hati dan harus mempertimbangkan keberpihakan kepada masyarakat adat. Pemetaan partisipatif bersama masyarakat adat diperlukan untuk menentukan dan memperjelas tata lahan di lokasi hutan adat, hutan lindung, lahan pertambangan, dan sebagainya," tambah Agus.

Dalam revisi Undang-Undang ini, masyarakat adat diakui sebagai subjek yang berperan dalam penerimaan manfaat dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

Pelestarian Hutan Lindung dan Konservasi
DPD juga mendorong agar hutan lindung dan hutan konservasi bebas dari kegiatan pertambangan, mengingat peranannya yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup.

"Hutan lindung adalah kawasan hutan dengan fungsi utama sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengendalian erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi besar ini mengharuskan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi untuk dilindungi, lestari, dan terbebas dari IUP. Tidak ada ruang untuk kegiatan pertambangan di dalamnya," tegas Graal.

BUMD Dapat Mengelola Tambang

Salah satu semangat DPD dalam pembahasan RUU ini adalah perlunya melibatkan daerah dalam pengelolaan tambang, termasuk BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan Pemerintah Daerah. BUMD, menurut DPD, dapat diberi kesempatan untuk mengelola tambang sebagai bentuk penegasan bahwa daerah tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan potensi pertambangan yang ada.

Selain itu, terkait dengan pelaksanaan reklamasi pascatambang, DPD meminta agar Pemerintah Daerah dilibatkan dalam proses tersebut. Norma ini akhirnya dimasukkan dalam pasal terkait pelaksanaan reklamasi pascatambang dalam RUU.

DPD Sebagai Peninjau

Untuk memastikan kepentingan daerah terakomodasi dengan baik, DPD berkomitmen untuk turut serta dalam meninjau jalannya aktivitas pertambangan. DPR, Pemerintah, dan DPD sepakat untuk melaksanakan tugas peninjauan dan pemantauan agar tujuan yang diharapkan dari undang-undang ini dapat tercapai.

DPD memberikan penghargaan dan apresiasi kepada Baleg DPR yang telah menjadi tuan rumah dalam membahas RUU ini dan mengakomodasi berbagai gagasan yang disampaikan oleh DPD. Semoga, dengan disahkannya RUU ini, tata kelola pertambangan di Indonesia, khususnya di sektor mineral dan batu bara, dapat semakin baik dan lebih mengedepankan kesejahteraan rakyat serta keberlanjutan lingkungan.

Penulis: Qal
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga