Lingkungan

Desak Mitigasi, Graal: Kerusakan Lingkungan di Maluku Utara Mendesak Diseriusi

Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si, anggota DPD RI dari Maluku Utara saat RDP, Rabu 14 Mei 2025 || Foto: Istimewa

Anggota DPD-RI asal Maluku Utara, Dr. R. Graal Taliawo, mendesak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk memperkuat mitigasi kerusakan lingkungan di Maluku Utara. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite II DPD-RI yang digelar di Gedung DPD-RI, Dr. Graal menyoroti sejumlah persoalan strategis, mulai dari regulasi kawasan hutan, pencemaran akibat tambang, hingga penurunan ekosistem mangrove yang memperparah krisis iklim di wilayah kepulauan tersebut.

RDP ini turut dihadiri oleh sejumlah lembaga seperti WALHI dan ICEL serta pejabat dari kedua kementerian terkait. Dalam forum tersebut, Dr. Graal menyampaikan bahwa kebijakan lingkungan nasional tidak boleh mengabaikan realitas lokal, terutama di daerah-daerah rawan ekologi seperti Maluku Utara.

Dorong Revisi Penetapan Kawasan Hutan

Salah satu sorotan utama Dr. Graal adalah perlunya revisi terhadap penetapan kawasan hutan yang diberlakukan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 302/Menhut-II/2013. “Sudah 12 tahun sejak aturan itu berlaku. Populasi bertambah, kebutuhan lahan pemukiman dan pertanian meningkat, sementara masyarakat di lapangan justru takut memanfaatkan lahan karena sering didatangi penegak hukum,” ungkapnya. Ia mencontohkan kondisi warga di Desa Pintatu (Halmahera Timur), Desa Bukit Durian, dan Desa Gosale (Tidore Kepulauan) yang mengalami keterbatasan akses lahan karena status kawasan hutan.

Tambang Cemari Teluk, Pengawasan Dinilai Lemah

Lebih lanjut, pria kelahiran Wayaua, Bacan ini mengkritisi minimnya pengawasan terhadap aktivitas tambang yang semakin masif di wilayah Maluku Utara. Ia menyebutkan bahwa pencemaran logam berat telah mencemari ekosistem laut di Teluk Obi, Teluk Weda, dan Teluk Buli. “Ikan-ikan di sana sudah tak layak konsumsi. Ini bukti bahwa pengawasan terhadap industri tambang sangat lemah,” ujarnya.

Menurutnya, lemahnya pengawasan disebabkan ketidakseimbangan antara luas wilayah tambang dan jumlah petugas di lapangan, termasuk Inspektur Tambang dari Kementerian ESDM maupun Polisi Kehutanan dari Kemenhut. “Kami bukan anti-investasi, tapi tanpa mitigasi, kerusakan ekologis ini akan terus meluas,” tegasnya.

Penurunan Mangrove, Ancaman Ketahanan Pangan

Dr. Graal juga menyoroti dampak perubahan iklim yang makin terasa di Maluku Utara, termasuk abrasi pesisir dan menurunnya populasi burung endemik seperti mamoa. “Ekspansi tambang selama 10 tahun terakhir berdampak langsung pada penurunan kualitas lingkungan. Penurunan hutan mangrove memperlemah daya serap karbon dan memperparah ancaman abrasi serta ketahanan pangan,” katanya.

Ia mendesak agar pemerintah menggalakkan reboisasi dan rehabilitasi mangrove secara serius di pesisir-pesisir Maluku Utara.

Respons Pemerintah: Revisi Kawasan dan Kolaborasi Lokal

Menanggapi hal tersebut, Dirjen Planologi Kehutanan, Ade Tri Ajikusumah, menyampaikan bahwa Kemenhut membuka ruang penyesuaian pemanfaatan kawasan hutan melalui dua skema: penggunaan tanpa mengubah fungsi dan perubahan peruntukan kawasan. “Pemda dapat mengusulkan ke Kemenhut jika memang ada kebutuhan lokal yang mendesak,” jelasnya.

Sementara itu, KLH melalui Dr. Ignatius Wahyu Marjaka mengakui bahwa persoalan penegakan hukum lingkungan di Maluku Utara sudah berlangsung lama, khususnya terkait pertambangan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta pembaruan data dan konsistensi dalam penegakan hukum.


Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab mitra halmaherapost.com melalui kerja sama yang telah disepakati bersama. Redaksi halmaherapost.com tidak terlibat dalam proses produksi.

Penulis: ADV
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga