Organisasi

Kekayaan Alam Bisa Jadi Kutukan, Ombudsman Desak Perbaikan Pelayanan Publik

Anggota Ombudsman RI, Dr. Hery Susanto, S.Pi., M.Si. Foto: Ist

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Dr. Hery Susanto, S.Pi., M.Si., menegaskan bahwa kekayaan sumber daya alam di daerah penghasil tambang bisa menjadi kutukan jika tidak diiringi dengan pelayanan publik yang adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat lokal.

Pernyataan tersebut disampaikannya saat menjadi Keynote Speaker dalam Dialog Publik bertema “Peningkatan Pelayanan Publik yang Inklusif dan Akuntabel di Masyarakat Lingkar Tambang”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Makulila di Room 1 Waterboom Ternate, Rabu, 5 November 2025.

Menurut Dr. Hery, fenomena yang dikenal sebagai “kutukan daerah penghasil tambang” masih menjadi ironi di Indonesia. Banyak wilayah yang kaya sumber daya alam justru menghadapi kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan kesenjangan sosial yang tajam.

“Kehadiran investasi tambang harus diiringi dengan pelayanan publik yang inklusif dan akuntabel. Negara wajib memastikan masyarakat lingkar tambang tidak menjadi penonton di tanahnya sendiri,” ujarnya di hadapan peserta dialog.

Ia menjelaskan, akar masalah ini terletak pada lemahnya tata kelola sumber daya alam, praktik korupsi, penambangan ilegal, dan ketimpangan pembagian keuntungan antara pusat dan daerah. Kondisi tersebut membuat masyarakat sekitar tambang tidak merasakan manfaat langsung dari kekayaan yang dihasilkan.

“Ketika pelayanan publik tidak berpihak kepada rakyat, maka kekayaan tambang tidak akan bermakna apa-apa. Yang kaya semakin kaya, sementara masyarakat di lingkar tambang tetap hidup dalam keterbatasan,” tambahnya.

Fenomena ini terjadi di banyak wilayah penghasil tambang di Indonesia. Di Papua, misalnya, tingkat kemiskinan masih tinggi meski wilayah tersebut kaya akan emas dan tembaga. Di Sulawesi Tengah, pusat industri nikel nasional, kesenjangan ekonomi tetap terasa. Di Maluku Utara, khususnya Halmahera, penambangan nikel menyebabkan deforestasi luas dan hilangnya ruang hidup masyarakat pesisir. Sementara di Kalimantan Timur, maraknya penambangan ilegal menimbulkan kerugian besar bagi negara serta kerusakan lingkungan yang serius.

Dr. Hery menilai, solusi dari kutukan sumber daya alam ini terletak pada reformasi tata kelola pelayanan publik. Pemerintah daerah didorong untuk memperkuat transparansi, meningkatkan akuntabilitas, dan melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap proses kebijakan di sektor sumber daya alam.

Selain itu, ia menekankan pentingnya hilirisasi industri agar daerah tidak hanya menjadi lokasi eksploitasi bahan mentah, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah bagi masyarakat lokal.

Kegiatan Dialog Publik ini menjadi ruang penting bagi para pemangku kepentingan untuk membangun kesepahaman dalam memperkuat tata kelola pelayanan publik yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan, khususnya di wilayah lingkar tambang seperti Maluku Utara.

“Pelayanan publik yang adil adalah kunci agar kekayaan sumber daya alam benar-benar menjadi berkah, bukan kutukan bagi masyarakat di daerah penghasil tambang,” pungkasnya.

Penulis: Qal
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga