Pemerintah

Inspektorat Morotai Dalami Dugaan Pungli Sewa Rusun RSUD Sejak 2021

Ketua Tim Audit Rusun, A. Halik. Foto: Maulud

Inspektorat Kabupaten Pulau Morotai, terus mendalami dugaan pungutan liar (pungli) biaya sewa rumah susun (rusun) yang dibebankan mantan Direktur RSUD Ir. Soekarno kepada dokter dan perawat sejak 2021.

Dugaan pungli ini diduga mencapai ratusan juta rupiah dan kini menjadi fokus audit khusus Inspektorat.

Ketua tim audit khusus Rusun RSUD, A. Halik, saat ditemui media di kantornya, Selasa, 2 Desember 2025, mengatakan pemeriksaan sementara masih berlangsung. Pihaknya tengah mengaudit seluruh data mulai 2021 hingga Maret 2025.

“Laporan rusun itu sementara masih dalam proses. Tadi pagi dokter Intan juga baru memasukkan datanya. Sebenarnya jangka waktu pengumpulan data sudah lewat, namun kami tetap akan mencocokkan data yang ia serahkan dengan data yang kami miliki,” ujar Halik.

Dijelaskan, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pungutan tersebut disebut sebagai uang pemeliharaan, bukan biaya sewa. Hal itu terjadi karena biaya pemeliharaan rusun tidak tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) RSUD. Hampir seluruh penghuni rusun telah dimintai keterangan oleh Inspektorat.

“Dari hasil BAP, ada pembayaran untuk jasa petugas keamanan, cleaning service, teknisi air, perbaikan lampu koridor, serta listrik. Rekapan dari dokter Intan menunjukkan total pungutan mencapai Rp490 juta. Namun, kami menemukan adanya selisih biaya antar kamar. Saat ini kami masih membandingkan seluruh data untuk menentukan nilai akhirnya,” jelasnya.

Inspektorat juga menyoroti landasan hukum pungutan tersebut. Disebutkan, memang pernah ada Surat Keputusan (SK) pengelola rusun pada 2019, namun SK itu hanya berlaku satu tahun dan tidak diperbarui sejak 2020.

“Kalau dikatakan ada payung hukum, memang ada, tapi itu hanya tahun 2019. Mulai 2020 sampai sekarang, SK itu tidak diperbarui. Padahal dalam SK tersebut sudah ditegaskan bahwa setiap tahun harus diperpanjang,” tegas Halik.

Selain tidak memiliki legalitas, pungutan tersebut juga dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan karena uang hasil pungutan tidak disetor ke kas daerah, melainkan ditransfer ke rekening pribadi dokter Intan.

“Saya sudah menanyakan kenapa memakai rekening pribadi. Alasannya karena prosesnya rumit. Tapi itu salah, semua harus sesuai aturan,” katanya.

Lebih lanjut, Inspektorat mengungkapkan bahwa rusun tersebut baru tercatat menjadi aset Pemerintah Daerah pada 2024 melalui dokumen NPHD. Artinya, sejak 2019 hingga 2023, aset tersebut belum sah menjadi milik Pemda, sehingga kebijakan pungutan selama periode itu dinilai tidak memiliki dasar kewenangan.

“Itu masuk unsur penyalahgunaan kewenangan. Selisih antara data yang kami peroleh dan data yang diberikan dokter Intan akan menjadi fokus pemeriksaan,” ujar Halik.

Dalam temuan sementara, para dokter disebut dibebankan biaya pemeliharaan sebesar Rp400 ribu per bulan, sedangkan perawat Rp300 ribu per bulan.

“Jadi alasannya karena biaya perawatan rusun tidak terakomodasi dalam DPA RSUD. Tapi pembebanan biaya tersebut tetap tidak sah tanpa payung hukum yang jelas,” pungkasnya.

Penulis: Maulud
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga