Pulau Tabailenge Terancam Abrasi, Pemda Morotai Diminta Segera Bertindak

Pulau Tabailenge, Desa Bere-bere, Kecamatan Morotai Utara. Foto : istimewa.

Pulau Tabailenge, salah satu destinasi wisata unggulan di wilayah utara Kabupaten Pulau Morotai, kini menghadapi ancaman serius akibat abrasi pantai.

Pulau mungil di bibir Samudra Pasifik ini dikenal memiliki pesona alam yang menawan, mulai dari hamparan pasir putih hingga keindahan terumbu karang bawah laut. Bahkan, selama ini menjadi salah satu daya tarik wisata bahari utama.

Namun, keindahan pulau tersebut kini kian tergerus oleh abrasi pantai. Kondisi ini menjadi perhatian masyarakat, pemuda setempat, hingga Pemerintah Daerah, mengingat Pulau Tabailenge juga memiliki nilai historis sebagai salah satu gerbang pulau dalam sejarah Morotai.

Rinto Mandea, salah satu tokoh pemuda Desa Berebere, mengungkapkan bahwa Pulau Tabailenge mengalami penyusutan yang sangat signifikan dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Ia mengaku hampir setiap hari mendatangi pulau tersebut untuk memastikan kondisinya tetap terjaga dari kerusakan maupun ulah tangan-tangan tidak bertanggung jawab.

“Sekitar tahun 2000, Pulau Tabailenge masih terlihat alami dan sangat indah. Panjang dan lingkar pulau saat itu mencapai sekitar 2.100 meter,” ungkap Rinto saat ditemui di Pulau Tabailenge, Selasa 16 Desember 2025.

Ia menjelaskan, abrasi pantai yang terus terjadi menyebabkan pasir putih dan pepohonan di tepi pantai perlahan menghilang. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena hantaman ombak yang kuat sulit diatasi.

Sebagai bentuk kepedulian, pemuda Desa Berebere membentuk komunitas Pecinta Alam Berebere pada tahun 2003 dan melakukan penanaman pohon untuk menahan laju abrasi. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan.

“Bangunan setapak dari beton yang dulu ada di pulau ini juga hancur seketika diterjang ombak,” tambah Rinto.

Rinto menambahkan, abrasi kembali terjadi pada tahun 2014, sehingga luas Pulau Tabailenge menyusut hingga tersisa sekitar 1.100 meter. Hingga tahun 2025 ini, panjang pulau diperkirakan hanya tersisa sekitar 400 meter dengan lebar sekitar 100 meter.

Selain abrasi, kerusakan ekosistem pulau juga dipicu oleh aktivitas penebangan pohon di masa lalu. Akibatnya, habitat satwa seperti burung maleo dan merpati putih turut terdampak.

“Dulu di sini banyak pohon bintangor yang menjadi tempat hidup satwa, seperti maleo dan merpati putih. Sekarang sudah banyak yang hilang,” ujarnya.

Rinto berharap Pemerintah Daerah dan seluruh pihak terkait dapat segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan Pulau Tabailenge dari kerusakan lebih lanjut.

“Jika Pulau Tabailenge tidak diperhatikan, maka keindahan dan kekayaan alamnya hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu kita,”

pungkasnya.

Penulis: Maulud
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga