Hari Ibu

Di antara Seragam Kerja dan Pelukan Anak

Penulis: dr. Megawati Abubakar, Sp.JP,

Praktisi Kesehatan, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dan Mahasiswa Pascasarjana Hukum Kesehatan.

Setiap pagi, jutaan ibu di Indonesia mengenakan dua peran sekaligus. Di satu sisi, seragam kerja yang rapi melambangkan tanggung jawab profesional, tuntutan ekonomi, dan target yang harus dipenuhi. Di sisi lain, ada pelukan anak yang tertinggal di ambang pintu rumah, penuh rindu dan keengganan untuk berpisah. Di antara keduanya, berdiri sosok ibu pekerja yang kerap luput dari perbincangan publik: bekerja tanpa henti, mengasuh tanpa jeda, dan berkorban tanpa banyak suara.

Rutinitas ini berulang setiap hari, seolah menjadi kewajaran yang tak lagi dipertanyakan. Padahal, di balik langkah cepat menuju tempat kerja, ada pergulatan emosional yang jarang terlihat. Ibu pekerja kerap memulai hari dengan perasaan terbelah antara tanggung jawab mencari nafkah dan naluri untuk selalu berada di sisi anak. Tidak sedikit yang berangkat dengan mata sembab, menahan rasa bersalah yang tak sempat diungkapkan.

Bagi sebagian orang, pilihan ibu untuk bekerja masih sering dipandang sebagai keputusan personal semata. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks. Banyak ibu bekerja bukan karena ambisi karier, melainkan karena kebutuhan hidup yang semakin mahal, pendidikan anak yang menuntut biaya besar, dan realitas ekonomi keluarga yang tak memberi banyak ruang untuk pilihan ideal. Dalam banyak kasus, penghasilan ibu justru menjadi penopang utama keberlangsungan rumah tangga.

Di balik jam kerja panjang dan perjalanan pulang yang melelahkan, ada rasa bersalah yang kerap dipikul sendirian, rasa bersalah karena tak selalu hadir di setiap momen tumbuh kembang anak. Rasa ini sering diperparah oleh standar sosial yang masih menempatkan pengasuhan sepenuhnya di pundak ibu, seolah waktu yang dihabiskan untuk bekerja adalah bentuk pengabaian, bukan pengorbanan.

Ironisnya, pengorbanan itu jarang tercatat. Ketika ibu bekerja dianggap “tidak sepenuhnya hadir” di rumah, kerja domestik yang tetap ia lakukan setelah pulang kantor pun nyaris tak terlihat. Setelah seragam kerja dilepas, ibu kembali mengenakan peran yang tak pernah tercantum dalam kontrak mana pun: pendengar cerita anak, perawat saat demam datang, pengatur kebutuhan rumah tangga, dan penguat emosi keluarga. Tidak ada lembur yang dibayar untuk peran ini, tidak pula penghargaan formal yang menyertainya.

Hari Ibu seharusnya menjadi momentum untuk melihat realitas ini secara lebih jujur. Perayaan bunga, ucapan manis, dan unggahan media sosial tak cukup jika tidak diiringi kesadaran bahwa ibu pekerja menghadapi beban ganda yang nyata. Mereka dituntut profesional di ruang publik, namun tetap diharapkan sempurna di ruang domestik. Ketika satu sisi sedikit goyah, kritik sering kali datang tanpa empati, seakan kelelahan bukan alasan yang bisa dimaklumi.

Di tingkat kebijakan, perjuangan sunyi ibu pekerja masih membutuhkan keberpihakan yang lebih konkret. Fasilitas penitipan anak yang terjangkau, jam kerja yang lebih fleksibel, cuti melahirkan yang layak, serta lingkungan kerja yang ramah keluarga bukanlah privilese, melainkan kebutuhan dasar. Tanpa dukungan sistemik, ibu pekerja akan terus dipaksa memilih antara produktivitas dan pengasuhan, dua hal yang seharusnya bisa berjalan beriringan.

Lebih dari itu, perubahan cara pandang masyarakat juga menjadi kunci. Menghargai ibu pekerja berarti berhenti mengukur kualitas keibuan hanya dari jumlah waktu di rumah, dan mulai melihat konteks perjuangan di balik setiap pilihan. Sebab cinta ibu tidak berkurang hanya karena ia bekerja; cinta itu justru menjelma dalam kerja keras yang sering tak terlihat.

Pada akhirnya, seragam kerja dan pelukan anak bukanlah dua dunia yang saling meniadakan. Keduanya adalah bagian dari perjuangan yang sama: memastikan masa depan keluarga tetap bertumbuh. Ibu pekerja tidak sedang mengurangi cintanya kepada anak, justru ia sedang memperluas bentuk pengorbanannya.

Maka, pada Hari Ibu ini, sudah saatnya kita berhenti menghakimi pilihan dan mulai menghargai perjuangan. Di balik langkah cepat menuju kantor dan pelukan hangat sepulang kerja, ada keteguhan yang pantas mendapat pengakuan. Perjuangan sunyi ibu pekerja bukan untuk dikasihani, melainkan untuk dipahami dan didukung oleh keluarga, masyarakat, dan negara.

Baca Juga