Proyek
Akademisi Sebut Proyek Talud di Morotai Langgar Prosedur Lingkungan

Proyek pembangunan talud di Kabupaten Pulau Morotai, disorot kalangan akademisi karena dinilai menyalahi prosedur perizinan lingkungan. Muhammad Fahmi, akademisi teknik lingkungan dari Universitas Pasifik (Unipas) Morotai, menilai penerbitan dokumen lingkungan dalam proyek-proyek tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurutnya, dokumen lingkungan yang digunakan dalam sejumlah proyek pembangunan talud seharusnya berupa Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), bukan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL). Penggunaan SPPL, katanya, mengabaikan tahapan normatif dalam proses penapisan persetujuan lingkungan.
“Proyek pembangunan talud dengan panjang di bawah 500 meter sekalipun tetap wajib memiliki dokumen UKL-UPL, bukan SPPL,” tegas Muhammad Fahmi saat diwawancarai, Minggu, 4 Agustus 2025.
Ia menjelaskan bahwa ketentuan tersebut telah diatur secara eksplisit dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 4 Tahun 2021, yang memuat daftar kegiatan wajib Amdal, UKL-UPL, atau SPPL berdasarkan skala dan dampak lingkungan.
“Permen ini menegaskan bahwa proyek infrastruktur berskala kecil pun tetap tunduk pada syarat legalitas lingkungan, sesuai skala dampaknya terhadap ekosistem sekitar,” jelasnya.
Ia juga mengkritik sikap Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pulau Morotai yang merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 sebagai dasar penerbitan SPPL. Menurutnya, PP tersebut tidak relevan dalam konteks pembangunan fisik seperti talud.
“PP yang digunakan oleh Kadis DLH itu bukan rujukan yang tepat. Dasar yang seharusnya dipakai adalah Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021, yang menjabarkan secara rinci jenis kegiatan yang wajib memiliki dokumen lingkungan,” tegasnya.
Ia menilai bahwa interpretasi keliru terhadap peraturan tersebut dapat menyesatkan publik. Ia mencontohkan, PP 22 Tahun 2021 lebih mengatur penanggulangan kedaruratan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), remediasi, dan rehabilitasi lahan, bukan proyek konstruksi pasca-bencana seperti talud.
“Jangan sampai publik dibodohi dengan narasi yang keliru. Mengabaikan Permen tersebut jelas menyalahi mekanisme perizinan lingkungan yang berlaku secara nasional,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dalam setiap proyek pembangunan di Morotai, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta. Hal ini, katanya, untuk menghindari risiko kerusakan lingkungan dan menjaga keselamatan masyarakat.
“Permen Nomor 4 Tahun 2021 adalah dasar hukum teknis yang sah dan wajib dipatuhi oleh semua pihak, termasuk pemerintah daerah,” pungkasnya.
Komentar