Kabar Desa

Tiga Desa Produsen Minyak Kelapa di Halteng akan Dikembangkan

Weda,Hpost -Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kabupaten Halmahera Tengah, akan terus menyisir desa-desa lain di Halteng untuk pengembangan produksi minyak kelapa.

Saat ini pengembangan minyak kelapa di Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), gencar dikembangkan di Desa Masure melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) dalam waktu dekat ini akan menambah tiga desa binaan yakni Desa Kotalo Kecamatan Weda Timur, Desa Wailegi dan Desa Baka Jaya Kecamatan Patani. Dorongan ini agar semua desa di Halteng dapat melakukan pengolahan minyak kelapa berbasis masyarakat lewat Dana Desa (DD).

DPMD melalui Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, Subhan Somola menyampaikan, untuk desa-desa lain yang memiliki kebun kelapa harus bergerak, karena konsumsi minyak goreng Maluku Utara hingga kina masih bergantung pasokannya dari Manado, berbahan dasar kelapa sawit.

"Anehnya kita, menjual kopra kemudian untuk pangan kita, kita membeli lagi minyak sawit untuk konsumsi setiap hari, ini kan pola ekonomi yang aneh, yang kita tidak sadari terutama petani kelapa, mereka menjerit soal harga kopra tetapi tidak ada solusi yang di tawarkan," jelasnya kepada Halmaherapost.com ini, Kamis 10 Oktober 2019.

Pengembangan minyak kelapa di desa dimaksudkan untuk melepaskan jeratan petani kelapa terhadap tengkulak kelapa. Sebab, tu menjadi salah satu alasan yang membuat petani kelapa itu tidak pernah sejahtera dari kelapa. Dengak kata lain, kopra hanya memperkaya pembeli bukan petani.

"Kondisi seperti ini tidak pernah diperhatikan secara serius oleh Dinas Pertanian, Dinas Perindagkop dan UKM. Kondisi petani selama berabad-abad tidak pernah sejahtera, bahkan ada juga yang mewarisi utang turunan dari orang tuanya.Orang tuanya berhutang ke tengkulak kemudian orang tuanya meninggal, maka anaknya akan terbebani utang orang tuanya," cetusnya.

Subhan mengatakan, pola tersebut menciptakan ketergantungan petani kelapa terhadap tengkulak. Oleh karena itu, Bumdes Masure mencoba membangun sebuah model pengembangan kelapa berbasis masyarakat yang mungkin bisa diadopsi oleh semua orang di Malut, terutama pemerintah dan desa yang memiliki banyak sekali uang saat ini.

Menurut Subhan, pengembangan BUMDes di sektor minyak kelapa jika terkelola dengan baik maka kebutuhan pangan konsumsi masyarakat lokal di daerah dimana usaha itu dikembangkan sebenarnya cukup besar.

"Kalau dikelola serius, kita tidak perlu bicara soal pasar mau jual ke Ternate, mau jual ke pusat kota itu tidak perlu," katanya.

Subhan menjelaskan, hitungannya sederhananya adalah bagaimana kita menghitung populasi penduduk yang ada desa tersebut, kebutuhan hariannya untuk satu rumah. Jika rata-rata kebutuhan minyak goreng saja dalam satu bulan itu sekitar 15 botol atau kalau di upiahkan itu bisa sekitar Rp.150 ribu, kalau dikalikan dengan jumlah rumah populasi penduduk, misalnya dalam hitungan rumah maka kalau ada 100 rumah berarti kita butuh sekitar 1500 botol perbulan.

Subhan menambahkan, secara ekonomi, minyak kelapa lebih menguntungkan karena 600ml saja harganya hanya Rp 10.000. Sementara, harga minyak kelapa di pasaran Rp 20.000 per liter

"Sumber pendapatan berkelanjutan yg nilai jual dan bisa diatur oleh mereka sendiri. Pasar ini yang sebenarnya kita sasar," pintanya.

Menurutnya lagi, Desa Masure itu jadi model yang bisa diadopsi dalam program inovasi desa, karena ketika pihaknya memotivasi dengan contoh yang sudah ada, pilot project yang sudah dibuat bersama dengan Pemdes Masure dan BUMDesnya.

"Mereka sangat antusias, secara pribadi saya siap mendampingi terus sampai usaha itu bisa berhasil karena tanpa melalui pendampingan yang berkelanjutan, saya yakin usaha tidak akan berjalan lancar karena banyak sekali program pemerintah yang hanya memberikan bantuan peralatan, uang dll, tanpa didampingi," katanya.

Subhan menilai selama ini usaha yang coba digalakan oleh beberapa BUMDes tidak berkembang dan hanya bersifat sementara. Hal itu disinyalir karena manajamen yang buruk.

Ia mencontohkan, seperti upaya deversikasi lewat pengolahan kopra putih. Menurutnya,

"Kalau manajemennya baik, usahanya pasti baik dan tidak perlu membuang terlalu banyak anggaran untuk menata usaha masyarakat, yang penting kita mau datang berinteraksi, dan mau bersedia mengajarkan sesuatu itu tidak bosan-bosan," tutupnya.

Penulis: Eno
Editor: Red

Baca Juga