Media dan Iklan

Covid-19 dan Ancaman Iklan Media Baru

Ghalim Umabaihi: Peminat Kajian Media dan Jurnalisme, Mahasiswa Pascasrajana Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Industri media tak selalu menggantungkan diri dengan iklan. Film, musik, dan buku adalah buktiknya, tak bergantung pada iklan. Juga koran, bisa hidup tanpa iklan selama dua hingga tiga abad. Demikian pun majalah. Pertama kali terbit pada 1922, majalah Reader’s Digest hidup tanpa iklan, hanya mengandalkan pelanggan. TV publik, seperti BBC, juga tidak menayangkan iklan.

Namun, harus diakui, di samping pemasukan lain, pada umumnya pendapatan utama media bersumber dari iklan. Karena itu, bisnis media kerap juga dikenal dengan “bisnis dua pendapatan”. Dalam menjaga pendapatannya, perusahaan media harus mengelola lebih dari satu kelompok konsumen, yaitu konsumen (yang membaca, mendengar serta menonton) produk media, dan para pemasang iklan sebagai sumber pendapatan utama.

Menurut Usman  (2009), hubungan iklan dengan media sudah terjadi sejak medio 1625, ketika terbit buku berita (newsbook), The Weekly News, yang berisi iklan. Iklan mulai dikenal di Amerika. Ben Franklin, orang yang pertama kali menjual ruang untuk iklan di koran Pennsylvania Gazette. Iklan sebagai industri mulai terbentuk secara formal pada akhir abad ke-19, ketika banyak agensi iklan berdiri. Sejak itu pula, iklan memainkan peran yang amat penting dalam industri media. Banyak industri media yang bergantung pada iklan.

Di Indonesia, sejarah periklanan bisa lihat dalam beberapa fase, yakni mulai awal periklanan Indonesia (1744-1930); melewati masa depresi ekonomi (1930-1942); iklan propaganda (1942-1945); masa kemerdekaan (1945-1949); uang dan iklan memburu barang (1950-1972); periklanan Indonesia modern (1966-1972); masa ketika Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia yang terbentuk setelah 1972; hingga kini, iklan di Indonesia lebih berkembang dan kreatif.

Sebagaimana kata Faizal Noor (2010), iklan  adalah bagian dari kegiatan pemasaran, yang meliputi penyampaian pesan atau kesan melalui media. Penyampaian itu, juga dilakukan dengan cara-cara tertentu untuk memengaruhi konsumen, sehingga mereka tertarik dengan barang dan jasa yang diiklankan.

Karena itu, dalam ekonomi media, iklan merupakan industri pendukung. Industri periklanan bekerja dalam pasar dengan struktur kompetisi monopolistik. Ada banyak perusahaan atau agensi iklan, tetapi mereka berbeda dalam hal reputasi, tingkat pelayanan, lokasi, kapabilitas, dan ukuran. Ada perbedaan tarif atau harga, meski struktur tarif atau harga itu relatif sama dengan industri lain ketika dibandingkan dengan industri sejenis.

Setidaknya, agensi iklan memiliki dua target. Pertama, adalah khalayak konsumen yang menjadi sasaran iklan melalui berbagai tipe media. Kedua, perusahaan barang dan jasa yang menggunakan iklan untuk menjalin komunikasi dengan konsumen yang mengkonsumsi barang dan jasa mereka, termasuk menjaring konsumen potensial untuk mengkonsumsi barang dan jasa.

Itu sebabnya, perusahaan banyak mengeluarkan anggaran untuk beriklan, baik itu lewat agensi iklan, maupun langsung berhubungan dengan media. Di Amerika Serikat, pada 2006,  pengiklan menghabiskan lebih dari 292 miliar dolar untuk menjangkau publik Amerika, dan 604 miliar dolar untuk publik dunia. Jumlah tersebut tidak termasuk miliaran dolar untuk perencanaan, produksi, dan distribusi iklan itu.

Sementara di Indonesia, belanja iklan pada Januari sampai September 2008 mencapai hampir Rp 31,5 miliar, atau naik 2 persen dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai Rp 25,8 miliar. Iklan yang dipasang di pelbagai media di Indonesia terdiri atas berbagai kategori produk, mulai lotion pembersih wajah hingga pemerintah dan partai politik. Perlengkapan komunikasi atau layanan komunikasi menempati urutan pertama dalam belanja iklan, disusul rokok.

Namun saat itu, iklan masih menumpuk di media mainstream, seperti media cetak (koran, majalah) dan media elektronik (radio dan televisi). Kini, satu dekade terakhir terjadi pergeseran pemasangan iklan yang signifikan dari media mainstream ke media baru (online dan media sosial).

Bahkan, menurut Sinclair (2016), kehadiran internet dapat mengubah makna media periklanan.  Sebab itu, perlu dilihat dan membedakan antara media periklanan lama atau “warisan” dari televisi, radio, surat kabar dan majalah, bioskop, dan outdoor, dengan media periklanan baru dari internet. Karena ada sejumlah alasan: Pertama, iklan media tradisional masih menghitung pemirsa dengan melihat berapa banyak orang menonton program televisi atau membeli koran dan majalah. Kemudian, mengasumsikan berdasarkan angka-angka itu, bahwa pemirsa atau pembaca telah melihat konten iklan. Dan, alasan itu tidak selalu valid.

Sedangkan, periklanan digital menghitung pemirsa berdasarkan berapa banyak orang yang mengklik iklan, yang mengindikasikan setidaknya beberapa keterlibatan minimal. Tingkat respons interaktif dari iklan digital ini, dan data tentang pengguna yang dapat dihasilkannya, sangat menarik bagi pengiklan.

Kedua, ketika media lama menyampaikan pesan penjualan kepada calon konsumen, pesan itu harus memotivasi konsumen untuk merespons di lain waktu dan di tempat yang berbeda. Misalnya, setelah melihat iklan televisi, konsumen harus pergi ke toko untuk membeli produk, jika pesan ajakan untuk bertindak adalah untuk memenuhi tujuannya.

Dengan internet, konsumen dapat merespons pesan iklan di sana-sini, seperti mengklik untuk menambahkan produk ke keranjang belanja virtual dan langsung membayar online dengan kartu kredit.

Ringkasnya, selain menghilangkan penundaan jarak dalam transaksi, internet juga sebagai media interaktif yang telah memantapkan dirinya menjadi situs transaksi dalam dirinya sendiri.

Di sisi lain, pemasaran kontemporer dan platform media telah memungkinkan merek tertentu untuk mencapai jangkauan global dalam beberapa dekade. Fenomena yang paling mencolok belakangan adalah peningkatan yang relatif tiba-tiba dari perusahaan teknologi informasi dan komunikasi.

Google, misalnya, sebagai perusahaan publik pada tahun 2004, telah mengubah iklan seperti yang sebelumnya dikenal. Google telah mencapai posisinya sebagai salah satu media global yang paling berharga karena dominasinya memberi ruang iklan di internet. Tapi, bukan jenis iklan yang dikenal dan menyebar ke seluruh halaman surat kabar dan majalah.

Alih-alih, Google memimpin pasar dalam iklan pencarian, sebuah model baru iklan yang memanfaatkan perilaku pencarian sebagai bentuk intrinsik dan unsur interaksi di internet. Pencarian adalah fungsi mendasar yang semua orang perlu menggunakan internet, seperti layanan yang ditawarkan dari mesin pencari utama, terutama Google, Bing, dan Yahoo.

Karena itu, tidak heran, dalam empat tahun terakhir, pendapatan Google meningkat drastis. Pada 2019, melalui iklan, Google memperoleh pendapatan sebesar 134,8 miliar dolar. Ditambah dengan pendapatan dari sumber lain, seperti langganan YouTube Musik dan penjualan perangkat keras, pendapatan Google mencapai 160,7 miliar dolar. Katadata.co.id mencatat (5/2/2020), pendapatan itu meningkat sekitar 18 persen  dari tahun sebelumnya.

Namun, tidak ada yang menduga, wabah Covid-19 yang melanda dunia tiba-tiba, sejak Desember 2019 (bermula dari Cina) hingga kini, berdampak besar terhadap jatah pemasangan iklan di media baru (new media). Karena itu, pendapatan media menurun drastis.

Seperti dikabarkan Variety.com (2020), Google yang baru saja menduduki puncak pendapatan, menurun 9,5 persen (-97,1 miliar dolar). Media lain yang mendapat dampak penurunan adalah  Apple, turun 6,3% (-85,4 miliar dolar), dan Facebook sebesar 9 persen (-52,2 miliar dolar). Amazon, satu-satunya perusahaan teknologi besar dengan komponen media yang mengalami sedikit penurunan, yakni menurun 4,8 persen (-47 miliar dolar).

Saat Covid-19 menyapu dunia, industri periklanan mengawasi dengan cermat apa dampak penyebaran pada pengeluaran iklan di tengah ekonomi yang bergejolak, sehingga mengubah kebiasaan konsumen, dan rantai pasokan.

Para ahli mengatakan, jika penyebaran Covid-19 berlanjut secara signifikan, akan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran iklan di bidang permainan mobile atau layanan streaming. Di sisi lain, penularan Covid yang menghendaki konsumen akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, menyebabkan pengeluaran iklan berkurang di bidang-bidang, seperti otomotif atau iklan di luar rumah. Tentu saja, industri iklan membaca kecenderungan konsumen serta memilih media yang tepat, sehingga pesan mereka sampai ke khalayak yang ditargetkan.

Sementara, bila menengok pendapatan iklan media baru (online) di Indonesia, bisa saja stabil. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan kategori iklan, seperti pembersih wajah pemerintah dan partai politik, perlengkapan komunikasi atau layanan komunikasi, dan rokok. Jika menurun, barangkali terpengaruh dengan penundaan tahapan Pemilihan Kepala Daerah serentak. Sebab, penundaan ini membikin beberapa kepala daerah dan partai politik menunda beriklan.

Tapi di sisi lain, ditutupi dengan iklan layanan pencegahan Covid-19 dari pemerintah dan perusahaan swasta, termasuk penambahan pendapatan melalui rutinitas Konferensi Pers, atau mungkin advertorial.

Iklan di media online bisa saja menurun dalam waktu dekat, ketika perusahaan-perusaan swasta mulai merumahkan karyawan. Karena dengan begitu, produksi perusaan tidak lagi normal, dan tentu berefek pada pemasangan iklan promosi produk. Namun, hingga kini, perusahaan di Indonesia belum memberi signal untuk merumahkan karyawan atau pekerja non-administrasi.

Memang kini, tak hanya media dan industri iklan, semua sektor nyaris lumpuh disapu Covid-19. Dan, tak ada yang tersisah, selain hanya berupaya bangkit dan bertahan.

Baca Juga