Opini

Mimpi Dunia ‘Nol Emisi’, Haruskah Mengorbankan Timur Indonesia?

Penghujung Mei 2021, negara G-7 meliputi Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang dan Uni Eropa, kembali menggelar Konferensi Tingkat Tinggi di London, Inggris.

Tahun 2020 lalu, terjadwalkan akan dibuat di Amerika Serikat. Sayangnya agenda itu tertunda lantaran krisis kesehatan. Pertemuan bergengsi ini sangat dinantikan. Barangkali sebagai upaya dalam memadukan kebijakan global.

Agenda ini merupakan rutinitas tahunan. Diawali sejak tahun 1975 yang pertama kali digagas oleh dua orang Menteri Keuangan, Valery Giscard D'Estaing dari Prancis dan Helmut Schmidt dari Jerman, terkait isu krisis minyak global.

Pertemuan negara-negara dengan status penyandang ekonomi maju ini, akan tercatat pada sejarah peradaban manusia modern.

Ragam isu yang disodorkan untuk dikuliti dengan pengecualian, bahwa di antara mereka tak saling mengganggu satu sama lain agar kerajaan bisnis tetap terawat.

Di antaranya, menyodorkan isu 'emisi karbon' untuk dirundingkan, dengan ekpektasi mimpi mengatasi kenaikkan mencolok suhu bumi yang tercatat 1,5 derajat celsius terhitung pasca masa pra-industri.

Kesepakatan secara bulat menyusul dengan alasan menjegal dampak perubahan iklim yang paling merusak sepanjang negara modern. Kemudian, bermufakat menghentikan pendanaan Internasional untuk proyek batu bara.

Dengan satu suara, bakal meneruskan hasilnya ke China sebagai negara yang disebut masih mendukung proyek batu bara. Selain itu, akan diserahkan di PBB pada November nanti.

Transisinya, dengan mempercepat penyebaran kendaraan nol emisi serta melakukan dekarbonisasi sektor tenaga listrik pada tahun 2030-an. Diketahui, kendaraan nol emisi mengandalkan baterei berkekuatan tinggi dan itu terbuat dari hasil produksi turunan nikel.

Mei 2021 lalu, nilai tukar batu bara per-ton $ 87,74 di bursa pasar global. Sementara, Nikel di London Metal Exchange (LME) nilai tukar $ 16.363 per-metrik ton.

Kini, Juni 2021, trend nilai tukar batu bara melonjak $ 100,33 per-ton. Itu artinya, permintaan dunia atas batu bara sebagai bahan untuk listrik masih tinggi. Tentu ini yang menjadi ironi.

Jenis kendaraan ini tak sekadar isu belaka. Mengikuti serangkaian upaya untuk mewujudkan dengan menyasar ke negara-negara yang diproteksi memiliki bahan mentahnya.

Indonesia menjadi salah satu target. Dengan persediaan cadangan nikel yang mencapai 21 juta ton, jumlah itu menempatkan Indonesia pada posisi wahid.

Menyusul Filipina, Rusia, New Koledonia, Australia, Kanada, China, Brasil, Cuba dan Amerika Serikat yang termasuk dalam 10 besar negara yang memiliki cadangan produksi nikel.

Data Badan Geologi dari Kementerian ESDM menyatakan, dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, tahun 2019 Indonesia telah memproduksi 800.000 ton, mengungguli Filipina 420.000 ton, Rusia 270.000 ton dan Kaledonia Baru 220.000 ton.

Sementara, Mining Intellegence merilis 10 perusahaan nikel produksi terbesar dunia di tahun 2019,  PT Aneka Tambang (ANTAM) di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, menepati peringkat ke 6.

Dengan klasifikasi nikel laterit dengan kadar yang relatif tinggi dan kandungan logam nikel mencapai 2 juta ton berkadar 1,7 persen dengan status eksplorasi lanjut.

Kementrian ESDM pun mengungkapkan, 3 wilayah berdasarkan sebaran kandungan nikel terbanyak adalah Sulawesi Tenggara 32 persen, Maluku Utara 27 persen, dan Sulawesi Tengah 26 persen.

Maluku Utara, selain nikel di Haltim, dalam laporan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), terdapat Industri nikel yang berkembang di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan Weda Halmahera Tengah.

Untuk di Obi, usaha dikontrol oleh Harita Group yang mengantongi izin pertambangan seluas 5.524 hektar.

Melalui dua anak perusahaan, PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa, saat ini Harita tengah menggenjot membangun pabrik komponen baterai berbasis nikel, bekerja sama dengan perusahaan asal Tiongkok, Zhejiang Lygend Investment Co.

Sejak tahun 2018, Harita telah mengoperasikan smelter feronikel bersama perusahaan Tiongkok lainnya, yakni Xinxing Ductile Iron Pipes Co.

Beriringan dengan itu, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang berlokasi di Weda, Halmahera Tengah, dengan status pembangunan masih berjalan. Tapi kabarnya, sudah dalam tahap pembakaran Ore.

Dengan demikian, proyek ini direncanakan menjadi kawasan industri yang akan mengerjakan proses smelting mineral dan memproduksi komponen baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik secara terintegrasi.

PT IWIP menjadi 1 dari 8 kawasan industri prioritas nasional dalam RPJMN 2020 – 2024. Proyek ini memulai proses konstruksi pada tahun 2018, di tengah meningkatnya perhatian dunia terhadap keberlangsungan lingkungan.

International Energy Agency (IEA) dalam laporan AEER mencatat, peningkatan penjualan mobil listrik secara drastis meningkatkan selama 10 tahun terakhir.

Itu artinya, jika peningkatan permintaan tinggi, maka eksploitasi nikel akan terus berlangsung, dengan kerusakan alam yang terjadi secara masif, terutama di wilayah-wilayah penyedia bahan.

----------

Julfikar Sangaji

(Jurnalis Halmaherapost.com)

Penulis:
Editor: Nurkholis Lamaau

Baca Juga