Opini

Bukan Negara Bila Tak Merusak Hutan

Julfikar Sangaji

Oleh: Julfikar Sangaji
(Pegiat di Perkumpulan TARUPA Halmahera)


KETERANCAMAN lingkungan hidup adalah nyata, namun negara seolah-olah menutup mata. Sedari pusatnya sampai ke daerahnya, lagak mereka seperti tak mau ambil pusing meski itu disadari. Para elit yang bertindak sebagai pemandu utama jalannya negara ialah dominan orang-orang tua culas yang bekerja tidak becus, bila itu atas nama kepentingan menyeluruh.

Para elit ini merupakan kaki tangan Oligarki. Dalam berbagai laporan menyebutkan Oligarki di Indonesia, bersifat ekstraktif, investasi sektor Sumber Daya Alam menjadi tulang punggung, maka sudah pastinya tidak dapat lepas malah makin kokoh berkelindan dengan kekuasaan. Karena menjadi salah satu penyokong dalam politik elektoral dengan izin dan ijonnya.

Oleh karena itu, elit selalu bersiasat untuk hengkang dari tanggungjawab dalam mewujudkan keadilan sosial, termasuk keadilan ekologis. Teruntuk generasi sekarang dan akan datang, agar terbebas dari bencana ekologis serta berbagai fakta kerusakan lingkungan.

Tetapi idealnya tak semulus harapan, lantaran dominan isi kepala elit hanya berkutat pada pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan dengan surplus nilai, tapi malah kebablasan lantaran lebih beruntung ialah segelintir orang itu: ‘oligarki'.

Para elit barangkali, ialah orang-orang yang bukan orang baik, mereka tak banyak pikir namun bertindak cegat bila dikomando relasi [oligarki], yang sudah pasti bias fatalnya; membombardir hutan, mencemari air, mengotori udara dan membuat banjir datang. Tapi semua itu bagaikan bukan sebuah masalah penting, namun bila sudah terjadi elit selalu melontarkan alasaan terkecoh bahwa “itu bencana alam tidak ada sangkut paut dengan kebijakan”.

Baca: Pentingnya Visualisasi Data dalam Pemberitaan Covid-19

Peran mereka itu simpel hanya dengan main ketuk setelah itu main serahkan. Seperti kasus Omnibus Law yang kini dikenal sebagai Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan penggamblangan tarikan kebenaran antar jalinan hubungan terang mereka. Undang-undang itu lantas berbuntut panjang dengan melahirkan beragam peraturan terbaru yang diteken presiden.

Padahal gegap-gempita berbagai kalangan menolak dikarenakan produk inisiatif eksekutif itu yang selanjutnya disahkan Legislatif mengandung pesan dalam “asalkan investor bahagia – apa pun akan dilakukan”. Dalam undang-undang itu juga tersirat makna pengabaian atas lingkungan hidup (alam).

Dengan demikian, regulasi mendorong negara untuk tak tanggung-tanggung dalam merebut tanah-tanah rakyat kemudian diserahkan ke investor, lahan-lahan yang dicaplok tanpa ditelisik lebih dalam bahwa yang direnggut adalah sumber-sumber agraria rakyat yang diperjuangkan untuk kelangsungan hidup generasi.

Setelah usia direbut, maka sudah barang tentu rakyat akan kehilangan sumber produksi seiring itu pertahanan hidup menjadi runtuh. Maka, untuk kembali menyambung hidup mau tak mau harus bekerja sebagai buruh di tanah sendiri. Fenomena bringas ini paling kerap terjadi di dewasa ini.

Nasib Hutan

Kemalangan pun terjadi seiring dengan nasib hijau hutan, yang kini menjadi sasaran atas regulasi karbitan itu. Keberadaan kelestariannya berada di ujung tanduk. Padahal Indonesia diketahui memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sedangkan luas hutan termasuk terbesar kedua setelah hutan Amazon.

Tapi kehijauannya bikin menggoda, sudah sedari dulu sejak jaman rezim Orde Baru, Soeharto berkuasa, sudah disasar, dengan berbasis pengelolaan hutan tersentral tanpa melibatkan masyarakat adat dan lokal dalam ambisi menyongsong tercapainya Repelita (rencana pembangunan lima tahun). Hasil hutan termasuk menjadi penyumbang pembangunan yang tersentral itu, melalui perdagangan ekspor.

Tiga tahun sebelum Soeharto tumbang, berdasarkan laporan yang dikeluarkan Forest Watch Indonesia bertajuk Sejarah Penjarahan Hutan Nasional, menyebutkan paling sedikit ada 586 konsesi Hak Penguasaan Hutan dengan luas keseluruhan mencapai 63 juta hektare atau lebih dari separuh dari luas hutan tetap, yang dieksploitasi oleh perusahaan swasta dan perusahaan pelat merah.

Sementara perjalanan berlanjut sejak periode 2001-2018 , Global Forest Watch mencatat kehilangan tutupan pohon atau deforestasi di Indonesia sebanyak 25,6 juta hektar dan pada periode 2019-2020 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali mencatat kehilangan tutupan hutan sebanyak 115,5 ribu hektar.

Baca Opini: Mimpi Dunia 'Nol Emisi' Haruskah Mengorbankan Timur Indonesia?

Namun untuk diakui laju pembukaan lahan untuk tambang, kebun sawit, pembalakan liar, hingga perusahaan kayu, merupakan faktor paling utama terjadinya deforestasi. Sebagimana yang diketahui hutan dalam artiannya adalah hamparan lahan yang di dominasi pohon-pohon, yang kini semakin nyata tergerus dari artiannya.

Adalah kehilangan hutan merupakan kehilangan pohon. Hilangnya pohon dapat mengacaukan sistem relasi alamiah yang sedari dulu terjalin erat. Pohon memiliki andil yang amat besar, mulai dari menangkal jatuhnya air hujan, mengikat air didalam tanah melalui ikatan akar pohon agar tidak mengalir bebas di atas kulit tanah, begitu pun dengan fauna yang hidup menempat sebagai rumah.

Selian itu, tanah akan terikat oleh akar sebagai benteng penahan agar tak terhempas sebagai erosi, dan dedaunan pohon yang tak kenal lelah bekerja menyerap lepasan karbon dioksida [CO2] yang dilepaskan manusia dan mesin-mesin, kemudian digantikan dengan pasokan oksigen [O2], serta dapat mengontrol cuaca. Dan masih banyak lagi.

Namun semua itu akan meninggalkan cerita, bahwa hutan berperan sebagai relasi kesatuan atas keseimbangan dan kehidupan. Dengan demikian, apakah hutan dapat terjaga kelestariannya? Tanyakan ini kepada Negara!

(Tulisan ini merupakan refleksi HUT RI ke-76).

Penulis:

Baca Juga