Warisan Budaya
Nasib Tenun Koloncucu, Ternate di Tangan Anak Cucu
Ternate, Hpost – Tenun Koloncucu itu kini terdengar lagi. Tenun khas Ternate, Maluku Utara ini tampil di sebuah workshop yang digelar orang-orang muda dari sejumlah komunitas, pada Senin 11 Oktober 2021, di Coworking Space Jarkot.
Spesialnya, dalam workshop ini tampak hadir generasi keempat pegiat tenun Koloncucu, Mama Hj Sehat Lamasila, yang turut berbagi seputar tenun tersebut.
Mama Sehat bercerita, keterampilan menenunnya turun-temurun dari keluarganya, terutama dari sang nenek.
Sepeninggal generasi nenek, praktis jumlah perajin tenun semakin menurun. Hingga sekarang, jumlah penenun tenun Koloncucu tinggal lima orang.
Keluarga mereka yang sebelumnya dikenal sebagai keluarga perajin tenun Koloncucu, kini hanya tinggal Mama Sehat, sebagai keturunan keempat.
Baca Juga:
Dalam forum itu, ia berharap ada orang muda yang mau datang untuk minta diajari menenun.
Dulu, memang ada sekitar 20 orang yang ia ajari menenun. Namun, berjalannya waktu, orang-orang itu seperti kehilangan motivasi untuk menggeluti profesi ini.
Meski begitu, tradisi keluarga mereka sebagai perajin tenun Koloncucu tampaknya masih ada harapan. Karena keterampilan ini juga turun ke keponakannya.
"Bikin tenun ini harus didasari rasa cinta, kalau tidak ada cinta, orang akan bosan duduk berlama-lama untuk buat sebuah kain tenun,” tutur Mama Sehat, mengutip pesan nenek.
“Tugas saya buat tenun saja, sekali waktu orang akan tahu tenun Koloncucu dan akan berkunjung ke sini (Kampung Koloncucu). Jika ada yang berminat belajar saya akan ajari secara gratis,” sambungnya.
Mama Sehat berkisa penjualan tenun ini memang pernah sangat laris pada medio 1990an. Namun makin ke sini, tenun khas Ternate yang lahir karena perjumpaan budaya Ternate-Buton ini sedikit mengalami penurunan.
Walaupun selalu terjual habis, namun itu dikarenakan faktor produksi yang juga menurun. Usianya pun sudah semakin renta. Hal itu yang memengaruhi jumlah produksi tenun.
Perempuan 57 tahun ini tidak lagi mampu membikin beberapa tenun dalam waktu sebulan. Sekarang ia hanya bisa duduk selama dua jam untuk menenun.
Pada dekade tahun 1990an, harga satu kain tenun masih berkisar Rp 200 ribuan per kain. Semakin berjalannya waktu, harganya naik berkali-kali lipat. Kini satu lembar kain tenun ditaksir Rp 1-2 jutaan.
Semangat Orang Muda
Dalam kesempatan itu, inisiator workshop, Zandry Aldrin, mengatakan acara ini adalah bagian dari semangat teman-teman komunitas memperkuat narasi nilai kelokalan daerah.
"Torang (kami) mau mengetuk keikhlasan dan kebanggaan anak-anak muda akan daerahnya,” ucap Ketua Jarkot Ternate ini.
Ia menjelaskan, Workshop Tenun Koloncucu Ternate ini adalah salah satu dari 11 workshop dalam rangkaian gelaran “Bumi Rempah”. Semua workshop itu dikelola oleh orang-orang muda.
Zandri menambahkan, mengenai tenun Koloncucu, mereka mulai dengan mengeksplore sejarah, motif, dan nilai-nilai dari karya lokal tersebut.
Selanjutnya akan diindentifikasi jejaring-jejaring untuk berkolaborasi mengangkat tenun Koloncucu lebih dikenal luas.
"Penelusuran visual juga akan dilakukan, dan itu dimulai dengan mengajak komunitas-komunitas yang bidangnya spesifik sesuai dengan target tersebut," jelasnya.
Baginya, tenun Koloncucu bukan hanya sebatas komoditi atau barang, tetapi lebih kepada nilai lokal dan identitas. Mengingat tenun ini lahir dalam suatu perjumpaan antar budaya dengan sejarah yang panjang.
“Selama torang tidak menganggap ini serius, tidak ada regenerasi, maka jangan sedih kalau nanti torang hanya tahu tenun ini dari cerita-cerita tanpa tahu bentuknya,” tukasnya.
Sekadar diketahui, dalam workhsop ini hadir juga Sofyan Daud, anggota DPRD Provinsi Malut, Sukarno M. Adam, dari Buku Suba Institut, Bams Konoras, praktisi tenun Juanga Culture, dan Tatty Apprilyana, inisiator KAMI LAUT INISIATIVE, dan founder Kampung Aridatu
Komentar