Cendekia
Lelaki Asal Maluku yang Kulitnya Dipamerkan di Inggris
Sekitar abad ke-18, di dekat tangga Anatomy School of Oxford University, Inggris, terdapat benda aneh. Lokasinya tak jauh dari peta Tiongkok yang diambil oleh seorang pengacara, John Selden. Benda itu adalah potongan kulit bertato yang diawetkan dari seorang budak yang dibeli di Mindanao, Filipina.
Potongan kulit itu adalah milik Jeoly yang dikisahkan lahir di Miangas, pulau paling utara Indonesia—tidak jauh dari Mindanao, Filipina. Bagaimana kisahnya bisa mencapai Inggris adalah bukti bagaimana 'penasarannya' orang Eropa memandang secara rasialis di masa lalu terhadap dunia di luar mereka.
Keberadaan Jeoly di Inggris dicatat oleh orientalis Inggris Thomas Hyde (1636-1703) di paruh akhir abad ke-17, yang menyebutnya sebagai seorang pangeran, putra dari Raja Gilolo (Jailolo). Catatan itu berjudul An account of the famous Prince Giolo, son of the King of Gilolo, now in England with an account of his life, parentage, and his strange and wonderful adventures, the manner of his being brought for England.
Awalnya Jeoly didapatkan William Dampier (1651-1715), seorang bajak laut yang pertama kali berhasil menjelajahi Papua dan telah mengitari dunia tiga kali. Dampier mendapatkan anak lelaki itu ketika kapalnya bersandar di Fort St. George, India pada 1690. Seseorang yang disebutnya sebagai Tuan Moody asal Mindanao itulah yang menawarkan Jeoly kepada Dampier. Singkatnya, Dampier membeli dua orang budak, yang salah satunya adalah Jeoly, dengan harga 60 dolar.
Seiring waktu, Jeoly dan Dampier sering diajak berbicara lewat bahasa Melayu dan memiliki ikatan emosional walaupun hubungan mereka adalah tuan kapal dan budak belian. Tak tahu bagaimana kabar selanjutnya tentang ibunya, yang jelas ia sakit dan Dampier merawatnya dengan baik.
Dampier dalam memornya A new voyage round the world menulis "Setelah beberapa waktu mereka berdua jatuh sakit dan, meskipun saya merawat mereka layaknya mereka adalah saudara laki-laki dan perempuan saya." Kemudian, ibunya meninggal dan Dampier terus berusaha menghibur Jeoly yang sulit dihibur karena lebih memilih membungkus diri dengan pakaian ibunya.
Baca Juga:
Cerita di Balik Pengusulan Baabullah sebagai Pahlawan Nasional
Tiba di London, ia dijual oleh Dampier. Hubungan persaudaraan mereka harus disingkirkan demi bisnis karena Dampier sedang kekurangan uang.
"Saya karena kekurangan uang, dibujuklah saya untuk menjual bagian penting dari hidup saya, yakni dia, dan secara bertahap semuanya," kenang Dampier. "Setelah ini saya mendengar dia dibawa untuk ditampilkan sebagai pajangan."
Di Inggris, Jeoly dilafalkan sebagai Giolo. Poster yang menunjukkan pameran tentang keberadaannya bagai hewan sirkus disebar sebagai "Pangeran Bercat yang Terkenal" dan disimpan di sebuah tempat bernama Blue Boar Inn di Inggris. Dia digambarkan sebagai sosok budak bercawat yang murung, kesepian, dan pendiam, dengan gambar-gambar aneh di kulitnya.
Ilustrator John Savage pun menggambarkan sosok Giolo lengkap dengan tato yang sangat detail. Tatonya berbentuk garis-garis simetris pada dadanya dengan banyak pola persegi empat, lengkungan yang mengitari ketiak, dan di lengan bawahnya terdapat garis zig-zag. Pola yang menyerupai gelang berturut-turut dari siku hingga pergelangan tangan. Sementara di bagian bagian betis dan pangkal pahanya terdapat tato ombak dan sirip besar.
Tato adalah cara memperindah diri dalam kebudayaan Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Filipina, dan kepulauan Pasifik. Tato, menurut kebudayaan Visaya di Filipina, diyakini memiliki kekuatan spiritual dan kualitas magis yang dapat memperkuat diri serta perlindungan. Berbagai budaya di Asia Tenggara membedakan pola-pola tato sebagai penggambaran status sosial sebagai identitas dirinya.
Hyde mencatat, sejak ketibaannya di Inggris pada 1692, tato Giolo adalah gambaran hidup di dunia bagian lain. Tatonya dikatakan melindungi dirinya dari bisa ular dan racun. Ketenaran Giolo bahkan mendapat perhatian oleh Raja Inggris ke istana.
Selain itu dalam tulisannya, Hyde mengumpulkan berbagai cerita tentang Giolo semasa di Asia Tenggara. Meski demikian, cerita tentang kehidupannya mungkin meragukan. Pasalnya, Hyde mengumpulkan ragam cerita yang didapatkan, termasuk orang Belanda anonim yang mengaku bisa "bahasa Celebean" (mungkin salah satu bahasa daerah Sulawesi) untuk berbicara dengannya.
Tak lama, Jeoly meninggal karena cacar di Oxford. Pihak universtas memutuskan untuk mengawetkan kulitnya demi ilmu pengetahuan dan digantung bagai lembaran kertas dengan tinta di samping peta Tiongkok milik John Selden. Kini, kulit itu telah tiada karena lenyap dimakan usia.
Artikel ini dilansir Halmaherapost dari National Geographig Indonesia.
Komentar