Opini
“Uma Ya Fai Gareha”, Riwayatmu Kini
Penulis: Rasman Buamona
MELIHAT foto rumah ini mengingatkan kami akan masa masih kecil di tahun 90an. Kota Sanana sangat ramai dan meriah, bila telah tiba perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Banyak lomba yang diadakan saat itu. Kami sering mengikuti lomba gerak jalan dan finish-nya pasti di depan "Uma Ya Fai Gareha" atau di depan benteng Sanana.
Uma Ya Fai Gareha adalah Rumah Adat Masyarakat Sula dari empat suku, yakni Fagud, Fatce, Faahu dan Mangon. Di rumah adat ini, para tetua dan pemimpin kami ini sering berkumpul dan bermusyawarah. Mereka adalah perwakilan dari masing-masing suku yang bertugas menjaga tatanan adat dan kebudayaan di Kepulauan Sula.
Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI pernah juga pernah datang di Rumah Adat Ya Fai Gareha, sebelum melanjutkan kegiatan peletakan batu pertama pembangunan Sekolah Guru Bawah (SGB) dan berpidato di hadapan ratusan masyarakat Sula setelah selesai meletakan karangan bunga di tugu Proklamasi 17 Agustus 1945 di depan benteng Sanana.
Baca:
Berbeda dengan generasi kami. Generasi hari ini tidak akan lagi melihat dan mengetahui kedudukan Uma Ya Fai Gareha. Rumah Adat ini telah digusur Ahmad Hidayat Mus (AHM) pada akhir tahun 2007 di periode pertamanya menjadi Bupati Kepulauan Sula. Bukan hanya Rumah Adat, gedung MTQ yang bersejarah dan gereja milik keluarga kami yang Nasrani juga digusur.
Sehingga lewat tulisan ini, kami hendak mengingatkan diri kami dan generasi Setelah 2007 tentang tujuan dari digusurnya Uma Ya Fai Gareha.
Tujuan Penggusuran
"Untuk mengalahkan bangsa yang besar, tidak dengan mengirimkan pasukan perang, tetapi dengan cara menghapus pengetahuan mereka atas kejayaan para leluhurnya, maka mereka akan hancur dengan sendirinya." (Sun Tzu).
Pertama, AHM tidak akan bisa menjalankan pemerintahannya secara sewenang-wenang terhadap masyarakat Sula, jika Uma Ya Fai Gareha masih berdiri kokoh. Di Uma Ya Fai Gareha, para tetua dan pemimpin masih punya kuasa mengontrol, memberikan nasehat, menghadang dan bisa mengubah kebijakan yang keliru dan salah dari AHM selaku kepala daerah saat itu. Untuk tidak ada lagi kontrol dari para tetua terhadap pemerintahannya, maka Uma Ya Fai Gareha harus digusur, dilenyapkan keberadaanya agar para tetua tidak lagi memiliki tempat untuk berkumpul dan bermusyawarah di sana.
Kedua, setelah menggusur rumah adat, gedung MTQ dan Gereja, AHM langsung membangun Istana Daerah (ISDA). Jika para tetua hendak berkumpul di ISDA haruslah mendapat persetujuan dari AHM. Alhasil, AHM berhasil membalikkan posisi kekuasan menjadi tunggal miliknya. AHM sebagai kepala daerah dan sekaligus sebagai pemimpin tidak langsung atas para tetua empat suku. Dengan berhasil digusurnya Uma Ya Fai Gareha, maka AHM berhasil melucuti dan mengambil alih kewenangan dan kekuasaan tetua empat suku dalam menjaga adat dan kebudayaan di Kepulauan Sula.
Ketiga. Ratusan tahun yang akan datang, generasi Sula tidak akan lagi punya ingatan dan ikatan atas sejarah dan masa lalunya dengan rumah adat Ya Fai Gareha. Ingatan dan ikatannya akan lebih melekat pada ISDA. Dan karena yang diingat adalah ISDA, maka sudah barang tentu yang diingat pula adalah AHM. Inilah tujuannya. AHM sudah menghapus pengetahuan akan jejak kejayaan leluhur dari generasi Sula tentang rumah adat dan sejarahnya. Generasi Sula tidak akan lagi memiliki tempat untuk berkumpul dan bermusyawarah, sehingga generasi Sula tidak boleh bersatu. Harus terap tercerai berai.
TERAKHIR
Uma Ya Fai Gareha sudah digusur, sudah dilenyapkan. Apakah ia juga harus lenyap dari pengetahuan dan ingatan kita? Jangan, sanohi. Kita akan hidup seperti ternak, bila benar-benar lenyap dari pengetahuan dan ingatan kita. Kita akan mudah diadu domba. Dan mudah pula dicerai-beraikan.
Mari pulang, sanohi. Mari membicarakan dan menjaga jejak sejarah leluhur kita yang agung itu. Dari Wai Goi Yofa sampai ke Marunda, dari Waka sampai ke pesisir Larantuka, dan dari Lifmatolah hingga Madinah. PANAG PON: SABETA DARI SAGU.
Komentar