Kekerasan Anak
Maluku Utara: Di Balik Label Provinsi Paling Bahagia, Anak-Anak Terancam Kekerasan
Label sebagai "Provinsi Paling Bahagia di Indonesia" yang disandang Maluku Utara, sepertinya belum mencerminkan kenyataan bagi anak-anak, terutama anak perempuan. Kehidupan anak-anak di provinsi ini, yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi, masih sangat rentan terhadap kekerasan, terutama dari lingkungan keluarga terdekat.
Sebagaimana yang ditulis Halmaherapost.com, pada 22 September 2022, Penduduk Maluku Utara memiliki indeks kebahagiaan tertinggi dengan skor 76,34 poin menurut data BPS. Meskipun jika dilihat dari segi ekonomi, Maluku Utara salah satu yang memiliki tingkat PDRB terendah di tanah air. Hal itu tentu berdampak pada kemiskinan, termasuk tingginya tingkat kekerasan.
Dalam tiga tahun terakhir, yaitu periode 2021-2023, kekerasan terhadap anak di Maluku Utara mengalami peningkatan signifikan, dengan kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan yang paling dominan.
Data dari Simponi yang dihimpun Halmaherapost menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari 167 kasus pada 2021 menjadi 237 kasus pada 2023. Secara keseluruhan, tercatat 640 kasus kekerasan terhadap anak dalam periode tersebut, dengan anak perempuan sebagai korban terbanyak, yakni 604 kasus.
Peningkatan kasus kekerasan anak paling signifikan terjadi di Kota Ternate, dengan total 110 anak menjadi korban antara 2021-2023. Rinciannya adalah 23 anak pada 2021, 34 anak pada 2022, dan meningkat menjadi 53 anak pada 2023. Di Kabupaten Halmahera Utara, total 99 anak menjadi korban dalam periode yang sama, dengan angka tertinggi tercatat pada 2022 yaitu 40 anak, sementara pada 2023 menurun menjadi 28 anak.
Kabupaten Halmahera Barat mencatat 88 anak korban kekerasan selama periode 2021-2023, dengan angka tertinggi pada 2022 yaitu 33 anak, dan menurun menjadi 29 anak pada 2023. Kabupaten Kepulauan Sula melaporkan 83 anak sebagai korban kekerasan, dengan penurunan jumlah korban dari 26 anak pada 2021 menjadi 27 anak pada 2023. Kabupaten Halmahera Selatan mencatat 75 anak korban, dengan tren penurunan dari 28 anak pada 2022 menjadi 27 anak pada 2023.
Angka Kekerasaan Terhadap Anak di Maluku Utara Tiga Tahun Terakhir
Peningkatan kasus meskipun tidak signifikan juga terjadi di Kabupaten Halmahera Timur, dengan total 73 anak korban selama periode 2021-2023. Kota Tidore Kepulauan mengalami peningkatan jumlah korban dengan total 38 anak selama periode tersebut.
Kabupaten Pulau Morotai mencatat 33 anak sebagai korban kekerasan, dengan tren kenaikan dari 6 anak pada 2021 menjadi 14 anak pada 2023. Di Pulau Taliabu, terdapat 19 anak korban kekerasan selama periode 2021-2023, dengan angka tetap sebanyak 5 anak pada 2023.
Jenis kekerasan yang paling sering dialami anak adalah kekerasan seksual, dengan total 483 kasus, diikuti oleh kekerasan fisik sebanyak 118 kasus. Kasus trafficking, kekerasan psikis, dan eksploitasi tercatat lebih sedikit.
Baca juga:
Daerah Tajir Langganan Banjir, Alarm Bahaya Hutan Halmahera!
Ini Alasan Mengapa Orang Maluku Utara Paling Bahagia di Indonesia
Paling Bahagia, Tapi Kekerasan di Maluku Utara Justru Meningkat
Direktur LBH PPA Pulau Morotai, Tawajja Ramzia Djangoan, mengungkapkan bahwa di Pulau Morotai, hingga 24 kasus tercatat pada tahun 2024, namun banyak kasus yang belum terungkap karena tantangan geografis dan kemiskinan ekstrem.
"Faktor utama penyebab peningkatan ini termasuk budaya patriarki, kemiskinan, pernikahan dini, dan pelaku yang seringkali adalah orang yang dikenal korban, memanfaatkan relasi kekuasaan. Kurangnya pengetahuan orang tua, norma agama, dan pergaulan bebas juga berkontribusi," kata Tawajja kepada Halmaherapost.com pada Jumat, 9 Agustus 2024.
LBH PPA Morotai merespons kondisi tersebut dengan mendirikan pos pengaduan dan sekolah perempuan, serta memberikan pendidikan tentang kesehatan reproduksi, sosialisasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan advokasi di tingkat desa.
Upaya tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan kekerasan seksual melalui edukasi kepada individu, keluarga, dan komunitas, serta penguatan peraturan desa. "Keberhasilan intervensi ini memerlukan koordinasi yang lebih baik antara lembaga dan perhatian khusus terhadap daerah perbatasan dan terpencil," tandas Tawajja.
Menanggapi masalah tersebut, Kepala Uptd PP dan PA Provinsi, Imam Ruamat Abd Kader, mengatakan bahwa Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DPPPA) telah mengimplementasikan berbagai strategi untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak antara 2021-2023.
Imam bilang, strategi ini mencakup pencegahan, intervensi, pelaporan, dan kerja sama lintas lembaga. DPPPA menggunakan aplikasi Simfoni PPA untuk pencatatan dan pelaporan kasus kekerasan dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat. Selain itu, DPPPA juga menyediakan nomor hotline SAPA 129 dan layanan pengaduan via WhatsApp.
Dalam penanganan pelaku kekerasan, DPPPA memastikan proses hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Penguatan program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di kabupaten/kota, serta penguatan forum anak sebagai pelopor dan pelapor, menjadi bagian dari upaya ini. Program ini diklaim telah mencegah perkawinan anak serta telah menunjukkan dampak positif dengan penurunan angka perkawinan anak
”DPPPA juga berkoordinasi dengan kepolisian dan lembaga terkait lainnya untuk menangani pelaku serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui aktivis PATBM untuk membangun kesadaran tentang pentingnya perlindungan anak,” kata Imam.
Anggota Aktif HIMPSI Wilayah Malut, Setyani Alfinuha, S.Psi., M.Psi., menekankan bahwa peningkatan kasus kekerasan anak, khususnya kekerasan seksual, disebabkan oleh faktor keluarga yang kurang kondusif, masalah sosial-ekonomi, budaya yang mendukung kekerasan, dan kondisi lingkungan yang tidak aman.
"Kekerasan seksual adalah jenis kekerasan yang paling dominan dan memiliki dampak serius pada perkembangan psikologis anak, seperti trauma, gangguan depresi, kecemasan, serta masalah kepercayaan dan harga diri," kata Setyani.
Teknologi dan media sosial memiliki dampak positif dan negatif, sehingga edukasi digital, pengawasan ketat, dan kolaborasi antar pihak sangat penting. Pelatihan bagi orang tua, pendidik, dan tenaga kesehatan juga esensial untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak.
Intervensi yang efektif meliputi program edukasi tentang pengasuhan positif, layanan dukungan psikologis, dan perlindungan hukum yang kuat.
”Kolaborasi lintas sektor dan kebijakan perlu ditingkatkan untuk melindungi anak-anak, dengan peran kunci dari lingkungan sosial seperti keluarga, sekolah, dan komunitas,” tandasnya.
Komentar