Anti Kritik dan Gejala Kekuasaan

Anti Kritik dan Gejala Kekuasaan

Nurkholis Lamaau : Wartawan Gatra, Kru Jalamalut, Editor Cermat Patner Kumparan & Ombudsman Internal Halmaherapost.com

Saya tak menyangka, kritikan terhadap pemberitaan kasus Aprima Tampubolon, warga Kelurahan Dokiri, yang diduga dikeroyok sejumlah oknum ASN Kota Tidore Kepulauan (Tikep) beberapa waktu lalu, berbuah laporan polisi. Jalur hukum itu diambil oleh seorang oknum jurnalis berinisial MDM.

Berita berjudul 'Wakil Walikota Tikep Minta Suaka ke DPP PDI-P' itu, saya tanggapi dengan kalimat: "berita ini garap/lucu." MDM yang barangkali merasa heran atas tanggapan itu, bertanya balik, apanya yang lucu?.

Saya menanggapi begini: "rentetan kasus hingga isi berita. Framing (pembingkaian peristiwa) seperti bukan seorang wartawan yang menulis, tapi lebih mirip seorang penasehat kepala daerah (yang menulis).

Sebab bagaimana mungkin aspek hukum dibawa pada ranah politik. Artinya, indikasinya kasus ini bernuansa politik. Karena itu yang di-framing-kan. Itu yang dibentuk media.

Padahal, porsi ketua partai berbeda dengan peristiwa hukum. Tapi apa boleh buat, pada akhirnya, publik harus menyaksikan bagaimana intervensi partai pada sebuah kasus hukum yang dinarasikan sang pewarta.

Pada aspek normatif, pun bagi saya sulit diterima dengan akal sehat. Sebab setega itukah pemimpin kita terhadap rakyatnya, yang kala itu dikeroyok di hadapan anaknya yang masih belia.

Saya lalu mempertanyakan hasil cctv, bagaimana tanggapan pengacara Aprima, bagaimana dengan status tersangkanya, apa isi status Aprima di media sosial facebook yang menurut 'penulis berita', menyudutkan wakil wali kota yang tak disebutkan dalam isi berita.

Di akhir kritikan, saya memberikan tanggapan penutup begini: "wartawan kalau cuma bisa menjadi pembela penguasa itu begini. Sedikit-sedikit memperkarakan orang ke ranah hukum."

Lalu apa motif saya mengkritik pemberitaan itu?.

Sederhana. Karena saya melihat, jika model kontrol pers seperti ini, tentu pertanda "lampu merah" bagi demokrasi kita. Sebab kebenaran kalah dari kemanfaatan berita yang ukurannya adalah: tidak terganggunya kepentingan politik.

Sayangnya, bukan rasionalisasi yang saya peroleh. Tapi laporan polisi pada Selasa 7 Januari sekira pukul 19.00 WIT dengan poin: Pencemaran Nama Baik, Penghinaan, dan Tuduhan Tidak Berdasar lewat media sosial grub WhatsApp Mitra Pers, yang saya kira pada grub itu, semua bebas mengekspersikan gagasannya, sepanjang masih dalam koridor yang diniscahyakan dalam sistem demokrasi yang kita anut.

Sepertinya, sebagian dari kita menunjukkan gejala anti kritik. Tentu ini menunjukan betapa gersangnya kewarasan kita, khususnya bagi sebagian pihak yang kebetulan sedang dekat dengan kekuasaan. Ironisnya, beberapa dari kita lantas kembali mengenalkan istilah "kritik yang membangun."

Istilah yang dimaksudkan agar seseorang tidak hanya bisa mengkritik, tapi juga memberikan solusi atau jalan keluar. Mengkritik tapi tidak dengan sentimen. Apalagi kemudian merusak.

Problemnya, apakah ada kritik yang membangun?.

Dalam esufimisme (menghaluskan bahasa), istilah kritik membangun pertama kali dikenalkan oleh rezim Orde Baru. Istilah itu sengaja dirancang lalu dipopulerkan. Tidak saja menghaluskan bahasa untuk tidak menyebutkan mengacaukan, tapi justru menunjukkan, bahwa rezim saat itu tidak anti-kritik. Sebab bahasa bisa merumuskan kekuasaan, dan kekuasaan bisa merumuskan bahasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa kritik adalah kecaman atau tanggapan. Kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Dengan penjelasan itu, maka jelas bahwa kritik sama sekali tidak berhubungan dengan membangun, yang oleh kamus dijelaskan sebagai bangkit berdiri, naik, mendirikan, atau membayar denda, ganti rugi.

Artinya, kritik harus tajam-menghujam, menguliti apa yang tersurat, menohok yang tersirat, menjelujur hingga ke jantung persoalan. Karena itu, kritik tak mungkin disertai dengan bumbu-bumbu pujian.

Kritik tidak identik dengan membangun, dan seharusnya memang tak perlu digabung-gabungkan seperti itu. Penggabungannya hanya akan menyebabkan kerancuan. Tidak bermakna apa-apa. Karena keduanya memiliki pengertian yang bertolak belakang.

Kritik yang membangun sudah seharusnya menjadi "membangun dengan kritik." Kritik jelas merusak atau berbahaya. Sedangkan membangun adalah sesuatu yang seharusnya mendapat pujian.

Sebab seseorang yang dikritik, baik secara personal maupun jabatannya, bukanlah objek yang pasif dan harus mempertahankan diri. Mereka adalah subjek yang siap dan seharusnya memperbaiki diri dengan kritik apa pun, sebagai akibat dari jabatan publik yang melekat pada mereka.

Dengan demikian, setiap kritik mestinya akan diterima dengan lapang dada dan disikapi dengan memperbaiki apa pun yang dilakukan pada saat itu. Karena kritik adalah cara pandang yang berbeda atas suatu persoalan, tapi kritik mestinya tak perlu disikapi sebagai pernyataan atau sikap yang bermusuhan.

Penyikapan atas kritik yang berlebihan, hanya akan menjadikan Kita kerdil dan tak dapat menghindar dari kemungkinan paling buruk, selain tentu tak akan memperkaya sudut pandang menghadapi setiap persoalan yang ada.

Sebab eufimisme bukanlah gejala linguistik, tapi gejala kekuasaan. Itulah mengapa, istilah itu masih popular dan kemudian membekas hingga sekarang. Atau saat ini, kita yang seharusnya menjadi warga atau jurnalis yang merdeka -- sedang merindukan -- rezim itu?.

Jika iya, maka penjara sangat terhormat bagi saya. Dan barangkali MDM lupa, bahwa gagasan dan suara tak bisa dipenjara

Penulis: Nurkholis Laamau
Editor: Red

Baca Juga