Opini
Plague Inc., Virus Wuhan dan Pemerintah Kita

Bulan Januari ketika banjir Jakarta baru saja surut dan heboh ala negara +62 yang pungkas usai pimpinan kerajaan Agung Sejagat ditangkap, saya membaca sebuah berita dari Daily Mail yang berjudul ‘Deadly Coronavirus is MUCH more contagious than first feared’ yang isinya mengatakan bahwa virus yang saat ini bernama Covid-19 itu menyimpan bahaya yang sangat mengerikan, terlebih ketika ia baru saja menyebar di luar kota asalnya, virus ini yang belum banyak dikenali benar-benar berpotensi untuk memberikan ancaman secara global.
Mulai saat itu, berita mengenai virus tersebut memulai eskalasi-nya di setiap media massa seluruh penjuru planet. Beberapa teman di kampus tidak berhenti membagikan informasi-informasi paling update mengenai wabah tersebut, termasuk menyarankan saya untuk memainkan sebuah game berbasis android dan IOS yang bernama Plague Inc. Permainan ini secara kontekstual memiliki alur permainan di mana kita akan berperan sebagai virus yang harus menebar ancaman dalam skala global, kemenangan dalam permainan akan tercapai apabila kita berhasil menginfeksi seluruh manusia di muka bumi dan memusnahkan riwayat spesiesnya.
Dalam memainkan permainan ini, kita yang berperan sebagai virus perlu menerapkan strategi yang tepat, bagaimana bentuk mutasi kita, melalui cara apa kita menyebar, kapan waktu yang tepat untuk meningkatkan simptom dan juga lethality rate (kematian), hingga menentukan di mana negara pertama yang perlu kita infeksi. Uniknya, beberapa kali saya menggunakan Indonesia sebagai negara awal di mana saya muncul, virus yang saya ciptakan justru berkembang lambat dan lebih mudah ditemukan obatnya (cure). Saya bingung, algoritma apa yang dipakai oleh pengembang game dalam memprogram sistem dan fasilitas kesehatan Indonesia, sehingga di dalam game justru negara ini sangat susah menjadi awal mula tumbuhnya virus yang saya ciptakan.
Singkat cerita, gameplay Plague Inc. menggambarkan bagaimana sebuah virus memulai kehidupannya, bermutasi, menjadi sulit dikenali, dan menebar ancaman bagi kelangsungan spesies manusia. Kecuali bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kuat ditaklukan di dalam game, keseluruhan alur permainan ini menampilkan apa yang sangat mirip dengan fakta saat ini. Di mana virus muncul dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia, menebar ketakutan massal dan ancaman yang nyata.
Virus Wuhan yang menurut banyak teori konspirasi diciptakan di laboratorium di mana telunjuk mengarah ke China dan Amerika Serikat sebagai bagian dari agenda perang dagangnya, secara faktual saat ini telah menyebar ke hampir seluruh negara di dunia. Pada detik ini telah menginfeksi hingga 398.760 populasi dan sudah menyebabkan kematian bagi 17.259 orang, angka ini masih akan terus meningkat dalam waktu-waktu ke depan, sebab vaksin dan obat yang menangkalnya belum ditemukan. Banyak yang bilang ini adalah awal mula kepunahan spesies, banyak juga yang bilang jika ini adalah awal mula perang dunia III, untuk pandangan pertama saya sedikit setuju, sebab sebelum para ilmuwan menemukan vaksin dan obatnya maka virus ini akan terus menebar ancaman, namun untuk pandangan kedua soal perang dunia III, saya tidak sepakat, tulisan ini tidak saya tujukan untuk mengangkat teori konspirasi sebagai argumentasi dasar.
Selama periode Januari hingga akhir Februari, dunia dipenuhi oleh hiruk-pikuk pemberitaan mengenai wabah ini, pemerintah China menutup total beberapa kota-kota besar mereka dan mengarantina puluhan juta penduduknya, anehnya ancaman ini tidak disikapi dengan cermat oleh beberapa negara lain di dunia. Penerbangan dari dan ke negara China yang menjadi episentrum wabah terus dibiarkan berlangsung, maka mulailah virus ini menyebar ke berbagai penjuru dunia, persis seperti skenario di dalam game Plague Inc. Mungkin momen yang membuat dunia benar-benar tercekat adalah ketika liga sepakbola Italia yang harus dihentikan di pertengahan musim karena wabah benar-benar mengancam negara Italia. Infeksi demi infeksi mengakumulasi angka-angka, kematian demi kematian dilaporkan, maka liga harus segera dihentikan, tetapi dengan catatan, Juventus harus kembali ke puncak klasemen terlebih dahulu. Tetapi kesedihan paling jenaka bukanlah datang dari fans Inter Milan atau fans Liverpool yang harus kehilangan momentum menjuarai turnamen setelah sekian lama mengimpikannya, namun pada kesiapan negara-negara dalam menghadapi wabah ini.
Jika Italia yang terlambat merespon ancaman sehingga menyebabkan ribuan warganya terutama para lansia meninggal dunia, terlebih Italia dikenal sebagai negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia, maka tidak demikian dengan Indonesia. Negara yang selama dua bulan berada di ‘depan pintu’ wabah yang justru masih santai dan berencana menggelontorkan dana puluhan milyar guna menggaji para influencer agar berkampanye bagi dunia pariwisata, mendatangkan lebih banyak para wisatawan, serta tidak segera menutup keran kedatangan tenaga kerja asing, terutama dari China. Ini jika tidak cukup dikategorikan sebagai tindakan nekat, maka bisa lebih kasar disebut sebagai bodoh. Seolah-olah bahwa para pekerja medis yang dilengkapi dengan jas hujan sudah cukup untuk dijadikan garda terdepan dalam memerangi wabah ini.
Propaganda-propaganda usang terus saja digaungkan tanpa langkah-langkah kongkrit yang menciptakan ketenangan, pemerintah dalam situasi ini malah lebih banyak menunjukkan kelihaian dalam berpolitik dibanding kemampuan untuk melindungi rakyatnya dari ancaman wabah. Para buzzer dalam masa-masa ini seperti berhimpun, menyatukan kekuatan untuk menyerang gubernur DKI Jakarta atau mengkampanyekan gerakan ‘orang sehat tidak usah menggunakan masker’ hanya karena rakyat mengeluhkan kelangkaan barang tersebut yang bulan-bulan sebelumnya ditimbun oleh para brengsek yang tidak berperikemanusiaan. Fenomena ini kemudian membawa publik pada arena perdebatan politik dengan isu yang ironis; ancaman terhadap semua.
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah menunjukkan itikad baik dan nampaknya sedang berupaya untuk membereskan kealpaan mereka dalam menghadapi wabah, beberapa upaya yang terstruktur sudah mulai dilakukan, meskipun terlambat tetapi ‘its much better’ daripada tidak sama sekali. Dimulai dari Universitas Indonesia, kampus di mana saya menempuh studi di kota Depok, imbauan untuk menghentikan aktivitas perkuliahan di kelas digaungkan, para mahasiswa diarahkan untuk mengikuti program kelas jarak jauh, langkah ini kemudian diikuti oleh kampus-kampus lain di seluruh tanah air, seiring dengan himbauan pemerintah untuk bekerja, beribadah dan belajar dari rumah.
Beberapa hari yang lalu, ketika saya berada di dalam MRT yang suram dan kosong tidak sebagaimana biasa, beberapa orang teman meminta saya untuk segera pulang kampung, terlebih kota Depok yang menjadi awal mula virus menyebar di Indonesia sangat tidak kondusif, kondisi mencekam juga saya jumpai manakala saya harus datang ke kampus mengurus beberapa berkas untuk keperluan tesis, karena nyaris tidak ada orang di sepanjang jalan dalam kampus. Situasi makin menakutkan manakala muncul informasi tentang meninggalnya beberapa orang dosen akibat terinfeksi virus ini.
Walau demikian, saya berusaha untuk tidak terjebak pada ketakutan tersebut, saya sadar jika datang dari tempat yang menjadi episentrum wabah tidak menutup kemungkinan jika saya juga membawa wabah yang justru akan menimbulkan ancaman bagi orang-orang di kampung. Karena itu saya menuliskan beberapa keresahan di media sosial dan menautkannya kepada beberapa pejabat publik di daerah dengan harapan agar mendapatkan jawaban apakah daerah menyediakan fasilitas isolasi untuk para pelajar seperti saya dan yang lainnya, persis seperti yang pemerintah Indonesia lakukan bagi para pelajar dari Wuhan. Beberapa pejabat merespon keresahan saya dan berjanji untuk meneruskannya kepada yang lebih berwenang.
Beberapa hari kemudian, saya mendapati informasi dari media online bahwa pemerintah kabupaten saya menyediakan ruang isolasi di rumah jabatan bupati, namun setelah di-tracking ternyata fasilitas tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejabat di daerah tersebut yang sedang menghadiri misi mulia di Jakarta, yaitu melakukan lobi-lobi parpol untuk perahu di Pilkada serentak, kenyataannya, meskipun nomenklaturnya adalah ruang isolasi, tetapi ternyata itu lebih untuk para pejabat, jadi saya dan yang lainnya kena prank di sini.
Tak lama setelah itu, seorang anggota legislatif menghubungi saya dan minta agar sama-sama menyampaikan keresahan saya tersebut kepada seorang pejabat tinggi pemerintah kabupaten, maka saya pun bergerak cepat dan menghimpun para pelajar yang punya keresahan yang sama, sang pejabat pun dimasukkan ke dalam grup whatsapp yang diisi oleh para pelajar di Jabodetabek yang berasal dari kabupaten tersebut. Tidak diduga, tanpa membaca beberapa permohonan agar diberikan arahan sederhana dalam menghadapi wabah ini, sang pejabat malah left group tanpa pernah sedikitpun memberikan respon.
Kenyataan ini menunjukkan level pemerintah kita, membongkar secara habis-habisan kualitas mereka yang sangat tidak layak menjadi pemimpin, apalagi digaji oleh rakyat. Berangkat dari sini, saya tetap merasa bangga dengan beberapa pelajar yang kemudian menghimpun tekad agar mencoba untuk survive sendiri di daerah wabah, jauh dari kampung halaman dan tanpa perhatian pemerintah daerah asal. Di situasi seperti ini, saling menguatkan itu penting, saling mengingatkan itu nomor satu, setidak-tidaknya, dalam situasi sulit, rasa persaudaraan dan naluri kebersamaan bisa meredam kepanikan. Semoga wabah ini dapat segera pergi dan nilai-nilai kemanusiaan dapat segera ditegakkan dari dalam kepala para pejabat-pejabat kita. Semoga dengan ini pula, tipikal pejabat yang hanya datang ke rakyat saat mereka butuh dan tidak ada saat rakyat butuh dieliminir dari panggung-panggung kekuasaan kita secara kolektif. Semangat..
Komentar