Final Euro 2020

Itali vs Inggris, Menjawab Konspirasi dan Mitos EURO

Foto: EURO.COM

Penulis: Firjal Usdek

Sebagian besar penikmat sepakbola setuju bahwa partai puncak Euro 2020, antara Italia vs Inggris adalah Final ideal. Hasil laga dua negara akan mengobati puasa gelar.

Bagi Gli Azzuri, kemenangan di Wembley adalah pelipur dahaga setelah juara 1968, dan gagal pada dua kali Final yakni 2000 dan 2012. Sementara bagi Inggris, ini adalah Final pertama dan kesempatan pertama merengkuh juara, sejak turnamen ini dimulai 1964, silam.

Kedua negara melewati jalan terjal. Italia melaju ke final setelah mempencudangi Belgia dan Spanyol di fase gugur, sementara Inggris mencetak sejarah baru dengan memulangkan Jerman di babak 16 besar untuk pertama kali sepanjang keiikutsertaan di turnament. Meski publik sepakbola dibikin heboh karena keberadaan Inggris di Final "Dikotori" insiden "Diving" Rahim Sterling di laga Semi Final versus Denmark.

Atas kejadian itu, UEFA dan Inggris dikecam legenda pesepakbola, para juru taktik, jurnalis, bahkan jajaran petinggi Uni Eropa.

Lalu, apakah Diving haram dalam sepakbola? Jelas, TIDAK!!!. Para pesepakbola adalah aktor yang memainkan perannya di lapangan hijau. Mereka perlu improvisasi di luar skema, taktik, dan raihan statistik untuk meraih hasil yang maksimal.

Tentunya insting aktor diperlukan untuk memainkan emosi permirsa. Itulah yang dilakukan Sterling, begitu pula yang diperankan Immobile dalam laga Itali vs Belgia. Jauh sebelumnya, sejarah sepakbola sudah mencatat Gol Tangan Tuhan ala MARADONA.

Hampir tidak ada syarat "haram" dalam sepakbola, kemenangan harus diraih dengan segala cara. Lalu apakah, Fair Play  ternoda karena kecanggihan teknologi-sepakbola? TIDAK.

Pelatih Inggris memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan menggunakan jam tangan yang bisa memantau pemain selama pertandingan berlangsung. Dengan jam tangan itu, Shoutghate punya pilihan, taktis untuk memilih starting eleven dan mengganti pemain.

Di Italia, kiper Donarruma menggunakan sarung tangan yang dililit 128 titik karet untuk bisa membuat bola lebih melekat di tangannya.

Lalu bagaimana dengan VAR dalam insiden penting seperti dugaan "Diving". Kita haruslah setuju, bahwa VAR hanyalah alat bantu tanpa menyampingkan keputusan mutlak wasit. Artinya, VAR tidak menghilangkan sisi human interest drama lapangan hijau. Semua komponen itu tentunya tersedia di Wembley, tanpa terkecuali.

Secara teknis, Gli Azzuri memiliki segalanya untuk Juara. Anak asuhan Mancini unggul dari segi statistik, kolektivitas tim, dan telah mempertontonkan permainan yang efektif selama EURO. Donarruma di bawah Mistar, duet Chellini & Bonuci di jantung pertahanan, trio gelandang Jorginho, Verrati, Barela serta senjata mematikan di depan yang sudah menyarangkan 7 Gol, Chiesa, Insigne dan Immobile. Mereka terbukti solid menyerang, melakukan transisi, dan bertahan.

Itali dikenal sebagai tim yang bertahan tapi bisa membuat gol di seluruh pertandingan, sekali lagi tanpa terkecuali Spanyol yang full tekanan pun ikut menjadi korban.

Cara Mancini merespon taktik Enrique yang bermain tanpa False 9 bisa "diadaptasi" apabila Azzuri masih menerapkan Pressing tinggi di area lawan. Jika pertandingan Final nanti tak "dikotori" masalah non teknis, Football's Coming Rome bukanlah mustahil bisa terwujud.

Meski begitu, Inggris dengan ambisi Football's Coming Home sangat haus Juara. Inggris punya Sterling yang apik di sayap dan Keane False 9 terbaik di Euro saat ini, menjandikannya salah satu kandidat top skor. Namun, pada 5 pertandingan EURO, juru taktik Inggris Southgate sering membuat rotasi, terutama di sektor gelandang. Belum ada starting eleven yang paten di sektor vital ini. Kondisi ini bisa jadi kekuatan Inggris untuk mengelabui Mancini, namun bisa pula menjadi titik kelamahan yang bisa dieksploitasi trio gelandang Azzuri. Jorginho Cs terkenal jitu dalam transisi.

The Three Lion diuntungkan bermain di hadapan puluhan ribu Holligans. Namun, Italia bukan anak bungsu di sepakbola. Pada medio 2006, stadion Signal Iduna Park, menjadi saksi ketangguhan mental Gli Azzuri. Kandang Dortmund itu terkenal sebagai salah satu stadion dengan suporter paling berisik di dunia. Meski begitu, riuh dan intimidasi puluhan ribu The Black Yellow, yang malam itu memutihkan seisi stadion dibuat kecewa. Riuh penonton sepanjang laga tak dapat menjadi penyemangat dan penyelamat muka Michael Ballack dkk. Der Panser menderita, tertunduk lesu lewat gol plesing Grosso dan  Del Piero.

Mental Itali jelas sudah teruji. Apalagi Wembley bukan tempat asing bagi Mancini, yang sempat menangangi Manchester Biru selama 3 tahun. Ia tahu bagaimana sepakbola Inggris. Begitupula Jorginho dan Emerson Palemeri meremput tiga musim di di Chelsea. Ini akan menjadi modal tambahan Gli Azzuri menghadapi Inggris di Wembley.

Di luar urusan taktik, Itali dibombardir opini, bahkan media menulis dugaan konspirasi-balas budi UEFA terhadap perdana Menteri Inggris. Italia dipastikan tanpa Ultras setelah Menteri transportasi memblokade kedatangan Tifosi.

Baca juga:

Uji Skuad Pelapis Gli Azzuri, Rotasi dan Torehan Rekor Ala Mancini

Semua itu bagi Materazzi adalah ketakutan Inggris kepada Itali. "Inggris bermain di kandang, seperti Jerman di 2006. Saya ingat wajah-wajah pemain Jerman di lorong stadion. Mereka seputih seragamnya," kata Materazzi kepada La Gazzetta dello Sport dikutip Football Italia.

"Kami saling memberi tahu satu sama lain 'Mereka ketakutan, mereka takut' dan mereka benar-benar merasakannya. Itu yang dirasakan Inggris saat ini," kata Materazzi.

Di EURO, ada siklus 12 tahunan yang berkali-kali terbukti juara selalu hadir dari negara kecil. Itulah yang diulas Shindunata, penulis dan pengamat bola Eropa. Ia menyajikan pendekatan yang berbeda dari rilis-rilis biasanya yang kita baca di media. Sebuah analisis sepakbola dari sisi budaya.

Dalam siklus 12 tahunan itu tersimpan mitos, kesebelasan kecil dan pinggiran akan keluar sebagai juara.

Tahun 1992, Denmark, kesebelasan negeri dongeng, keluar sebagai pemenang. Dua belas tahun kemudian, tahun 2004, Yunani, yang sama sekali tak diunggulkan, merebut mahkota bola Eropa. 2016, Portugal masuk dalam kategori tim kecil karena belum pernah meraoh juara. Mereka yang terseok-seok di fase grup seakan mengukuhkan mitos itu dengan membawa pulang Piala.

Mari kita tengok mitos 12 itu dalam narasi terbalik, bahwa "Dalam siklus 12 tahunan itu tersimpan mitos, kesebelasan besar akan keluar sebagai juara," maka kita akan menemukan fakta bahwa pada gelaran 1996, Jerman Juara. 12 tahun kemudian, pada 2008 Spanyol tim besar yang cetak sejarah, akankah EURO 2020, Itali kembali mengukuhkan mitos di tanah biru Eropa?

Seperti ditulis wartawan bola Christian Spiller dari koran Zeit, bola itu adalah sport yang aneh. Bola itu indah karena belum tentu kesebelasan yang lebih baik bisa menang. Sekaligus bola itu juga menjengkelkan, justru karena fakta, bahwa kesebelasan yang lebih jelek belum tentu kalah.

Kali ini Perancis bernasib nahas, Spanyol kurang beruntung, Belanda tak bisa keluar dari kutukan, dan Jerman tidak lagi Istimewa.

Satu gol di Wembley nanti akan menjadi sangat mahal. Gol itu bisa saja sebuah keberuntungan. Namun, dengan demikian, keberuntungan ini makin menerangkan betapa sepakbola itu adalah sebuah absurdum.

Dalam absurdum itu tersembunyi misteri, seperti ditulis oleh penyair Italia, Pietro Metastasio: ”Sering kali orang kehilangan yang baik justru ketika ia mencari yang lebih baik.” Itulah absurdum yang membuat bola jadi menarik dan mencekam.

Chiesa punya hutang kepada Spinazolla. Ia akan berjudi diri sepanjang laga. Tidak hanya tentang Juara, Chiesa juga harus bisa mengalahkan dominasi judi bola.

Sepakbola memang lebih dari drama di lapangan hijau. Di luar lapangan, sepakbola adalah jati diri, solidaritas, gengsi negara, sejarah, politik, dominasi, dan bisnis menjanjikan yang menghipnotis miliaran pasang mata-dunia.

Penulis: Firjal Usdek

Baca Juga