Lingkungan

Isu Penyelamatan Pesisir Laut dan Pulau Kecil Jadi Agenda Urgen dalam COP26

Kampanye penyelamatan pesisir laut dan pulau-pulau kecil oleh WALHI Maluku Utara saat hari sumpah pemuda tahun 2021. Foto: Dante

Ternate, Hpost – Isu penyelamatan Pesisir Laut  dan Pulau Kecil yang gencar disuarakan WALHI Maluku Utara akhirnya menjadi salah satu agenda urgen dalam Conference of The Parties (COP) ke-26 atau Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021, di Glasgow, Skotlandia, Inggris, antara 31 Oktober dan 12 November 2021.

Pertemuan itu untuk membahas kebijakan-kebijakan dalam pengendalian perubahan iklim tingkat global.  Indonesia termasuk salah satu negara yang  ikut dalam perundingan tersebut yang juga telah meratifikasi Perjanjian Paris.

“Melalui perundingan COP ke-26 di Glasgow, Britania Raya itu isu penyelamatan pesisir laut dan pulau pulau kecil juga disuarakan. Karena dampak paling nyata yang dihadapi dunia terkait perubahan iklim adalah yang dialami masyarakat yang berada di pesisir laut dan pulau-pulau kecil seperti di Maluku Utara,” kata Direktur  Walhi  Maluku Utara  Ahmad Rusiydi Rasjid, Selasa 2 November 2021.

Baca Juga:

Rusiydi bilang, pentingnya isu pesisir laut dan pulau-pulau kecil disurakan, karena Maluku Utara  saat ini sedang  menghadapi masalah serius terkait bahaya  izin operasi tambang yang mengancam.

“Ada banyak wilayah baik di Halmahera Tengah, Halmahera Timur Halmahera Selatan dan Halmahera Utara semua daerahnya penuh dengan izin tambang dan perkebunan monokultur,” ucapnya.

Terdapat 113 Ijin Usaha Pertambangan dengan total luasan konsesi 638.604,52 hektar. Kemudian, ijin-ijin usaha pemanfaatan hutan kayu pada hutan alam, hutan tanaman industry dan hutan tanaman rakyat dengan total luasan 867.352 hektar serta pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 58.516,92 hektar.

“Dari keseluruhan luasan ijin-ijin, baik pertambangan maupun pemanfaatan hutan dan perkebunan monokultur hamper mencapai setengah dari total luas kawasan hutan di Maluku Utara,” ungkapnya.

Kampanye penyelamatan Pesisir laut dan Pulau-pulau kecil. Foto: Istimewa

Ia menambahkan, ada ekstraksi tambang yang limbahnya akan dibuang ke laut  terutama di pulau Obi. Tambang nikel di Obi, Halmahera Selatan menggunakan metode peleburan nikel laterit, yakni proses hidrometalurgi, high pressure acid leaching (HPAL).

“HPAL itu paling banyak dipilih produsen nikel baterai di Indonesia saat ini. HPAL tersebut menghasilkan limbah olahan berbentuk lumpur (tailing),” katanya.

Sekadar diketahui, di Indonesia, ada tiga proyek HPAL dibangun, di antaranya di Morowali, Sulawesi Tengah dan Obi, Maluku Utara. Yang jadi  masalah, perusahaan Morowali dan Obi dengan metode HPAL yang menghasilkan limbah tersebut akan dibuang ke laut. Di Obi, Halmahera Selatan tailing yang akan dibuang ke laut mencapai 6 juta ton per tahun di  kedalaman 230 meter.

“Ini sebenarnya adalah masalah serius,” tandasnya.

Penulis: Qal
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga