Opini
Debu dan Perkara Citizenship
Wawan Ilyas
Demisioner PUSMAT Kota Ternate
Kekerasan yang menimpa Jurnalis Cermat, Nurkholis Lamau, membawa dasar masalah citizenship (kewarganegaraan) dalam praktek demokrasi lokal di Kota Tidore Kepulauan. Era keterbukaan informasi publik dan jaringan komunikasi ternyata tak menjamin iklim kebebasan pewarta. Dalam wilayah pemerintahan kota yang mengusung visi masyarakat Tidore AMAN, terbukti rasa ‘tidak aman’ justru masih menyebar.
Sebagai Jurnalis, Nurkholis menyampaikan bahasa satire (kritik) kepada Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan (Wawali Tikep), namun diskursus opini publik melalui saluran legal Cermat.co.id itu, dianggap menyudutkan pribadi, lalu dibalas dengan intimidasi, pemukulan dan ancaman bahkan di dalam kantor Kepolisian (Baca: Kekerasan terhadap Nurkholis).
Peristiwa itu tidak boleh dianggap sepele, karena kekuasaan melekat di ranah ini. Dalam konteks kewargaan, siapapun yang masih menduduki jabatan negara, setiap tingkah lakunya wajib melindungi warga negara. Apalagi, Nurkholis menuliskan masalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dalam wilayah kerja kekuasaan pemerintah setempat. Di satu sisi PLTU dapat memberi dampak positif (daya penerangan listrik), tetapi tebaran debu yang dihasilkan selalu berdampak negatif di sisi lainnya.
Sampai detik ini, belum pernah ada riset ilmiah di Rum Balibunga, Kota Tidore Kepulauan, yang menyimpulkan bahwa debu akibat operasi PLTU Batubara memberi ‘rasa aman’ dan bernilai baik bagi kesehatan warga. Pemerintahlah yang harus memastikan tidak ada warga yang terganggu aktivitas ini. Entah karena hirup debu, entah karena debunya masuk ke rumah-rumah, dan seterusnya.
Secara substantif, opini Nurkholis sebetulnya menyampaikan pesan di kedalaman makna publik. Tidak ada hubungannya dengan orang tua-tua dulu jual tanah buat pembangunan PLTU, lalu duit hasil penjualan itu bisa naik haji, sekolahkan anak dan lain sebagainya, seperti alasan Wawali Tikep. Ini bukan konflik perebutan lahan, atau jurnalis tidak sedang membicarakan tanah sengketa. Nurkholis membidik perihal kewajiban pemerintah melindungi warga dari segi manapun di dalam kebijakan pembangunan, termasuk bayang-bayang penyakit akibat tebaran debu PLTU.
Mengapa pejabat secara terbuka mengeluarkan statemen hirup debu Batubara dapat pahala? Bukankah bahasa satire “Ayah Erik” dapat meluaskan dampak negatif bagi warga dikemudian hari? Kalau begitu, dapat diambil pengertian bahwa Wawali Tikep menggunakan pesan agama (pahala) untuk membuka kemungkinan terburuk warganya di masa depan. Kemungkinan terburuk karena jika debu itu terus dihirup, bisa jadi menimbulkan penyakit di hari kemudian. Di sinilah kalimat satire orang nomor dua di Tidore ini bermasalah menurut logika politik kewargaan.
Dalam relasi demikian, tidak rasional kalau perbuatan kekerasan apapun karena sebuah satire diterjemahkan sebatas tindakan reaktif atau spontan. Argumentasi ini harus dibuang jauh-jauh, apalagi motif intimidasinya takut opini Nurkholis berpengaruh dalam kepentingan Politik Muhammad Sinen pada 2024 nanti. Memang wajar, atau katakanlah para pelaku kekerasan juga makhluk Tuhan, tidak luput dari salah atau kita sebagai manusia biasa selalu punya rasa takut, kecemasan, cepat marah dan lain-lain. Tetapi harus pula ditegaskan, bahwa kecemasan, marah dan kekhawatiran semacam itu tidak tepat untuk disematkan, apalagi sampai pemukulan dalam ruang politik dan percakapan di ruang publik.
Kekerasan terhadap jurnalis dan rasa trauma yang dialami keluarga korban adalah bentuk ketidakwajaran dari relasi politik kewargaan, menodai ruang demokratis dalam suatu negara bangsa (nation state). Kecenderungan melihat masalah Nurkholis dan Wawali Tikep dalam konteks relasi kuasa itulah membuat saya menganggap tulisan Ardiansyah Fauzi (2022) bertajuk “Tabbayun” tidak ada relevansinya dengan pokok permasalahan. Wacananya beralih ke teologi dan cerita Rasul semata. Jadinya saling ‘ceramah-menceramahi”.
Bagi saya, Ardiansyah mengaburkan substansi dari masalah inti di Tidore Kepulauan saat ini, yaitu kekerasan terhadap wartawan dan arogansi pejabat dalam tubuh sosial-politik kedaerahan. Ia lari dari argumen berbasis data dan kejadian faktual. Tetapi saya maklumi, saudara Ardiansyah Fauzi adalah juru bicara atau pengikut setia Wawali Tikep, maka wajar saja ia menuliskan opini yang dapat mengelabui publik dari pemberitaan media mengenai arogansi majikannya. Begitulah tugas para bedebah.
Menerjang atau Diterjang Kekuasaan?
Sekali lagi, saya tidak mau melepaskan peristiwa kekerasan sebagai problem dasar kekuasaan, atau citra buruk pejabat daerah. Bukan ceramah agama. Sekitar tahun 2018, majalah Tempo mengeluarkan rilisan satire bertemakan; Indonesia Rasa Korea Utara.
Tempo pada intinya membaca elit kekuasaan di Indonesia bekerja tanpa meninggalkan “sistem kontrol” yang akan mengawasi warganya. Karakteristik politik masa reformasi selalu saja melekat dengan kegiatan teror meneror, intimidasi dan juga kekerasan.
Seperti ada penetrasi watak otoriter Kim Jong Un di Indonesia. Otonomi daerah dan kebebasan sipil karena hasil gerakan reformasi 98 tak pernah betul-betul dihayati sebagai kesempatan memperjuangkan kemerdekaan warga sipil dan pembangunan bangsa seutuhnya. Aktivis diintimidasi, dipenjarakan, wartawan diteror, mahasiswa dipukul, warga sipil dipidanakan, dan masih banyak. Saya kira, rantai kekerasan yang dilakukan tiga orang berhubungan darah terhadap wartawan di Tidore merupakan gejala dominan dari watak kekuasaan bangsa ini.
Baca juga:
Kasus Pemukulan Wartawan, Ketua DPD PDIP Maluku Utara Dipolisikan
Kasus Pemukulan Nurkholis Dilaporkan, Begini Tanggapan Wakil Wali Kota Tidore
Kronologi Nurkholis Dipukul di Depan Istrinya oleh Ponakan Wakil Wali Kota Tidore
Selain majalah Tempo, jauh sebelumnya dalam karya “Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia,” Ignas Kleden (2001) bilang kurang lebih begini; tanpa membaca Machiavelli, praktek kekuasaan di Indonesia sudah meyakinkan kita bahwa elit-elit telah “menghalalkan” cara-cara yang merusak tatanan sosial-politik. Saya tidak perlu merunut berapa banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu oleh negara yang tidak terselesaikan secara hukum, atau berapa kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan pada masa setelah reformasi.
Bukankah kasus Sambo dan konsorsium 303 ikut menambah daftar kebobrokan kekuasaan negara belakangan ini? dan ketika Kapolres Tidore juga sesalkan sikap Wawali Tikep di kantor Mapolres Tikep, bukankah itu menunjukkan karakter pejabat pemerintahan daerah yang buruk? Teori politik yang mana, atau aturan hukum apa yang dapat mengiyakan seorang pejabat daerah boleh menciptakan keributan di kantor polisi? Pembaca budiman, silahkan merefleksikan ulang perjalanan kekuasaan di Republik ini.
Jika kita menolek buku “Menerjang Badai Kekuasaan” yang menelusuri kisah-kisah sejumlah tokoh pergerakan nasional, Daniel Dhakidae (2015) dengan pendekatan Sociological Imagination ala Charles Wright Mills menaruh pelajaran berarti. Sejarah, struktur sosial-politik dan aktor dilihat secara relasional dalam perjalanan bangsa. Kita tidak bisa lepas dari pergumulan panjang tersebut. Keberpihakan kita hanya dua, memilih menerjang badai kekuasaan atau diterjang kekuasaan.
Nurkholis Lamaau dengan kerja jurnalismenya menunjukkan komitmen “menerjang” kekuasaan lewat pemberitaannya terkait dampak PLTU Batubara di Tidore. Oleh karenanya, dia berpotensi “diterjang badai” kekuasaan itu sendiri. Terbukti dengan peristiwa kekerasan terhadap dirinya, dan upaya untuk mempolisikan Nurkholis Lamaau yang dilakukan Wawali Tikep baru-baru ini. Kita harus melebarkan gerakan pembelaan, sebab kasus ini bukan tentang Nurkholis, tetapi jauh lebih besar, tentang jurnalisme, kekuasaan dan keselamatan warga dalam pembangunan yang adil.
Perkara Citizenship
Para “wartawan” pengikut Wawali Tikep tidak berada pada pilihan menerjang maupun diterjang kekuasaan, mereka diam dalam pusaran kenikmatan kekuasaan. “Cari aman” dalam pemerintahan AMAN. Menurut seorang penulis opini yang mengutip Nietzsche, mereka itu bermental budak, termasuk Ardiansyah Fauzi (Sarfan Tidore, 2022) Bisa dilihat dari foto bersama antara Muhammad Sinen dan para wartawan yang diposting salah satu akun Facebook dengan penggalan caption yang saya kutip begini; “Wartawan dan Muhammad Sinen Berkawan.” Bagi Galim Umabaihi, ada kesalahan dalam memahami profesi sebagai jurnalis. Opini, Esai, Artikel, berita, atau karya apa saja yang tertuang dalam rubrik suatu media, tak bisa dipahami terpisah sebagai keseluruhan bagian produk jurnalisme (Baca; Jurnalisme Tak Sekadar Berita, 2022) Karena tidak satu pun wartawan “piaraan” pejabat berani menyinggung soal inti pemberitaan atau satire yang disampaikan Nurkholis, maka saya perlu mengulitinya kembali.
Data unit kesehatan setempat menggambarkan masyarakat di Kelurahan Rum Balibunga, Kota Tidore Kepulauan, mengalami derita penyakit Inveksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) dalam beberapa tahun belakangan. Pada 2019, terdapat 1.293 orang penderita ISPA dari 1.688 penduduk. Angkanya bervariasi dari penduduk usia 1 sampai 60 tahun. Pada 2020 tercatat 568 orang. Setahun kemudian naik lagi menjadi 591 penderita (Cermat. co.id, 2 April 2022). Petugas kesehatan di sana, Farida Salim, menyebut tingginya angka ISPA di Kota Tidore belum dapat dihubungkan dengan dampak debu PLTU Batubara, bisa jadi karena asap knalpot atau rokok.
Yang ganjil dalam liputan berita yang sama adalah ketika data penderita ISPA dari 13 Kelurahan yang dilaporkan oleh Unit Puskesmas Soa Sio (sekitar 24 Kilometer dari PLTU Tidore) membeberkan 2019 tercatat 1.756 orang penderita ISPA, 2020 sebanyak 1.022 warga, 2021 mencapai 1.053 orang.
Meskipun kata kepala Puskesmas Soa Sio waktu itu, Zullaihi Ali, dari dulu ISPA di Tidore tertinggi, tetapi tulisan ini membaca perbandingan data dari dua instansi kesehatan itu menunjukkan, angka tertinggi penderita penyakit berbahaya ini terjadi di Kelurahan Rum Balibunga, yang merupakan Kelurahan paling dekat dari lokasi PLTU Batubara di Tidore saat ini. Meski rata-rata keluhan warga terkait ISPA adalah debu batubara, tetapi belum ada penelitian mendalam secara medis yang membuktikan hal itu. Pertanyaannya, mengapa sejak dulu pemerintah Kota Tidore tidak melakukan penelitian mendalam pada masyarakat sekitar PLTU terkait ini?
Kasus ini mendorong saya menengok film dokumenter besutan Dandy Laksono, Sexy Killers (2019). Film ini membongkar jejaring oligarki politik Indonesia di era Jokowi, dalam kaitan kepemilikan perusahaan PLTU Batubara dan dampak ekologis seperti kerusakan lingkungan dan penyebab penyakit pernapasan. Lagi-lagi, menyangkut kekuasaan. Dandy menayangkan rumah-rumah warga sekitar PLTU di sejumlah tempat setiap hari tersusupi debu Batubara, tanpa kehilangan meliput bahaya kesehatan warga. Persis situasi yang sering dialami warga di Kelurahan Rum Balibunga. Pada satu bagian dokumenter Sexy Killer, bahkan menyorot seorang warga meninggal dunia karena gangguan pernapasan, efek operasi perusahaan tersebut.
Ketika film ini diputarkan (Nobar) di Indramayu, Jawa Barat, polisi dan Bawaslu berusaha membubarkan paksa karena menganggap menyulut emosi warga dan bermuatan menyebarkan kebencian (tirto.id, 2019). Inilah watak kekuasaan di negeri ini, sekalipun dikritik berbasis data, tetap saja kekuasaan menganggapnya sebagai ancaman. Demikianlah seperti yang dialami Nurkholis baru-baru ini.
Opininya bertajuk “Hirup Debu Batu Bara Dapat Pahala” dihapus karena intimidasi orang dekat pejabat di Tidore. Lalu kemudian diancam oleh pejabat yang sama. Jika Sexy Killers dipertanyakan karena dirilis saat mendekati masa Pilpres 2019, maka opini Nurkholis dikhawatirkan karena ada Pilkada 2024 nanti. Paling tidak, ini yang hilang dari argumen para wartawan “rongsokan” dan novelis pengikut pejabat, bahwa kekuasaan yang anti kritik, arogansi pejabat, dan dampak kerusakan lingkungan itu nyata di Tidore.
Terkait ISPA, koran Tempo (2021) pernah meliput di Kabupaten Halmahera Timur setelah PT. Antam masuk, penyakit ini mulai menjangkiti warga sekitar tambang. Tempo mengulas kondisi kesehatan warga berbeda sebelum masuknya perusahaan ini. Artinya dari tiga kasus di tiga daerah berbeda (Tidore, Jawa, Haltim), kita menemukan “kondisi materil” yang sama di dalam kawasan bahaya ancaman kesehatan terjadi, yaitu adanya perusahaan.
Di bagian lain, menarik kalau melakukan studi citizenship dari sudut etnografi atau fenomenologis, khususnya pada masyarakat Rum Balibunga. Apa iya masyarakat tidak keberatan dengan satire Wawali Tikep mengenai “hirup debu dapat pahala” itu? Ataukah ada warga di sana punya rasa kesal namun belum berani menegur atau menyampaikannya ke publik karena menyangkut relasi kuasa?
Sebagai penutup, saya perlu tegaskan, debu PLTU sudah jadi masalah sosial pembangunan di Tidore. Meminjam Tania Murray Le, kita sama-sama memiliki kehendak untuk merubah (the will to improve). Pertanyannya, atas keberpihakan siapa dan melalui cara-cara apa kehendak itu dijalankan? Jangan sampai, kehendak merubah dikalahkan oleh kehendak untuk berkuasa (the will to power), yang pada akhirnya menambah daftar panjang kekerasan.
Komentar