Opini
Nurkholis dan Personifikasi Subjek Homo Sacer

Mereka adalah orang-orang yang ditelantarkan, diasingkan atau tak dianggap sebagai warga negara. Kondisi homo sacer ini bisa dialami oleh siapa saja, terutama para jurnalis di Maluku Utara ketika berseberangan dengan kekuasaan sebagaimana yang dikatakan Agamben: “Setiap manusia memiliki potensi menjadi homo sacer”.
Tentu saja kita dapat membayangkan setelah kejadian ini, Nurkholis dalam menjalankan profesinya sebagai seorang jurnalis, akan terabaikan dalam relasinya dengan mitra kerja (pemerintah). Semua akses akan dikunci, tuntutan profesionalitasnya terganggu. Betapa kekuasaan akan mempermainkan dirinya. Sementara itu, di samping kerja yang berpegang pada prinsip jurnalistik, ia juga memikirkan bagaimana bertahan dalam menghidupkan bisnis media, tempat ia menghidupkan dirinya.
Begitu juga lingkungan tempat ia tinggal bersama keluarganya, akan menadapat perlakuan streotipe oleh orang dekat penguasa, karena ia selalu dipandang sebagai ancaman yang dinilai megganggu kepentingan politik jangka panjang. Tapi saya selalu percaya, Nurkholis tidak gampang patah. Ia justru lebih kuat ketika ada tantangan, sebab itu sudah menjadi habitatnya.
Sebelumnya, tulisan Wawan Ilyas menyoal perihal status kewargaan bertajuk Debu dan Perkara Citizenship yang terbit di Halmaherapost. Wawan memperkarakan adanya keretakan dalam relasi kehangatan warga negara yang seharusnya tidak terjadi. “Dalam konteks kewargaan, siapapun yang masih menduduki jabatan negara, setiap tingkah lakunya wajib melindungi warga negara”. Perlindungan terhadap warga negara, siapapun dia, seperti apa status sosialnya, wajib dilindungi oleh negara. Bagaimana mungkin, status warga negara dapat diperoleh dengan baik, jika kekuasaan sendiri tidak memberikan jaminan perlindungan keamanan terhadapnya.
Mestinya, agar tercipta percakapan warga negara yang berkualitas, Muhammad Sinen yang menjabat Wakil Walikota dalam menanggapi opini tersebut, memanfaatkan struktur kekuasaannya dengan cara yang lebih elegan. Ada bagian kehumasan yang seharusnya difungsikan sehingga hak jawab dapat tersalurkan dengan tindakan yang lebih demokratis.
Bagi saya, opini Nurkholis menunjukkan suatu bentuk normalitas kewarasan terhadap ketidaknormalan. Bahwa kehidupan masyarakat di wilayah PLTU tidak lagi dalam keadaan normal. Mereka merasa terganggu dengan adanya polusi debu batu bara sebagai tanda darurat. Namun, kedaruratan yang dipahami oleh pejabat setempat justru ketika membaca opini Nurkholis. Sehingga upaya menormalkan keadaan, mereka harus melakukan intimidasi dan kekerasan. Bahkan menempuh jalur hukum dengan cara mempidanakan Nurkholis. Di sinilah personifikasi subjek homo sacer dialami Nurkholis.
Pada akhir tulisan ini, saya berupaya untuk mencari dalil sebuah silogisme terakit slogan politik “AMAN” yang selalu dikampanyekan, kurang lebih seperti ini: Jika AMAN itu diartikan sebagai penyingkiran terhadap segala bentuk perlakuan intimidasi dan kekerasan, maka secara konklusi dapat dikatakan, Kota Tidore Kepulauan telah berada pada situasi yang tidak aman, melainkan pembungkaman.
Komentar