Opini
Moratorium: Menjawab Bala dari Genosida Alam Maluku Utara
- Penulis: Ismunandar Marsaoly, warga Halmahera Timur
Dari waktu ke waktu, korban genosida hutan oleh IWIP makin cepat dan meluas. Hujan mulai berakhir, dan empati orang mulai hilang atas segala musibah akibat genosida alam oleh IWIP itu seiring pergantian musim. Tidak dengan korban yang merasakan langsung akibat pembunuhan atas alam Halmahera itu. Kesan buruk itu akan terus ada.
Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Morowali Industrial Park (IMIP) diberi karpet merah, terbentang sejak di Jakarta oleh pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah di Maluku Utara. Ini menandakan penerimaan tanpa syarat atas IWIP bagi kejahatan genosida atas alam hutan Halmahera.
Tentu saja kita bukan Cina dan pemerintahannya yang secara tegas menutup dan melarang kedua perusahaan yang tergabung dalam Tsingshan Group itu, karena telah memporak-porandakan beberapa kota di sana hingga kota-kota itu ditetapkan sebagai wilayah tidak layak huni akibat kehancuran lingkungan dari kejahatan perusahaan ini yang memang terkenal kasar dan brutal.
Halmahera telah diserahkan, menyusul besi dan barang-barang bekas yang terlantar di Cina. Setelah sanksi larangan menambang pada Tsingshan Group diputuskan oleh pemerintah Cina, mereka diangkut ke Morowali dan Halmahera Tengah. Nyawa pekerja setiap saat terpanggang dan melayang di sana, menjadi tumbal pabrik yang tersusun dari besi tua dan barang rongsokan.
Sangat aneh, sebab sesaat setelah tragedi alam dan manusia itu terjadi, IWIP justru diberi izin perluasan konsesi.
Kita ingat bagaimana akhir kehancuran permanen Sungai Sagea. Beberapa bulan setelahnya, diadakan pertemuan resmi, dan dengan resmi pula perluasan konsesi dihadiahkan kepada IWIP. Disebut hadiah karena apa yang kita dapatkan tidak setara dengan kerusakan serta kematian yang terjadi.
Terhadap fakta-fakta ini, ada baiknya kita baca ulang bagaimana Qur'an menjelaskan tipologi manusia dalam kaitannya dengan pengrusakan itu sebagaimana dijabarkan oleh Syeh Jawadi Amuli.
Pertama, mereka yang melakukan kerusakan secara terang-terangan. Mereka adalah bos-bos IWIP dan jajarannya.
Baca juga:
Daerah Tajir Langganan Banjir, Alarm Bahaya Hutan Halmahera!
Tambang Elit, Rakyat Maluku Utara Menjerit
Kedua, mereka yang tidak melakukan kerusakan secara langsung tetapi menyetujuinya. Ini diisi oleh umumnya para pejabat pengambil keputusan dan pengusaha kelas bawah yang berkepentingan mendapatkan akumulasi keuntungan melalui pengrusakan dan genosida atas alam.
Ketiga, mereka yang sejatinya tidak menyetujui kerusakan tetapi terpaksa terlibat di dalamnya karena desakan hidup. Golongan ini diisi oleh rakyat biasa dan para pekerja tambang. Jumlah dari golongan ini sangatlah banyak.
Keempat, segolongan kecil yang menolak kerusakan secara terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi.
Terhadap yang pertama, Qur'an menyebut Allah melaknat mereka. Terhadap golongan kedua, Allah murka dan akan memasukkan mereka menjadi pengikut golongan pertama yang terlaknat dan dimurkai. Atas golongan ketiga yang terpaksa terlibat dalam pengrusakan karena desakan hidup itu, Allah bertanya kepada mereka, bukankah bumi Allah itu luas?
Sedangkan atas golongan keempat, Qur'an menyebut bahwa mereka oleh Allah dikaruniai kekuatan batin menghadapi tekanan, diberi kesabaran dalam menanggung ujian perlawanan, tetapi dijanjikan atas mereka kemenangan yang dekat melalui bantuan para malaikat yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia.
Kebanyakan kita adalah golongan ketiga, sedangkan sekelompok kecil adalah para pejabat bermental korup yang mendapatkan kekuasaan politik dan kekayaan tidak melalui kerja keras, melainkan dari jalur persetujuan haram atas pengrusakan oleh golongan pertama melalui suap dan korupsi dan menjalankan tugas pengerahan sosial bagi dukungan atas pengrusakan secara manipulatif.
Diangkatnya Luhut Panjaitan sebagai sesepuh Gamrange adalah contoh nyata pengerahan dukungan sosial secara manipulatif itu.
Telah tampak kerusakan di laut dan darat ulah tangan manusia. Demikian kami menghukum sebagian di antara kamu agar kamu kembali ke jalan benar.
Faktanya, kita tidak peduli pada peringatan. Ketika beberapa bulan lalu Sungai Sagea hancur berantakan tiba-tiba. Respon kita adalah memberi persetujuan perluasan konsesi IWIP, membuat kerusakan membesar mengorbankan wilayah-wilayah lain dan manusianya yang dahulu tidak hancur.
Jika hukuman atas sebagian dari kita melalui banjir besar yang terjadi beberapa waktu lalu tidak bisa membuat kita sadar untuk kembali ke benar, maka kehancuran total adalah akibat yang harus ditanggung sebagai satu masyarakat (kaum) yang ingkar pada peringatan dan nasihat. Jika peringatan tak mempan, maka dimusnahkan. Itu hukum alam.
Berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana kesudahan kaum-kaum yang ingkar (mereka yang tidak peduli pada peringatan melalui musibah atas sebagian dari mereka).
Semua elemen di Maluku Utara sudah waktunya menyatakan sikap tegas menuntut moratorium. Peninjauan kembali seluruh izin tambang untuk keselamatan negeri ini bagi jaminan pembangunan berkelanjutan, tanpa perlu terlalu terlecok dengan polesan-polesan bernama investasi negara, proyek strategis nasional, kawasan industri, dan lain-lain yang seluruh isinya adalah genosida atas Halmahera dan Maluku Utara.
Rujukan:
- Jurnal Political Of Law, Hendro Sangkoyo
- Islam dan Lingkungan Hidup, Jawadi Amuli
Komentar