Opini

Halmahera dalam Relasi Negara dan Kuasa Kapitalis

Penulis:
Masril Karim
(Ketua Umum HMI Cabang Manado 2015-2016 & Mahasiswa Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Nasional)


HALMAHERA belakangan banyak diberitakan oleh media lokal dan nasional. Para elit lokal dan nasional turut membicarakan tentang kekayaan Halmahera. Sementara sebagian media-pers mengulas kerusakan lingkungan dari puluhan perusahaan ekstraktif yang beroperasi di tanah Halmahera, Provinsi Maluku Utara.

Kondisi tersebut tak bisa dilepas dari terbentuknya sudah hubungan-relasi elit lokal dengan elit nasional yang memiliki relasi langsung dengan kapitalis. Hubungan itu mengokohkan relasi bisnis kapitalis di tanah Halmahera.

Padahal struktur politik kita mengalami perubahan pasca reformasi. Cabang-cabang kekuasaan pun mengalami perubahan, dari sentralisasi ke desentralisasi. Namun, kebijakan desentralisasi membuka peluang pembentukan aliansi kekuasaan baru akibat terfragmentasinya kekuasaan. Kondisi Halmahera hari ini adalah kenyataan yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Pembentukan aliansi diantara kelompok elit berkuasa dengan kelompok-kelompok bisnis di daerah didukung oleh tiga kondisi yang saling mengait. Kondisi pertama adalah pemberian wewenang pengelolaan anggaran dan sumber daya kepada pemerintahan di daerah. Kondisi kedua adalah kemandirian pengelolaan daerah, utamanya kebijakan pembangunan daerah. Kondisi ketiga berkait dengan relasi antara pusat dan daerah.

Elit daerah memiliki basis kekuatan politik teritorial dan nasional sedangkan elit nasional (dewan pimpinan pusat parta-partai politik) memiliki kewenangan politik terkait dengan pencalonan seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Simbiosis antara elit nasional dan elit daerah menguntungkan keduan-duanya dalam bentuk prorteksi politik dan ekonomi (Djani dan Saputro, 2013, hal 109).

Model relasi semacam itu terus tersebar hingga ke daerah-daerah pasca reformasi, seperti yang terjadi Halmahera Tengah (Halteng) di Provinsi Maluku Utara. Sebagai daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam berupa Nikel, Halteng menjadi salah satu daerah menjadi pusat perhatian oleh para elit lokal, elit nasional juga oleh para pengusaha (kapital).

Elit lokal yang muncul sebagai kepala daerah yang merupakan representasi negara di tingkat daerah dan elit nasional yang muncul sebagai ketua partai/pengurus pusat partai politik dan para pengusaha yang muncul sebagai kelompok kapitalis sebagai pebisnis yang muncul dengan perusahaan pertambangan nikel di Halteng. Relasi politik dan bisnis ini yang memberikan ruang tidak hanya pada para kapitalis tetapi juga pada elit partai politik di tingkatan pusat untuk muncul dengan kepemilikan saham perusahaan nikel.

Richard Robinson (1988)membahas model relasi antara negara dan sektor bisnis (kapitalis) di Indonesia lewat tulisannya “Clas, Capital, and the State in New Order Indonesia”. Robinson menjelaskan bahwa kemunculan relasi negara dan kapitalis tidak dapat dijelaskan dalam kerangka proses akumulasi modal yang normal, dan hubungan mereka dengan negara tidak dapat dijelaskan dalam kerangka interaksi antara "negara" dan "kapital” yang dimanifestasikan melalui kebijakan publik.

Sebaliknya, hubungan tersebut memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat tertentu, yang menghubungkan pusat-pusat kekuasaan politisi-birokrat tertentu dengan kelompok-kelompok bisnis tertentu. Inti dari jenis hubungan ini adalah kapasitas politisi-birokrat untuk menggunakan otoritas negara, sumber daya kekuasaan untuk penggunaan pribadi.

Baca juga: 

Alarm Bahaya Hutan Halmahera

Nyawa-nyawa yang Melayang saat Bekerja di PT IWIP

Daerah Penghasil Tambang Penyumbang Angka Kemiskinan di Maluku Utara

Akibat dari relasi itu, telah melahirkan banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mendukung proses kerja kapitalis yang memainkan peran begitu besar di tingkatan lokal salah satunya seperti Perpres No. 55/2019tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi, bahkan selain itu ada juga Omnibus Law yang mendapat protes dari berabagai kalangan, tetapi protes itu tidak didengar oleh negara.

Perpres yang dikeluarkan oleh Jokowi yang memberikan karpet merah kepada para kapitalis untuk melakukan ekspansi perusahaan pertambangan nikel ke daerah-daerah seperti yang terjadi di Halteng, hari ini, nikel telah menjadi bahan utama dalam membuat baterai litium.

Berdasarkan data dari laporan koordinasi dan supervise sektor mineral dan batubara (Korupsi Minerba) milik KPK (yang dikutip dari media Halmaherapost.com), ada 66 IUP yang menguasai daratan Halmahera Tengah sebesar 142,964,79 Hektar. Dari puluhan IUP tersebut, Perusahaan pemegang izin yang telah melakukan operasi antara lain PT. Takindo Energi, PT. Weda Bay Nickel, PT. First Pasific Mining, PT. Zong Hai, dan PT. Bakti Pertiwi Nusantara, serta proyek pembangunan smelter dan PLTU milik PT. IWIP.

Bahkan selain itu juga, laporan Jatam, tentang “Pulau Kecil Indonesia Tanah Air Tambang’ (2019) memperlihatkan saat ini banyak perusahaan tambang nikel mendapatkan izin dari Bupati Halteng yakni PT. Bartra Putra Mulia sedang melakukan eksplorasi di Gebe. Penerima manfaat dari perusahaan ini berkelindan dan bertautan dengan Partai Golkar, Andi Arnaldi Ezra Baramuli masih kerabat Arnold Achmad Baramuli (alm) ia adalah mantan ketua Dewan Pertimbangan Agung Partai Golongan Karya.

Baca juga:

Ini 10 Sungai di Maluku Utara yang Rawan Banjir, Pengendalian Terkendala

Ini Masalah Pertambangan di Maluku Utara yang Perlu Diseriusi

Selain itu, di perusahaan tersebut ada nama Saleh Arifin Rais, ia menjabat di perusahaan ini dan juga di PT Celebes Mineral, sebagai pemilik saham perusahaan tersebut. Nama Ernawati Tahang menjabat Ketua Bidang Kebudayaan Daerah DPP Golkar. Kepemilikan saham PT Yubar Putra Hasanah dan PT Garuda Nusantara Resources juga tercantum nama anak A.A Baramuli yaitu Emir Baramuli, M.B.A. yang saat ini menjabat wakil skertaris jendral koordinator bidang (sekjen korbid) ekonomi DPP Partai Golkar.

PT Gebe Sentra Nikelyang juga memiliki izin usaha pertambangan dari pemerintah kabupaten (Pemkab) Halmahera Tengah, dari daftar direksi, komisaris dan pemilik saham ternyata sama dengan PT FBLN, yakni Dokter Caroline Chandra, Louis Philip, Max Markus Tamaela, Maria Chandra Pical, Dokter Agung Dewa Chandra, pemilik saham yakni PT. Zhenshi Holding Group Company Limited dan Wang Yuan dari Cina. Begitu pula PT Gebe dan juga PT Gebe Industri Nikel yang menjadi pemilik saham minoritas PT FBLN dimiliki oleh keluarga Dr. A.D Chandara.

Perusahaan berikutnya adalah PT Mineral Trobos,dalam catatan direktori putusan Mahkamah Agung, perusahaan ini berkonflik dengan PT FBLN karena izin mereka tumpang tindih. Gugatan di pengadilan dimenangkan oleh PT Mineral Trobos, sehingga meminta Bupati Halmahera Tengah merubah luasan konsesi perusahaan PT FBLN. Penerima manfaat perusahaan tersebut adalah Ir. Zainuddin Umasangadji menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Maluku Utara di tahun 2002, mantan anggota DPRD periode 1999 – 2004, dia juga menjabat sebagai komisaris PT. Bank Maluku. Saat ini dia sedang diperiksa sebagai pelaku korupsi pengelembungan pembelian tanah di Surabaya untuk Bank Maluku (Jatam, 2019).

Di Teluk Sumingit, Pulau Gebe Halmahera Tengah, perusahaan PT Anugrah Sukses Mining sedang mengeksploitasi pulau tersebut. Penerima manfaat dari PT Anugrah Sukses Mining adalah Agus Pujianto, Erwin Rahardjo, Pandi Santoso dan Soter Sabar Gunawan Harefa menjabat komisaris dan direksi di perusahaan. Salah satu pemilik saham perusahaan tersebut, Harum Resources. Harum Resources juga “bermain” batu bara di Kalimantan Timur, lewat Tanito Coal dan Tanito Harum pemilik perusahaan ini adalah taipan Kiki Barki atau klan Barki (Jatam, 2019).

Gambaran itu memperlihatkan bahwa adanya relasi yang kuat antara kapitalis dan negara yang tersebar di daerah-daerah pasca reformasi yang pada akhirnya memberikan keuntungan pada kalangan elit negara dan kapitalis. Masyarakat kecil akhirnya hanya mendapatkan efek dari beroperasinya perusahaan tambang tersebut berupa kerusakan lingkungan.

Pada akhirnya tambang untuk kesejahteraan masyarakat hanyalah MITOS yang dibuat oleh para elit negara dan kapitalis untuk memuluskan langkah bisnisnya ditengah-tengah masyarakat. Mereka mendapat keuntungan masyarakat mendapat masalah.

Penulis:

Baca Juga