Integritas Terpenjara
Balasan Surat Pertama Sarfan Tidore
Tulisan singkat yang akan saya uraikan hanya bermaksud menanggapi artikel saudara saya, Sarfan Tidore, yang ditayangkan salah satu media online lokal di Maluku Utara. Artikel bertajuk "Integritas" yang dialamatkan secara parsial kepada saya.
Satu malam di kota Majang, Selatan Ternate, di sebuah kafe milik Sarfan, kami berjumpa. Perjumpaan yang disengaja, karena memang saya berkepentingan mendiskusikan jalur tempuh lolos dari seleksi Calon Anggota Bawaslu Kepulauan Sula waktu itu. Selebihnya perjumpaan biasa untuk mengurai rindu setelah beberapa tahun kami tak jumpa. Saya di Sula dan Sarfan di Ternate.
Malam kian larut, namun lidah tak tahan seduh kopi racikan Sarfan. Tak lama kopi disajikan dan itu sangat mendukung diskusi kami. Singkat kata, topik penyelamatan seputar seleksi Bawaslu pun selesai dan berganti. Kami mulai membahas kondisi kekinian kehidupan sehari-hari.
Dengan nada datar, Sarfan membuka topik asal-usul lahirnya Komune Kaffe miliknya, yang intinya didapati dari hasil kerja profesional bersama salah seorang senior kami berdua dengan salah satu SKPD Pemkot Ternate. Kendati begitu, nalar kritisnya terus berontak seolah tidak menerima fakta tata kelola birokrasi Pemkot Ternate, terutama pada isu-isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Namun nalar kritis saudara saya, Sarfan, tidak segera termanifestasi melalui tulisan-tulisan tajam yang sudah lama saya rindukan untuk membacanya. Sarfan tidak terbeban dengan fasilitas yang didapat dari Pemkot Ternate itu, melainkan beban moral itu datang karena senior kami, yang darinya Sarfan bisa menyangga kehidupannya sehari-hari setelah menyusuri hutan-hutan Kalimantan dan Pulau Bacan, Halmahera Selatan.
Dari kondisi itu, saya pahami bahwa manusia benar-benar tidak bisa "otonom". Intelektual yang mengandung moralitas dari Sarfan terkendali (jika bukan dikendalikan) oleh moralitas itu sendiri. Kebebasannya (dalam artian intelektual) mulai ada pembatasan. Dan tidak seperti yang diungkapkan Edward Said (2014: xxxi) bahwa "tujuan intelektual meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia".
Integritas seorang Sarfan yang terbentuk/dibentuk sejak lama terasa terjebak. Integritas yang mengharuskan kejujuran diungkap tanpa kepalsuan moralitas justru terselundup dalam benak. Dalam konteks ini, saudara saya Sarfan justru "membohongi" dan tak lagi jujur pada dirinya. Integritas yang dipahami sebagai cermin nurani manusia tanpa mengelakkan nilai-nilai kejujuran, tak lagi saya temukan pada sosok Sarfan. Karena memang dia tidak lagi benar-benar "bebas" dalam konteks ini.
Dalam artikel itu, di satu sisi Sarfan secara parsial dan bulat menuding saya menyerah terhadap kondisi bahkan gagal mempertahankan integritas dengan menunjukkan fakta keberpihakan politik saya pada rezim FAM-SAH saat ini. Saya tidak bisa mengelak tuduhan itu. Tapi setiap kita yang "berkepentingan" dalam konteks politik di Sula tidak bisa terlepas dari keberpihakan itu.
Satu malam di desa Kabau Pantai, kampung saya dan Sarfan bertemulah saya dengan saudara sepupu Sarfan di sana. Kami tukar cerita. Mulai dari kondisi di desa, soal ekonomi dan pertanian, termasuk masalah-masalah politik. Saya mendapat jawaban tapi tidak mengagetkan. Kira-kira begini: "Kong ada arahan dari laki-laki di Ternate?" (maksudnya Sarfan). "Iyo, laki-laki bilang nanti ada pasukan Independent (salah satu bakal calon Kepala Daerah di Sula jalur independent) yang akan datang ke rumah. Nanti tolong diini (dilayani)".
Saya membatasi percakapan kami malam itu pada tulisan ini. Tapi secara samar-samar saya bisa memahami bahwa jika yang dibilang itu benar, maka ada pesan yang mengandung "keberpihakan" Sarfan terhadap salah satu bakal calon yang pernah mengantar kemenangan FAM-SAH pada periode pertama. Tapi saya juga tidak ingin mengonfirmasi ke Sarfan, karena memang itu bukan tujuan keberpihakan politik saya saat ini.
Di sisi lain, secara universal dan serius menuduh bahwa "kekuasaan" memiliki daya pikat yang bisa mempengaruhi prinsip-prinsip hidup manusia. Sarfan menunjukkan fakta dengan merujuk pada kalimat "Kran Demokrasi" yang pernah saya unggah di dinding Facebook pribadi saya beberapa hari lalu.
Bagi saya, Sarfan terlalu melebar memahami konteksnya. Padahal saya hanya membandingkan dua rezim kekuasaan sebelumnya dan saat ini, di mana suara kritik beredar seimbang di dua zaman, namun dengan berbeda atraksi oleh teman-teman mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia "Gerakan". Kelirunya Sarfan ketika menganggap penggalan kalimat itu (Kran Demokrasi terbuka di masa FAM-SAH) adalah fakta atas merosotnya integritas saya.
Saya cukup memahami artikel saudara Sarfan. Secara implisit menghindari perbandingan kekuasaan dua rezim. Sarfan memang tak memiliki referensi yang cukup untuk membandingkan dua rezim berkuasa itu. Sebab, peristiwa dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun terakhir nyaris tidak terlibat secara langsung. Bukankah kisah lebih baik pada kisah telinga?
Kekeliruan saudara saya, Sarfan, yang cukup fatal, ketika mengutip percakapan saya dengan Bupati FAM dalam ulasan artikelnya. Sebab itu dua peristiwa dan orang yang berbeda. Namun ambisi lebih melaju integritasnya sehingga Sarfan lupa bagaimana cara mencari kebenaran untuk melengkapi tulisannya.
Sampai di sini saya membatasi tulisan ini. Integritas dan moralitas mendasar dapat dipahami dengan adagium orang Sula: Pia in Fa, Pia in Fa. Kit Fa, Kit Fa (Orang punya itu orang punya, kita punya itu kita punya). Di jalan politik, ini yang akan diuji. Sebab, dengan tidak terlibat atau tidak berpihak belum tentu baik moral dan integritasnya. (***)
Komentar