Bawaslu Maluku Utara
Dua Isu Krusial Terabaikan dalam Peta Kerawanan Pilkada 2024 Maluku Utara, Harus Diperbaiki
Sebanyak dua indikator dengan tingkat kerawanan tinggi tidak terjabarkan secara jelas dalam rencana tindak lanjut sebagai program strategi pengawasan Bawaslu Maluku Utara pada Pilkada 2024. Diperlukan perbaikan rencana tindak lanjut yang lebih presisi dalam startegi penawasan Bawaslu Maluku Utara.
Hal itu setidaknya terkuak dalam peluncurkan Indeks Kerawanan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 di wilayah Maluku Utara yang dilaksanakan di Muara Hotel Ternate pada tanggal 23 Agustus 2024, lalu
Sebelumnya, Maluku Utara ditetapkan sebagai daerah kategori rawan tinggi ketiga di Indonesia pada bulan Desember 2022 oleh Bawaslu RI.
Bawaslu Maluku Utara, melalui Koordinator Divisi Pengawas, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu, Rusli Saraha, mengatakan bahwa IKP Pilkada 2024 dipetakan berdasarkan dokumen IKP terdahulu, dokumen terbaru hasil pengawasan pemilu tahun 2024, serta informasi ter-update yang Bawaslu terima dari berbagai pihak, termasuk pemberitaan media massa.
Rusli memaparkan61 indikator kerawanan yang menjadi sandaran dalam proses penyusunan IKP. Terdapat 31 indikator yang mempunyai dokumen atau data kerawanan pemilihan 2024 di Maluku Utara. Dari 31 indikator ini,” kata dia, “terbagi atas tiga tingkatan kerawanan: Pertama, kerawanan tinggi terdapat 10 kategori indikator. Kedua, kerawanan sedang terdapat 18 kategori indikator. Ketiga, kerawanan rendah terdapat 3 kategori indikator.”
Baca juga:
Maluku Utara: Di Balik Label Provinsi Paling Bahagia, Anak-Anak Terancam Kekerasan
Pertumbuhan IPM di Maluku Utara 2018-2023: Tiga Fakta Mengejutkan!
Survei Litbang Halmaherapost: Tingkat Kepuasan Kinerja Wali Kota Ternate Cukup Tinggi
Selanjutnya, Bawaslu Maluku Utara, kata Rusli Saraha, menemukan dan memetakan enam isu utama yang menjadi fokus perhatian karena potensi kerawanannya dalam Pilkada 2024.
Isu pertama yang menjadi perhatian adalah netralitas ASN dan pemerintah desa. Tingkat kerawanan tertinggi ditemukan di Halmahera Tengah, diikuti oleh Halmahera Selatan, dan Pulau Taliabu di posisi ketiga. Selanjutnya, isu kedua adalah penyalahgunaan wewenang, di mana Halmahera Tengah kembali menjadi wilayah paling rawan, disusul oleh Halmahera Selatan, dan kemudian Kota Ternate.
Isu ketiga adalah politik uang, dengan Halmahera Selatan menjadi wilayah yang paling rawan, diikuti oleh Ternate, dan Kepulauan Sula. Berikutnya, pelanggaran administrasi dan prosedur menjadi isu yang menonjol, dengan Halmahera Utara berada di peringkat pertama, diikuti oleh Halmahera Barat, dan Pulau Morotai.
Untuk isu politisasi SARA, Ternate menjadi daerah yang paling rawan, diikuti oleh Halmahera Utara dan Halmahera Tengah. Terakhir, isu mengenai integritas dan profesionalitas penyelenggara menjadi perhatian, dengan Halmahera Selatan sebagai daerah paling rawan, diikuti oleh Halmahera Tengah dan Halmahera Barat.
Dari hasil pemetaan BAWASLU Maluku Utara, Litbang Halmahera Post membuat grafis perbandingan tingkat kerawanan di setiap kabupaten/kota, sebagai berikut:
Dari berbagai potensi kerawanan Pemilu 2024, Bawaslu Maluku Utara menyiapkan beberapa langkah untuk mengantisipasi, diantaranya dari aspek keamanan, aspek otoritas penyelenggara, aspek penyelenggara negara, aspek hak memilih, aspek pelaksanaan pemungutan suara, aspek ajudikasi dan keberatan serta mengantisipasi dari aspek kampanye calon.
“Terhadap daerah-daerah yang tidak disebutkan, bukan berarti tidak rawan lalu kita mengabaikan. Kami berharap serta mengajak penyelenggara Pemilu, Stakeholder serta masyarakat sama-sama mengantisipasi aspek kerawanan di semua Kabupaten dan Kota, agar Pilkada berjalan dengan bermartabat,” tutupnya
Kekurangan RTL IKP Pengawasan Pilkada 2024
Peneliti Litbang Halmaherapost.com, Firjal Usdek, menyoroti kekurangan serius dalam dokumen rencana tindak lanjut strategi pengawasan Pilkada 2024 Bawaslu Maluku Utara setelah penjabaran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Firjal mengungkapkan bahwa dua indikator krusial—ujaran kebencian di media sosial dan kampanye yang mengandung SARA di media sosial—tidak tercantum dalam dokumen tersebut.
“Dua indikator ini, yaitu ujaran kebencian dan kampanye bermuatan SARA di media sosial, seharusnya menjadi fokus utama dalam rencana tindak lanjut pengawasan. Di era disrupsi digital saat ini, kedua masalah ini merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan kerawanan pemilu dan pilkada,” tegas Firjal.
Menurut Firjal, kelalaian dalam mencantumkan isu-isu ini dalam dokumen IKP adalah sebuah kekurangan yang signifikan. Ujaran kebencian dan kampanye berbasis SARA berpotensi menciptakan ketegangan sosial dan memicu konflik, yang pada akhirnya dapat merusak integritas proses demokrasi.
Firjal menambahkan bahwa, untuk menghadapi tantangan ini, strategi pengawasan perlu disesuaikan dengan dinamika digital dan sosial yang berkembang. Penanganan yang lebih efektif terhadap ujaran kebencian, hoaks, dan isu SARA menjadi kunci untuk memastikan pemilu dan pilkada yang aman dan adil.
Untuk melengkapi dan menindaklanjuti kekurangan dalam rencana tindak lanjut IKP tersebut, Firjal menyarankan, Bawaslu berkolaborasi dengan stakeholder eksternal lainnya, yang konsen pada isu-isu kepemiluan yang beredar di media sosial yaitu Mafindo (Masyarakat Antifitna Indonesia), AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen).
"Jadi tiga lembaga ini memiliki konsen khusus pada ujaran kebencian, hoaks, dan isu SARA di media sosial. Mereka tergabung dalam Koalisi Cek Fakta, yang disupport oleh Google dan Internews," ujar Firjal.
Data Mafindo Pada semester I 2024, terdapat 2.119 hoaks. Jumlah ini hampir mendekati total temuan sepanjang 2023 (satu tahun). Peningkatan jumlah ini dipicu oleh pemilu 2024, yang rawan disinformasi. Potensi risiko semakin tinggi. Peningkatan disinformasi ini mengancam stabilitas sosial dan demokrasi.
Dari kasus Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif, Mafindo memperkirakan hoaks akan meningkat pada Pilkada 27 November 2024. Menariknya, hoaks yang akan muncul pada Pilkada 2024 adalah potensi penyebaran hoaks lokal. Pertimbangannya, kontestasi berlangsung di daerah, melibatkan calon lokal, dan warga yang disasar hoaks adalah masyarakat lokal.
Berangkat dari data Mafindo, maka hoaks lokal juga berpotensi menyerang penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu beserta jajaran ke bawah), kontestan, dan partai pengusungnya.
J"adi, Bawaslu perlu memikirkan format kolaborasi yang tepat dalam rangka meningkatkan kinerja pengawasan, khususnya pengawasan siber di semua platform media sosial untuk menekan potensi informasi yang menjam stabilitas sosial dan demokrasi,” kata tandas Firjal
Kerawanan Politik Uang
Politik uang, sebagai salah satu isu yang paling krusial, menunjukkan potensi pelanggaran tertinggi di beberapa wilayah, terutama di Halmahera Selatan, Kota Ternate, dan Kepulauan Sula. Hasil pemetaan yang kami terima menunjukkan bahwa Bawaslu Maluku Utara hanya menyajikan tingkat kerawanan pada setiap kabupaten/kota tanpa menyebutkan indeks spesifik dari tingkat kerawanan tersebut, sehingga detail mengenai seberapa besar kerawanan di setiap daerah masih belum terungkap secara mendalam.
Pada bulan Januari 2024, lalu, Litbang Halmahera Post mempublikasikan hasil survei sosial-politik yang memberikan gambaran lebih rinci tentang persepsi masyarakat terkait isu politik uang di Kota Ternate. Salah satu bagian dari survei ini adalah pertanyaan mengenai penyebab utama terjadinya politik uang dalam Pilkada.
Hasil survei menunjukkan bahwa 25,5 persen responden percaya bahwa politik uang di Kota Ternate terjadi akibat kurangnya pengawasan yang efektif dari Bawaslu. Sementara itu, 32,4 persen responden menganggap bahwa politik uang telah menjadi kebiasaan yang mengakar di masyarakat, menjadikannya sulit untuk dihilangkan. Yang paling menonjol adalah 42,1 persen responden yang menyatakan bahwa politik uang terjadi karena rendahnya kesadaran dan integritas para kontestan dalam Pilkada, yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat.
Data di atas menunjukkan bahwa 25,5 persen responden mengaitkan keberlangsungan praktik politik uang dengan lemahnya pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap kapasitas Bawaslu dalam menjalankan fungsi pengawasan secara efektif. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya sumber daya, keterbatasan personel, atau mungkin bahkan masalah internal dalam struktur pengawasan itu sendiri,” papar Firjal.
Sementara sebanyak 32,4 persen responden berpendapat bahwa politik uang telah menjadi bagian dari budaya yang melekat di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa praktik politik uang sudah dianggap normal dan diterima sebagai bagian dari proses politik oleh sebagian masyarakat. Kebiasaan ini mungkin terbentuk dari praktik serupa di masa lalu, di mana uang sering digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi pilihan pemilih.
Angka tertinggi, yaitu 42,1 persen responden, menyalahkan rendahnya kesadaran dan integritas para kontestan Pilkada sebagai penyebab utama politik uang.
“Ini artinya bahwa masyarakat melihat para kandidat atau kontestan sebagai aktor utama yang harus bertanggung jawab atas maraknya praktik politik uang. Dengan kata lain, penawasan terhadap kontestan perlu ditingkatkan,” tutup Firjal.
Komentar